Desember 2011. Adalah kesekian kalinya saya
pulang ke Banyuwangi. Seperti biasa buat saya Banyuwangi adalah sebuah lautan
yang tidak pernah selesai saya selami. Ya karena semuanya berawal dari sana
Saya berpikir tempat mana lagi yang akan saya
datang dalam kepulangan saya desember ini. Dengan waktu yang cukup pendek.
Sempat saya agendakan untuk mengunjungi makam-makan keramat yang ada di wilayah
Banyuwangi Barat. Tapi entah kenapa pikiran saya hanya menuju pada satu tempat.
MASJID AGUNG BAITURRAHMAN.
Jam 8 pagi, 11 Desember 2011, belum jam 9 pagi. Saya dan sahabat saya Surti
sudah berada di halaman utama masjid. Saya mengirim pesan kepada rekan yang
yang ternyata menjabat sekertaris umum pengurus untuk meminta ijin ambil gambar
dan menulis (kembali) sejarah masjid terbesar di Banyuwangi ini. Dia membalas,
“Jam 10 ya Raa. Setelah pengajian Dhuha dalam rangka harlah masjid 7
desember”. Saya baru sadar ternyata
pengetahuan sejarah Banyuwangi saya perlu dipertanyakan. Saya baru tahu jika
masjid ini telah berusia 238. Ya.....7 Desember 1773. Dan saya menunggu dengan
satu tumpuk berkas sejarah Masjid Agung Baiturrahman – Banyuwangi.
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi (yang
akan saya singkat dengan Masjid Agung) adalah sebuah bukti dan saksi dari
perjalanan panjang Blambangan yang kelak dikenal dengan Kab. Banyuwangi.
Islam masuk ke
Banyuwangi tepatnya Blambangan melalui sebuah proses yang cukup panjang. Sejarah
Banyuwangi tidak bisa di lepaskan dengan sejarah kerajaan Majapahit. Pada
masa-masa terakhir yang dipegang oleh Hayam Wuruk terpecah menjadi dua bagian
yaitu Kedaton Kulon yang tetap menjadi Majapahit, dan Kedaton Wetan yang kelak
akan di kenal dengan Blambangan, cikal bakal dari Kabupaten Banyuwangi, yang
dipimpin oleh putra raja Hayam Wuruk yaitu Raja Bhre Wirabumi dengan pusat
kepemimpinan di hutan Alas Purwo yang kemudian di gantikan oleh putranya Menak
Sembuyu atau Menak Dedali putih yang terkenal dengan kesaktiannya. Pada saat itulah Kerajaan Blambangan sedang
mengalam masa pagebluk. Putri Raja pun yang bernama Putri Sekardalu terkena
dampak pagebuk. Ia terjangkiti penyakit aneh sehingga membuat sang raja
memanggil seluruh tabib terkenal untuk menyembuhkan penyakit putr Sekar Dalu
dan masa pagebluk.
Alhasil, pagebluk
berhasil di hilangkan oleh seorang ulama dari Samudra Pasai yang bernama Syekh
Maulana Ishak. Masyarakat Banyuwangi sendiri menyebutnya dengan Syekh Wali
Lanang. Karena jasanya itulah, Raja Menak Dedali Putih menikahkan anaknya Putri
Sekar Dalu dengan Syekh Wali Lanang dan melahirkan seorang anak laki-laki yang
kelak di kenal sebagai salah seorang wali songo yaitu Sunan Giri. Kedatangan
Syekh Maulanan Ishak adalah tonggak awal masuknya Islam di Blambangan.
Kenapa saya hapal cerita
ini, karena dulu saat masih aktif di karang taruna saya pernah mementaskan
kisah ini dalam bentuk teatrikal di karnaval 17 agustus tingkat Kabupaten. Saya
ingat yang jadi Syekh Maulananya adalah adik saya Kiki yang jatuh dari kuda di halaman
gedung DPRD Banyuwangi. (Syekh Maulana Ishak saya gambarkan lelaki gagah
menggunakanan surban putih dan menaiki kuda. Sayangnya saya memilh kuda paju,
yang “njoged” saat mendengarkan music hadrah.Dan adik saya yang ganteng itu
jadi pilihan utama karena gratsis). Sedangkan Putri Sekar Dalu nya adalah
sahabat saya Shinta. Selain gratis juga, saya berpikir bahwa dia lebih cantik
di bandingkan saya. Tahun berapa? Saya lupa antara akhir 99 atau awal 2000-an.
Cukup lama kan? Sayangnya aya tidak punya dokumentasinya…..
Kembali ke Masjid
Agung. Di kepemimpinan Bupati Mas Alit, yaitu Bupati pertama Banyuwangi
sekaligus Bupati Blambangan yang terakhir, perkembangan Islam semakin meluas.
Bupati Mas Alit pun sudah memeluk agama Islam. Beliau besar di Madura. Ibu kota
Banyuwangi pun di pindah. Dari Ulupangpang (sekarang masuk kecamatan Benculuk,
kalau tidak salah tempat ibu ku di lahirkan) ke Banyuwangi. Perpindahan
tersebut juga di ikuti dengan migrasi penduduk yang juga mendirikan masjid yang
sekarang ada di depan mata saya. Masjid Agung Baiturrahman. . Dari data yang
ada “Nagari Tawon Madu” karangan I Made Sudjana menyebutkan Nagari Banyuwangi
selesai di bangun pada tanggal 24 Oktober 1774 (sebagian besar menjadikan Hari
Jadi Banyuwangi. Kontroversi dengan 18 Desember).
Kebetulan sekali
kunjungan saya kali ini pas dengan Pengajian Dhuha dalam rangka Harlah Masjid
Agung ke 238. Ya…beberapa hari setelah hari jadi Masjid Agung pada tangal 7
Desember 1773. Dari tumpukan data yang
ada di depan saya, Selasa, 7 Desember 1773 adalah tanggal yang tertera pada
surat wakaf dari keluarga besar Mas Alit atau Raden Tumenggung Wiraguna 1
Bupati pertama Banyuwangi untuk umat Islam di Banyuwangi.
1. Masjid
Pertama (7 Desember 1773 – 1844)
Konon…..tempat
pertama yang di bangun oleh Bupati Mas Alit saat pindah dari Ulupangpang adalah
mushola kecil cikal bakal Masjid Agung, yang digunakan untuk melakukan sholat
lima wkatu berjamaah., karena pengikut-pengikut Mas Alit adalah penganut agama
Islam yang taat. Masjid Agung itu berdiri megah di antara Pendapa Shaba Swagata
Blambangan (Rumah dinas para Bupati Banyuwangi).
2. Masjid
Kedua (1884-1971)
Pembangunan
Masjid secara permanen oleh Bupati Raden Adipati Wiyodanu Adiningrat . Ia
adalah cucu Mas Alit yang memerintah Banyuwangi selama 35 tahun (1832-1867). Sebagai pelaksana
pembangunan Patih Raden Pringgokusumo yang di bantu oleh Hakim Bagus Achmad bin
Ngabsi pada tanggal 18 Sya’ban 1260 H /1844, setelah kurun waktu 71 tahun. Pembenahan fisik dilakukan sedikit demi sedikit
oleh Raden Pringgokusumo Hadiningrat yang pada tahun 1867-1881 (14 tahun)
menggantikan saudaranya menjadi Bupati Banyuwangi yang ke 5. (Saya berpikir
saat itu ada demo nggk ya…yang protes terhadap nepotisme dan penguasaan daerah
satu trah bertahun-tahun, padahal sudah dalam bentuk kabupaten).
Kakek
saya bercerita dulu di depan masjid banyak sekali warung-warung makanan. Namun
yang terkenal adalah Warung Angsle (minuman khas yang terdiri dari santan jahe
dan berisi ketan dll). Di warung Angsle itu ada sebuah radio yang digunakan
oleh masyarakat untuk mendengarkan informasi tentang kemerdekaan Indonesia.
Kakek saya Nasikin juga bercerita tiap malam dia datang ke warung itu hanya untuk
mendengarkan pidato Sukarno. Kerennn…….saya bayangkan kalau seandainya saya
hidup di masa itu.
3. 3. Masjid Ke
tiga (1971 – 1990)
S Setelah di renovasi oleh Bupati Djoko Supaat Slamet pada
tahun 1971 (jaman ibu saya masih mahasiswa), Masjid Jami’ berganti nama menjadi
MAsjid Agung Baiturrahman. Pemugaran Masjid Jami’ selesai dalam waktu 2 tahun,
di mulai tanggal 28 Maret 1969 sampai 8 maret 1971. Awalnya kepanitiaan reovasi
di pegag oleh pihak Takmir Masjd namun kemudian di alihkan kepada Sekertaris
Daerah Banyuwnagi agar segera menyelsaikan pembangunan Masjid Kabupaten
tersebut.
4
4. Masjid Ke
empat (1990-2005)
Pemugaran
ke empat masjid Agung Baiturrahman daridi fokuskan pada bagian atas, dari model
Kubah di bongkar menjadi Joglo di mulai pada tahun 1986 oleh Bupati S. Djoko
Wasio dan selesai tahun 1990 oleh bupati Harwin Wasisto. Peresmian dilakukan
pada tanggal 7 Maret 1990 oleh Bupati Banyuwangi Harwin Wasisto. Pemugaran
bentuk atap masjid membutuhkan waktu sekitar 4 tahun.
5.
Masjid ke
lima ( 2005 -…….)
Gambar
rencana pembangunan Masjid Agung Baiturrahman di luncurkan pada kepemimpinan
bpati Ir. H Samsul Hadi dan peletakan batu pertama pada Jumat 9 September 2005
oleh Plth Bupati H. Asmai Hadi SH MM. Pemugaran sudah di rencanakan setahun
sebelumnya yaitu sejak September 2004 tapi baru terealisasikan 9 September
2005.
“Raa…..nggak mau naik
ke atas?
“Kemana Mas….”
Mas Azies menunjuk
menara tinggi di sebelah selatan Masjid, “Hah……” Saya melihat ke atas.
“Mumpung……..sebentar
lagi mau di bongkar. Nanti sama penjaga ya…..namanya Waras”
Upssss……saya melihat
sahabat saya yang memakai celana pendek. Dia mengangguk. “Berangkatttt!”
Dan ternyata penjaga
masjid adalah Kak Waras. Kakak Pembinaku sata masih SD da SMP. Alhasil reunian.
Pendakian dimulai…….menara dengan usia hampir 50 tahun. Tingginya? 12 tingkat
dengan anak tangga dari kayu serta ukuran masuk dari masing-masing tingkat
hanya sebesar pinggang saya. Ampun…..engap! tanpa persiapan. Dan saya berhasil
merayu Kak Waras untuk menemani saya naik sampai ke atas yang entah jaraknya
berapa meter dari permukaan tanah.Sempat juga debat kusir dengan sahabat saya.
Dia bilang 30 meter tapi saya membantahnya dan mengatakan lebih tinggi lagi.
Dan sampai saya tulis catatan ini saya tidak tahu berapa meter tinggi menara
itu. Bodoh kan? Saya cari referensinya pun tidak menemukannya.
Di atas menara….saya
teriak kegirangan! Bahkan sempat di tegur Kak Waras, “Raa…menara masjid. Jangan
teriak-teriak”. Upsss…..saya lupa. Tapi saya berhasil membunuh phobia saya akan
ketinggian. Saya berada di titik paling tinggi di Kabupaten Banyuwangi!!! Sebuah
prestasi terbesar saya! Bahkan menara Masjid pun berada di bawah saya. Dari
atas saya bisa melihat dengan jelas kearah timur. Pulau Bali. Taman Sritanjung
tempat saya menghabiskan masa kecil saya bersama ayah saya. Kea rah barat, Gunung Ijeng. Ke arah utara
jalan saya pulang ke rumah Banyuwangi dan ke arah selatan ke pusta kota. Saya
merasa seperti seorang puteri yang sedang naik kuda Pegasus dan di ajakn ke
negeri dongeng. Dalam hati saya berkata, “Tuhan selalalu memberikan kesempatan
yang baik buat saya. Belum tentu ibu saya, nenek, kakek, paman, teman-teman
saya mempunyai kesempatan emas seperti ini”.
Saya berhasil menaklukkan menara itu !!!!!
Pokoknya besok kalo ajak Surti lagi nggak boleh pake celana pendek! Titik!!!!
(saya, surti dan kak Waras)
Dan saya behasil
mengabadikan Banyuwangi dari atas!
“Kita ke makam
bupati-bupati Banyuwangi Raa”
Aku mengangguk,
mengiyakan
“Tapi makamnya di
tutup…..kita lihat dari atas saja ya………..Kita turun terus naik lagi lewat tangga
darurat dari bangunan sebelah utara”
Mau tidak mau saya
menangguk….dan saya haru menaiki 2 tangga yang benar-benar darurat hingga
akhirnya saya berhasil dengan kenekatan saya. Huwikkss……sayangnya saya tidak
mungkin memoto diri saya sendiri saat naik tangga sebagai bukti! Halah….kenapa
harus pake barang bukti.
belakang saya pulau Bali!!!! tanah kelahiran kedua saya...
Akhirnya saya berhasil
berada tepat di di kubah masjid sebelah utara. Melihat makam bupati-bupati
Banyuwangi. Saya hanya bisa melihat dari tempat saya berdiri dan mengirimkan
Al-Fatihah untuk mereka.
Tempat terakhir adalah
tingkat dua yang belum selesai di bangun bagian utara. Wow…….saya tidak
menyangka bahwa saat ini saya maish berada di Banyuwangi.
Tiba-tiba saya
teringat kamu. Andai kamu berada di sini. Menemani saya…..menggenggam jemari
saya saat naik dari satu anak tangga ke anak tangga selanjutnya. Berdiri di
atas Banyuwangi bersamamu. Dan kita akan bersama-sama turun menuju Altar. Dan
saya akan bercerita padamu betapa penuh sejarah tanah Blambanganku.
Akhirnya saya harus
menyelesaikan “petualangan” saya di Masjid Agung Baiturrahman. Saya harus
segera pulang dan berkemas untuk malam kembali ke Batam. Menemui cinta saya
yang tertinggal disana.
Di Masjid Baiturrahman
saya banyak belajar hal. Tentang perjalanan sebuah sejarah. Tentang sebuah
proses untuk mencapai puncak bukan hal mudah……dan nanti saat di puncak pun saya
harus kembali turun ke dasar. Karena tidak selamanya saya berada di atas……(kalau
kelamaan bisa masuk angin hehehehehehhehehe)
Banyuwangi adalah
sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah bisa saya selesaikan……….
Ya….saat saya merasa
bahagia, saat saya merasa bahagia berada di atas Banyuwangi………Masjid .Agung Baiturrahman Banyuwangi (data dan foto lengkap di sini)
Nb: Sayang.....saya pulang kan? walaupun saya tidak pernah tau apaka kau menunggu kepulanganku!
Batam, 3 Januari 2012
5 komentar:
kereeen poto potonya... :D
thaks Gan your blog baggus info and useful, greetings and salutations successful blogger
sy suka blog ini,apalagi masjidnya.
sy belom prnah ke atas MAB
Pada Masjid "versi ke-3" mirip sekali dengan Masjid Taqwa di kota Metro Lampung. Sayang sekali Masjid Taqwa sudah dihancurkan demi pembangunan "versi baru".
Sila ke:
http://hartanto.wordpress.com/2013/05/29/masjid-taqwa-metro-dalam-kenangan/
Masjid versi ke-3 mirip sekali dengan Masjid Taqwa di kota Metro Lampung. Sayang sekali Masjid Taqwa sudah dirobohkan.
Sila mampir ke http://hartanto.wordpress.com/2013/05/29/masjid-taqwa-metro-dalam-kenangan/
Posting Komentar