27 Jun 2012

14 JUNI 2012: BANYUWANGI SAYA KEMBALI

8.03

Saya bangun kesiangan. Sangat siang untuk ukuran saya yang selalu bangun sebelum shubuh. Saya sudah di Banyuwangi sejak kemarin sore di jemput Deni sahabat saya.

“Mau pulang kemana Raa”

Saya mengangkat bahu, “Nggak tahu”

“Tidur dimana.  Dirumah ibu, di rumah mu atau rumah kalipuro”

“Gampang lah…. Antar dulu aku ke studio music. Aku janjian sama wawan jam 5 sore”

“Woi… pulang dulu. Ganti baju atau cuci muka”

“Nggak mau…. Lagian pulang juga tidak ada yang nunggu aku. Males…..”

“Nek males laopo mulih nang Banyuwangi”

“Anter ira…. Kalo nggak aku naik ojek”

“Nekat…”, Deni mengakhiri dengan menjitak kepala saya. Kebiasaan mulai jaman SMA yang tidak berubah jika dia tidak suka dengan kelakuan saya.

Sepanjang perjalanan saya lebih banyak bercerita tentang kejadian-kejadian konyol yang saya temui di jalanan. Hingga sebuah pertanyaan muncul

“Apa yang kamu cari Raa”

“Nggak tau…..”

Lalu saya terdiam beberapa lama di boncengan belakang motor Deni. Banyuwangi tidak berbeda sore ini.

Selepas menemui Wawan sepupu saya di studio music, kami memlih menghabiskan malam di sebuah tempat makan. Oh ya Wawan adalah sepupu saya.. Sejak awal 2012 dia nekat hijrah ke Jember dan kemungkinan besar juga akan pindah ke Banyuwangi. “Bosen wes mbak… kepingin dekat sama saudara. Cari ketenangan batin”

Saya diam menekur sambil memainkan secangkir Es Tofu di depan saya. Deni terbahak-bahak dan mengatakan, “Sudahlah Raa…. Pulang saja di Banyuwangi. Menetap disini. Dari pada kamu di Batam hanya sakit hati. Saya melototkan mata ke dia. Deni adalah kotak semua rahasia saya. Dan saya tidak mau dia keceplosan bicara di depan sepupu saya.  Malam tadi lebih lengkap saat secara tidak sengaja saya juga bertemu Ika. Sahabat saya di Tempo. Tuhan selalu menemukan saya dengan orang-orang yang tepat.  Hati saya bersorak. Dan semalam kami hanya bicara yang ringan-ringan saja. Tentang perjalanan saya, dengan keadaan Banyuwangi dan lain-lainnya. Walaupun saya tidak bercerita apapun malam itu, Deni dan Ika tau bagaimana kondisi batin saya.

Saya memutuskan untuk pulang. Ya…. Saya memilih pulang ke rumah Ibu saya. Rumah Sukowidi. Rumah berhantu.

Julukan baru untuk rumah yang telah membesarkan saya. Saya menghela nafas. Terasa sakit saat ada yang mengatakan rumah saya adalah rumah berhantu walaupun saya tidak bisa menolak kenyataan itu. Dari rumor yang muncul, beberapa orang sudah terkancing di kamar mandi belakang rumah. Suara-suara aneh seperti orang berjalan, orang menyapu atau selendang gandrung berwarna merah yang terbang sendiri.

Saya menekukkan lutut saya di ruang tengah. Dulu saya banyak menghabiskan waktu saya di ruang ini bersama ibu, nenek dan kakak saya. Sekarang semuanya berantakan. Debu menebal.  Barang-barang berantakan.  Yang membedakan adalah sekarang ada kasur yang diletakkan di tengah ruangan. “Buat istirahat Raa….kalo ada yang kesini siang-siang. Nggak ada yang mau tidur di kamar. Apalagi malam”.

Kasur itu adalah kasur yang dibelikan ibu untuk saya saat saya menikah. Dan di kasur itu pula ibu saya meninggal tanpa ada yang mengetahui nya. Saya mengelus perlahan kasur itu. Saya membayangkan ibu saya meninggal tanpa di temani oleh saya. Betapa terkutuknya saya sebagai seorang anak gadis nya. Air mata saya sudah tidak lagi menetes tapi membanjir. Saya menelentangkan tubuh saya menyilang di atas kasur itu. Dari sini saya bisa melihat kamar ibu saya dengan foto keluarga kami. Saya bapak ibu dan mas nurul. Di sebelahnya adalah kamar saya. Kamar tidur dan kamar bekerja saya yang sekarang kosong melompong karena sudah saya pindah ke rumah baru saya yang lebih kecil. Saya juga dapat melihat dapur dan teras belakang tempat kami biasa kami makan dan bercengkerama sore hari selepas saya pulang kerja.  Serta jendela yang tidak terkunci sampai sekarang karena sengaja saya rusak. kuncinya agar saya bisa masuk rumah setiap waktu walaupun ibu saya sudah mengkunci pintu belakang.

Tiba-tiba ada ruang hampa udara di dalam hati saya. Rasanya sakit sekali…. Seperti ini lah rasanya di abaikan, sendirian. Sebuah puncak merasakan kepedihan yang luar biasa. Saya menggelungkan tubuh seperti bayi. Masih dengan baju yang sama saya pakai. Mata saya terus menyumber. Saya sudah tidak peduli lagi dengan rumah saya yang dikatakan sebagai rumah hantu.
Saya malah berharap hantu-hantu yang mereka perbincangkan itu datang untuk menemani saya malam ini. Saya terjaga sampai dini hari dengan tidak  melakukan apa-apa.  Dan terlelap sejenak.

Saya bermimpi ada pesta di rumah saya. Semua lengkap…. Ibu, bapak, nenek dan keluarga besar saya. Dan ada seorang bayi perempuan cantik menggunakan gaun putih di pangkuan ibu saya. Sekilas… saya melihat wajah kamu Weeds. Kamu melintas dan ikut sibuk menyalami  para tamu. Saya mengeryitkan kening. Kenapa harus kamu? Bahagia?  Perasaan saya bercampur aduk.

Saya terbangun pas adzan shubuh. Suaranya masih sama dengan dulu . Suara Pak Mad.  Dulu ibu saya selalu membangunkan saya untuk berangkat ke mushola.  Saya menekan wajah ke atas bantal. Mata saya masih basah. Dan saya memaksa diri untuk ke belakang cuci muka dan menggelar sajadah  di kamar ibu.  Semalaman hingga shubuh ini saya hanya bisa menangis dan menangis.  Saya kembali tertidur di atas sajadah. Saya mengalami kelelahan luar biasa batin dan fisik saya.

Saya terbangun jam 8. Saya bercermin. Betapa berantakannya saya. Rambut saya berantakan, baju yang saya gunakan masih sama dengan dua hari yang lalu. Kulit saya terlihat kering sekali menghitam di beberapa titik. Yang terlihat parah adalah kantung mata saya yang membengkak dan menghitam. Batuk saya juga semakin berat, suara saya semakin serak. “Kamu sakit Raa”, Kata Deni kemarin sore. Saya menggeleng, “Nggak Den. Hanya butuh istirahat”.

Saya selalu mengingat kalimat dari Kak Mona. “Jangan Dzolimi dirimu sendiri Raa”. Ahh saya kangen Kak Mona.

Saya menyisir rambut saya perlahan. Saya harus bangkit. Saya bisa…. Saya mampu. Bukan kah saya sudah berdiri di Banyuwangi ? saya kembali di tanah awal yang membuat saya  tumbuh menjadi Raa, seorang Matahari.
Ke Makam ibu, Bapak, Nenek dan Aulia. Ke rumah Mas nurul. Nonkrong di DPRD Banyuwangi bertemu dengan sahabat-sahabat lama saya. Atau memilih mengurung diri di rumah ini? Entahlah.

Weeds…… seandainya kamu menemani perjalanan saya saat ini. Sederhana kan? Memanjatkan doa terbaik untuk anak kita. Apa kamu peduli? Saya tahu kamu peduli dengan cara mu sendiri.

Mata saya masih berat. Badan saya masih panas.  3 hari ini suhu badan saya naik turun tidak jelas.  Punggung saya juga sedikit mengeras.  Saya mengerjap-ngerjapkan mata saya. Tuhan akan meeberi saya banyak kekuatan.

Saya menyelesaikan tulisan ini di atas meja kecil tempat saya dulu menyelesaikan PR saya waktu masih sekolah sampai saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya.  Biasanya dulu, saat saya menulis seperti ini ibu saya duduk membaca novel milik saya dan sebelum dia tidur dia akan membuat secangkir susu dan meletakkan di amping saya dan berkata,

“Adik… jangan tidur malam-malam. Besok kamu harus aktifitas lagi”

Saya rindu ibu saya…… seperti saya rindu kamu yang selalu mengatakan, “Jangan kecapean, jangan lupa makan, jangan lupa istirahat, jangan lupa sholat”.  Seandainya hidup ini seperti yang saya inginkan…..

Banyuwangi…… saya kembali!!!



Tidak ada komentar: