8.03
Saya bangun kesiangan. Sangat siang untuk ukuran
saya yang selalu bangun sebelum shubuh. Saya sudah di Banyuwangi sejak
kemarin sore di jemput Deni sahabat saya.
“Mau pulang kemana Raa”
Saya mengangkat bahu, “Nggak tahu”
“Tidur dimana. Dirumah ibu, di rumah mu atau rumah kalipuro”
“Gampang lah…. Antar dulu aku ke studio music. Aku janjian sama wawan jam 5 sore”
“Woi… pulang dulu. Ganti baju atau cuci muka”
“Nggak mau…. Lagian pulang juga tidak ada yang nunggu aku. Males…..”
“Nek males laopo mulih nang Banyuwangi”
“Anter ira…. Kalo nggak aku naik ojek”
“Nekat…”,
Deni mengakhiri dengan menjitak kepala saya. Kebiasaan mulai jaman SMA
yang tidak berubah jika dia tidak suka dengan kelakuan saya.
Sepanjang
perjalanan saya lebih banyak bercerita tentang kejadian-kejadian konyol
yang saya temui di jalanan. Hingga sebuah pertanyaan muncul
“Apa yang kamu cari Raa”
“Nggak tau…..”
Lalu saya terdiam beberapa lama di boncengan belakang motor Deni. Banyuwangi tidak berbeda sore ini.
Selepas
menemui Wawan sepupu saya di studio music, kami memlih menghabiskan
malam di sebuah tempat makan. Oh ya Wawan adalah sepupu saya.. Sejak
awal 2012 dia nekat hijrah ke Jember dan kemungkinan besar juga akan
pindah ke Banyuwangi. “Bosen wes mbak… kepingin dekat sama saudara. Cari
ketenangan batin”
Saya diam menekur sambil memainkan
secangkir Es Tofu di depan saya. Deni terbahak-bahak dan mengatakan,
“Sudahlah Raa…. Pulang saja di Banyuwangi. Menetap disini. Dari pada
kamu di Batam hanya sakit hati. Saya melototkan mata ke dia. Deni adalah
kotak semua rahasia saya. Dan saya tidak mau dia keceplosan bicara di
depan sepupu saya. Malam tadi lebih lengkap saat secara tidak sengaja
saya juga bertemu Ika. Sahabat saya di Tempo. Tuhan selalu menemukan
saya dengan orang-orang yang tepat. Hati saya bersorak. Dan semalam
kami hanya bicara yang ringan-ringan saja. Tentang perjalanan saya,
dengan keadaan Banyuwangi dan lain-lainnya. Walaupun saya tidak
bercerita apapun malam itu, Deni dan Ika tau bagaimana kondisi batin
saya.
Saya memutuskan untuk pulang. Ya…. Saya memilih pulang ke rumah Ibu saya. Rumah Sukowidi. Rumah berhantu.
Julukan
baru untuk rumah yang telah membesarkan saya. Saya menghela nafas.
Terasa sakit saat ada yang mengatakan rumah saya adalah rumah berhantu
walaupun saya tidak bisa menolak kenyataan itu. Dari rumor yang muncul,
beberapa orang sudah terkancing di kamar mandi belakang rumah.
Suara-suara aneh seperti orang berjalan, orang menyapu atau selendang
gandrung berwarna merah yang terbang sendiri.
Saya
menekukkan lutut saya di ruang tengah. Dulu saya banyak menghabiskan
waktu saya di ruang ini bersama ibu, nenek dan kakak saya. Sekarang
semuanya berantakan. Debu menebal. Barang-barang berantakan. Yang
membedakan adalah sekarang ada kasur yang diletakkan di tengah ruangan.
“Buat istirahat Raa….kalo ada yang kesini siang-siang. Nggak ada yang
mau tidur di kamar. Apalagi malam”.
Kasur itu adalah kasur
yang dibelikan ibu untuk saya saat saya menikah. Dan di kasur itu pula
ibu saya meninggal tanpa ada yang mengetahui nya. Saya mengelus perlahan
kasur itu. Saya membayangkan ibu saya meninggal tanpa di temani oleh
saya. Betapa terkutuknya saya sebagai seorang anak gadis nya. Air mata
saya sudah tidak lagi menetes tapi membanjir. Saya menelentangkan tubuh
saya menyilang di atas kasur itu. Dari sini saya bisa melihat kamar ibu
saya dengan foto keluarga kami. Saya bapak ibu dan mas nurul. Di
sebelahnya adalah kamar saya. Kamar tidur dan kamar bekerja saya yang
sekarang kosong melompong karena sudah saya pindah ke rumah baru saya
yang lebih kecil. Saya juga dapat melihat dapur dan teras belakang
tempat kami biasa kami makan dan bercengkerama sore hari selepas saya
pulang kerja. Serta jendela yang tidak terkunci sampai sekarang karena
sengaja saya rusak. kuncinya agar saya bisa masuk rumah setiap waktu
walaupun ibu saya sudah mengkunci pintu belakang.
Tiba-tiba
ada ruang hampa udara di dalam hati saya. Rasanya sakit sekali….
Seperti ini lah rasanya di abaikan, sendirian. Sebuah puncak merasakan
kepedihan yang luar biasa. Saya menggelungkan tubuh seperti bayi. Masih
dengan baju yang sama saya pakai. Mata saya terus menyumber. Saya sudah
tidak peduli lagi dengan rumah saya yang dikatakan sebagai rumah hantu.
Saya
malah berharap hantu-hantu yang mereka perbincangkan itu datang untuk
menemani saya malam ini. Saya terjaga sampai dini hari dengan tidak
melakukan apa-apa. Dan terlelap sejenak.
Saya bermimpi
ada pesta di rumah saya. Semua lengkap…. Ibu, bapak, nenek dan keluarga
besar saya. Dan ada seorang bayi perempuan cantik menggunakan gaun putih
di pangkuan ibu saya. Sekilas… saya melihat wajah kamu Weeds. Kamu
melintas dan ikut sibuk menyalami para tamu. Saya mengeryitkan kening.
Kenapa harus kamu? Bahagia? Perasaan saya bercampur aduk.
Saya
terbangun pas adzan shubuh. Suaranya masih sama dengan dulu . Suara Pak
Mad. Dulu ibu saya selalu membangunkan saya untuk berangkat ke
mushola. Saya menekan wajah ke atas bantal. Mata saya masih basah. Dan
saya memaksa diri untuk ke belakang cuci muka dan menggelar sajadah di
kamar ibu. Semalaman hingga shubuh ini saya hanya bisa menangis dan
menangis. Saya kembali tertidur di atas sajadah. Saya mengalami
kelelahan luar biasa batin dan fisik saya.
Saya terbangun
jam 8. Saya bercermin. Betapa berantakannya saya. Rambut saya
berantakan, baju yang saya gunakan masih sama dengan dua hari yang lalu.
Kulit saya terlihat kering sekali menghitam di beberapa titik. Yang
terlihat parah adalah kantung mata saya yang membengkak dan menghitam.
Batuk saya juga semakin berat, suara saya semakin serak. “Kamu sakit
Raa”, Kata Deni kemarin sore. Saya menggeleng, “Nggak Den. Hanya butuh
istirahat”.
Saya selalu mengingat kalimat dari Kak Mona. “Jangan Dzolimi dirimu sendiri Raa”. Ahh saya kangen Kak Mona.
Saya
menyisir rambut saya perlahan. Saya harus bangkit. Saya bisa…. Saya
mampu. Bukan kah saya sudah berdiri di Banyuwangi ? saya kembali di
tanah awal yang membuat saya tumbuh menjadi Raa, seorang Matahari.
Ke
Makam ibu, Bapak, Nenek dan Aulia. Ke rumah Mas nurul. Nonkrong di DPRD
Banyuwangi bertemu dengan sahabat-sahabat lama saya. Atau memilih
mengurung diri di rumah ini? Entahlah.
Weeds…… seandainya
kamu menemani perjalanan saya saat ini. Sederhana kan? Memanjatkan doa
terbaik untuk anak kita. Apa kamu peduli? Saya tahu kamu peduli dengan
cara mu sendiri.
Mata saya masih berat. Badan saya masih
panas. 3 hari ini suhu badan saya naik turun tidak jelas. Punggung
saya juga sedikit mengeras. Saya mengerjap-ngerjapkan mata saya. Tuhan
akan meeberi saya banyak kekuatan.
Saya menyelesaikan
tulisan ini di atas meja kecil tempat saya dulu menyelesaikan PR saya
waktu masih sekolah sampai saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya.
Biasanya dulu, saat saya menulis seperti ini ibu saya duduk membaca
novel milik saya dan sebelum dia tidur dia akan membuat secangkir susu
dan meletakkan di amping saya dan berkata,
“Adik… jangan tidur malam-malam. Besok kamu harus aktifitas lagi”
Saya
rindu ibu saya…… seperti saya rindu kamu yang selalu mengatakan,
“Jangan kecapean, jangan lupa makan, jangan lupa istirahat, jangan lupa
sholat”. Seandainya hidup ini seperti yang saya inginkan…..
Banyuwangi…… saya kembali!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar