5.28 wib
Disini sudah terang benderang. Hanya bisa tidur beberapa jam. Kebiasaan bergadang saya sudah mulai over. Dimana Raa?
Saya
di Pasuruan. Ini kota ke tiga dalam perjalanan gila saya. Capek? Luar
biasa. Lebam di tubuh saya juga semakin bertambah di beberapa tempa di
bagian kaki dan juga lengan. Beruntung di kota Pasuruan saya bisa tidur
lebih nyaman. Mungkin salah satu alasan sederhananya saya tinggal di
rumah adik sepupu saya. Namanya Ida. Hampir sama dengan nama saya Iraa.
Usia kami pun hanya terpaut beberapa tahun dan masih bisa di kategorikan
seusia. Apalagi dengan keponakan saya Nafis. Usianya 4 tahun. Ya….
Mungkin Nafis satu-satunya keponakanan yang agak jauh. Alasaannya,
“Tente ira sih ndak pernah main ke rumah Nafis. Sibuk kerjaaaaaa terus”.
Saya tersenyum dan memangku dia. Anak sekecil dia saja tahu jika saya
selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan saya selama ini. “Nafis mau di
belikan apa sama tante Iraa?”. “ Boneka ya tante….. yang guedeeeee”.
Saya mengangguk dan kami melakukan toss. Ida tertawa, “Nafis Rock and
Roll mbak persis kayak kamu”. “Mana ada….” Kataku sambil membetulkan
letak jilbab saya. Sederhana….. ternyata dekat dengan keluarga merupakan
obat terampuh mengatasi kegalauan saya. Hahahahaha……. Kata galau kenapa
sangat melekat dengan diri saya.
Ida
adalah salah satu adik sepupu terdekat saya. Kami besar secara
bersama-sama. Bisa di katakana sejak kecil kami tidak bisa di pisahkan.
Walaupun rumah kami jua tidak bersebelahan tapi saya suka berkunjung
kerumah dia. Secara fisik dia lebih cantik di bandingkan saya. Hidungnya
mancung dan berkulit lebih bersih. Dulu saya selalu protes kenapa saya
tidak lebih menarik dari pada Ida. Ibu saya hanya mengatakan karena kamu
beda Raa. Dan perbedaan kami sangat mencolok. Dia lebih keibuan,
feminis (tanpa me), kalem , pake rok. Intinya dia perempuan banget.
Sedangkan saya yang pasti adalahkebalikan dari dia. Jika boleh pinjem
istilah Bang Ripin, “Tak usah lah di perdetail”. Jadi intinya saya
bahagia tinggal disini bersama Ida dan keluarga kecilnya.
Oh
ya kemarin seharian saya melakukan sebuah perjalanan singkat di kota
Malang. Pasar Blimbing, Musium Brawijaya, Toko Oen dan juga Buku bekas
dan juga candi Singosari.
Pasar Blimbing? Apa istimewanya?
Sama saja dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Tapi saya hanya
menggunakan teori konspirasi saya tentang sebuah kota. Jika ingin tau
bagaimana kota itu datang lah e pasarnya. Dan saya melakukan itu. Pasar
Blimbing dekat dengan tempat saya tidur. Dan di tengah pasar saya
menemukan sebuah warung kecil dan banyak makanan enak. Pilihan sarapan
sambil menunggu Arif yang berjanji mengantar saya di wilayah Malang
Kota. Arif? Siapa lagi? Bukannya Taufik yang jemput kamu semalam dari
Arjosari? Berhubung Taufik kerja setengah hari jadi saya menghubungi
Arif adik tinggat jaman kuliah dulu. Sastra Indonesia dan dia Sastra
Inggris. Bersyukur jadi tidak perlu nak angkot kemana-mana. Arif jemput
saya persis setelah saya mennghabiskan nasi campur saya di tengah pasar
Belimbing. “Ckckckckckc….. nggak berubah. Angin opo mbak yang bawa
dirimu ke Malang”. “Angin lesus…..kita jalan sekarang”.
Musim
Brawijaya? Not Bad. Saya suka berkunjung ke Museum. Sahabat saya Ika
pernah menulis status, “Ayo berkunjung ke museum”. Itulah salah satu
alasan saya tiba-tiba saja terpanggil di museum Brawijaya tanpa ada
persiapan referensi. Saya sedikit menyimpulkan jika MusiumBrawijaya
adalah musiumnya tentara. Banyak senjata, sejarah pergerakan yang saya
pikir tidak ada nyambungnya dengan sejarah kota Malang. Seperti
alat-alat yang di gunakan Panglima Besar Sudirman. Saya lihat sejarah
pergerakannya, beliau tidak sempat singgah di Malang. Paling timur
adalah Kediri. Terus juga ada meja konferensi meja bundar kalau tidak
salah. Nyambung nggk sih? Lalu? Apa urusan mu Raa. Paling tidak
barang-barang yang berbau ketentaraan terkumpul di salah satu museum.
Entahlah….. saya hanya berpikir jika itu musim tentara maka semua
sejarah tentang tentara akan terkumpul disana. Tapi kenyataan nya tidak.
Jika museum tentang Malang kok ya sedikit tidak nyambung. Sepertinya
harus Dahlan Iskan yang jadi kepala museum. Semakin tidak nyambung kan?
Intinya saya suka kesana dan saya bisa foto sama mas Supriyadi tokoh
PETA yang konon masih hidup. Allahu’alam. Saya merasa Supriyadi dan saya
sama-sama di lahirkan sebagai pemberontak.
Toko
Oeng. Sering saya lihat di TV dan acara jalan-jalan serta kuliner.Sejak
tahun 1930an. Saya serasa menjadi Noni-noni belanda. Arsitekturnya
kereeennnn. Slaut untuk pemerintah Belanda dengan bangunan yang luar
biasa. Bukan seperti proyek Hambalang yang satu dua hari bangunan kropos
dan bermasalah karena banyak di korup. Kita selalu bangga dengan
bangunan yang dibangun jaman Belanda. Aneh…. Apakah itu berarti kita
harus di jajah Belanda lagi agar kita mempunyai master plan kota dan
bangunan yang lur biasa. Hhhmmm….. membayangkan jika kita di jajah.
Pasti Indonesia tidak akan seperti ini. Seperti saat membandingkan
begitu nikmatnya hidup jaman Sohaerto. Upsss…… bukankah hidup itu harus
lepas dari zona nyaman Raa. Bagaimana kita bisa bergerak jika kita masih
terjajah apalagi di jajah oleh pikiran kita?. Kembali ke Toko Oeng.
Saya pikir es krim nya tidak seenak yang saya lihat di TV. Tapi
lumayanlah….. rasa tradisional nya terasa. Saya pikir lebih enak es krim
yang ada di Jakarta, tapi saya lupa nama tokonya. Pesan makanan disini?
Semuanya porsi Jumbo. Luar biasa kenyang. Saya saja yang doyan makan
harus memindah separuh bak mie saya di atas capcay pesanan Arif.
“Kemana Mbak”
“Toko buku yuk……”
Toko
buku murah yang berderet. Saya tidak tahu namanya. Saya hanya ingat
pesanan Kak Mona yang meminta saya untuk membelikan buku karangan karya
Pramodeya. Gara-gara perbincangan di ujung pelantar tentang buku yang di
mulai oleh Bang Jebat. Ah… saya kangen mereka. Saya kangen Bang Bur,
Kak Mona, Bang Jebat, Bang ripin, Bang Pardi, Bang Rahmat dan Jun. 3
buku. Bumi Manusia, rumah kaca dan anak semua jaman. Tebal-tebal.
Sedangkan tas saya sudah tidak cukup lagi. Kenapa saya selalu kalah
dengan buku? Mengernyitkan dahi berkerut-kerut. Mengecangkan ikat
pinggang………………!!!!
Siang di kosatan Arif saya copy
beberapa program video untuk sahabat saya Jun Batam Juge. Lalu kemudian
daya melanjutkan perjalanan ke Singosari. Singosari? Iya…. Saya kesana
dengan Taufik sepulang dia kerja. Dia mengajak saya ke pintu gerbang
Kerajaan Singosari. Kereeeenn…. Luar biasa! Walaupun masihb belum jelas
dimana letak kerajaan Singosari tapi saya bisa melihat pintu gerbangnya.
Bagaimana besar istananya? Pintu gerbangnya aja seperti itu.
Ckckckckck….. kemudia beralih ke Candi Singosari. Dan kembali berdecak.
Betapa bangganya kita masa lalu tapi kita tidak belajar untuk menjadi
lebih baik lagi?
Sudah sore. Saya harus mengejar bus ke
pasuruan dari pada saya harus Surabaya dulu. Singgah sebentar untuk
makan Bakso. Kemudian saya bersitegang dengan Taufik karena sebuah
perbincangan yang standart untuk saya
“Orang yang bijaksana dan pintar adalah seorang pendengar yang baik”
“Saya
capek jadi pendengar. Saya juga bukan orang bijak sana dan pintar. Dan
kamu jangan pernah membandingkan hidup saya dengan hidup kamu. Karena
kamu dan kita punya jalan yang berbeda”. Saya menggebrak meja.
Kami
diam dan kemudian saya menghabiskan makan saya. Akhirnya saya lebih
memilih diam dan menutup mulut. Menggunakan cara kamu jika marah.
Diam………….
Dan kamis berpisah di Terminal Arojosari. Saya
menyalami dia dan meminta maaf dan mengatakan, “Saya masih dalam keadaan
labil. Dan terimakasih kamu sudah menampung saya di Malang. Kamu tidak
perlu tahu alasan saya singgah di Malang dan melakukan perjalanan ini”
Dan saya meloncat ke dalam bus berdesakan. Di luar kembali hujan.
Semakin
ke timur kota yang saya singgahi semakin tua. Semuanya berjalan lambat.
Dan akhirnya saya memilih mengawali malam di kota Pasuruan ini dengan
secangkir coklat panas. Nanti jika saatnya tidur saya akan pulang ke
rumah Ida.
Pagi ini saya bangun dengan kepala berat dan bersin
belasan kali. Saya tidak boleh sakit. Mandi pagi. Keramas setelah
berhari-hari rambut saya tertutup dan berkeringat. Saat saya menyisir
rambut saya rontok dan membentuk gumpalan. Beberapa lebam di tubuh
semakin bertambah. Fisik saya sudah mulai protes. Mandi pagi. Keramas
tidak mengurangi berat di kepala saya. Mata mulai memanas dan akhirnya
saya memilih menyelesaikan tulisan ini dan sesekali memejamkan mata.
Saya tidak boleh sakit. Meraba dahi dan leher. Bukan lagi hangat. Tapi
panas luar biasa.
“Mau kemana mbak hari ini”
“Terserahlah……. Aku ndak punya rencana”
“Minum jeruk angetnya….. tuh ada kupang lontong kalo doyan”
Saya
mengangguk dan menyelesaikan tulisan ini. Jika bisa memilih saya hanya
ingin tidur dan memejamkan mata. Tapi mungkin nanti saya akan memilih
ikut keluar bersama mereka. Kesempatan tidak akan datang dua kali kan?
Pasuruan…..
kota yang menua……. Saya tiba-tiba kangen kamu. Sudah sarapan? Saya
tidak bisa memastikan kamu sudah sarapan atau belum sayang.
Finish…. Saya hanya ingin memejamkan mata sejenak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar