27 Jun 2012

17 JUNI: JEMBER SAYA (pernah) TERKURUNG OLEH MASA LALU

Jember……. Jujur tidak ada niatan saya untuk berkunjung ke kota ini. Kota yang pernah membuat saya trauma, terluka dan patah hati. Kalau menggunakan istilah Deni, “berakhir dengan pengkhianatan”. Saya tertawa……..

Saya pernah hampir 7 tahun lebih tinggal di kota ini. Datang sebagai seorang gadis lugu yang baru lulus sekolah menengah atas yang mempunyai cita-cita luar biasa sebagai seorang penulis atau sastrawan. Iya cita-cita yang tidak lazim bagi teman-teman seusia saya. Hidup prihatin. Bagaimana caranya saya bisa hidup dengan uang 3000 rupiah per hari. Mati-matian mengikuti cara pikir mahasiswa yang sangat hebat dalam pandangan saya di usia belum menginjak 20 tahun. Masih sangat muda. Saya sempat terkagum-kagum dengan pidato presiden mahasiswa saat itu. Saya pikir dengan menjadi mahasiswa saya bisa menguasai dunia. Dan ternyata……….

Sumatra 2 di lantai 2 Jember. Saya memulai hidup saya. Sendirian….. saat ibu saya meninggalkan saya seorang diri di dalam kamar kecil yang hanya berisi kasur tipis, lemari kayu yang sudah rapuh serta meja kayu tua.  Saya menangis semalaman. Saya hanya berpikir apa bisa saya hidup sendirian dengan suasana benar-benar baru. Minim fasilitas dengan kamar mandi bersama.

“Kamu bisa Raa…. Kamu Matahari. Matahari itu bersinar di bagian bumi manapun.  Bukankah dimana-mana adalah Bumi Tuhan”


Malam itu saya berjanji bahwa saya akan menjadi anak perempuan yang pantas di banggakan oleh ibu saya. Bukan menjadi mahasiswa yang lulus dengan nilai bagus dan tepat waktu. Dan doa saya ternyata di dengarkan dan dikabulkan oleh Tuhan saya.

Sastra Indonesia. Jurusan yang tidak masuk akan memang. Tapi saya suka. Bertemu dengan sahabat-sahabat luar biasa saya. Saya tumbuh sebagai perempuan dengan jiwa pemberontak. Tidak mau mengikuti orientasi jurusan. Saya ingat waktu itu ketua Ikatan Mahasiswa Satra Indonesia memaki-maki saya dan mengancam saya tidak bisa lulus dan harus ikut tahun depan bersama adik tingkat saya. Saya hanya diam dan memandang senior saya yang pendek dan berambut keriting, “Jangan paksa saya…. orientasi ini hanya kegiatan sia-sia dan nggak ada untungnya buat saya. Dan tidak ada aturan resmi akademik”

Saya mengawali dengan pemberontakan dan membuat saya mempunyai jarak dengan kawan seangkatan saya. Biarlah….. dan saya memutuskan menjadi mahasiswa independent dan tidak memilih berada di bawah bendera mana pun.

Tahun kedua saya mulai mengenal organisasi itupun masih intern kampus dan saya mulai gila dengen pengelitian. Lomba karya tulis ilmiah bidang Ilmu Pengetahuan Campuran sampai tingkat nasional. Dan ibu saya selalu mendampingi saya. Dia orang yang pertama kali menjadi teman diskusi saya. Mendampingi saya sat saya menjadi juara ataupun menjadi tempat sampah saat saya gagal di tingkat nasional. “Ibu selalu bangga dengan kamu Raa. Ini prestasi luar biasa bukan”. Saya selalu terpekur melihat ujung sepatu saya saat saya tidak bisa meraih juara 1. Lalu bagaimana akademik saya? hancur dan saya tidak akan ceritakan disini………

“Adik di tawarin jadi penyiar bu… , tapi nggak di gaji”
“Adik mau?”
Saya mengangkat bahu, “Entahlah… apa bisa adik datang tepat waktu duduk berjam-jam di dalam kotak”
“Itu tantangan buat kamu Raa”

Saya kemudian mengiyakan tawaran sebuah radio swasta yang meminta saya mengajukan surat lamaran sebagi seorang penyiar.

Suatu hari di sekertariat, “Raa… kamu jadi penyiar”. Ketua Presiden Mahasiswa BEM
Saya memonyongkan bibir. Saya menyembunyikan profesi baru saya berbulan-bulan.

“Tidak bisa diteruskan… aktifis itu harus idealis. Kalo kamu jadi penyiar.. semua akan kacau”
“Toh selama ini baik-baik saja kan. Aktifis dan penyiar adalah dua hal yang berbeda. Jangan campuri ranah pribadi saya”
Saya mengeja kata itu, “Aktifis….”. Aktivis apa? Apakah saya pantas di sebut aktivis? Saya memperjuangan apa? Tidak ada……..

Saya keluar dan memutuskan untuk hidup amphibi. Hidup di dua dunia. Saat teman-teman saya masih suka dengan nonkrong atau hang out saya sudah harus bekerja.  Bahkan sahabat-sahabat saya menjauh dan mencap saya sebagai teman yang sombong!! Biarlah…. Ini hidup yang saya pilih.

Dan disini saya juga merasakan patah hati yang luar biasa. Saat saya memutuskan untuk keluar dari kost dan hidup mandiri. Dan ternyata…. Benar kata Deni. Pengkhianatan.  Ketika saya sudah menyerahkan kehidupan saya. Menyakitkan secara fisik dan batin saya sehingga saya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan di kota Jember. Kembali ke Banyuwangi dan memulai semuanya sejak nol. Men-delete nama Jember dari kehidupan saya. Dan parahnya saya tidak mau melintas di kota ini. Jika ada jalur lain saya akan memilih menggunakan Bali atau atau menggunakan jalur situbondo. Ataupun harus lewat maka saya akan memejamkan mata dan memasang music kencang ditelinga saya. Dan semuanya berlalu…….

Suatu hari di Banyuwangi

“Mbak Ira ada tamu di bawah”

Saya turun dan serasa inginberbaik arah setelah melihat wajah itu. Ada ketakutan. Ada kebencian. Dan saya melawannya. Saya tersenyum melewati tangga dan menyalaminya dengan hentakan yang cukup keras
“Kamu tidak bisa menjauh dari saya Diajeng. Kamu  itu milik saya. Kamu butuh saya”

Saya masih tersenyum dan berbisik di telingan dia, “Saya bukan perempuan bodoh kamu lagi. Lihat…. Saya bisa kan hidup tanpa kamu. Saya mencintai kamu tapi saya juga benci kamu perlakukan saya seperti ini. Saya bisa hidup lebih baik dibandingkan hidup di bawah keposesifan kamu. Silahkan kamu pulang jika kamu tidak ingin bermasalah dengan saya”
Dia pergi dan saya berlari ke ruang  kerja saya meneruskan tulisan menjelang deadline. Ada rasa sakit yang membuat air mata saya menetes. Saya sangat mencintai laki-laki itu, tapi perlakuan dia terhadap saya membuat saya harus mengubur mimpi saya di kota Jember. Gila memang… tapi saya tidak suka larut dalam perasaan saya.

Setelah bertahun-tahun  akhirnya saya berani menginjak kembali kota ini.  Tidak ada yang berubah. Hanya beberapa bangunan baru, toko di kampus yang berganti nama. Menelusuri jalanan kota ini membuat amnesia saya menghilang. Saya mengingatnya kembali. Dan saya ternyata sudah berdamai dengan kenyataan. Luar biasa…….
Dan kamu tau, sederhana keinginan saya. Berharap bertemu dengan kamu di kota kecil ini. Sekedar menghabiskan kopi di alun-alun Jember seperti yang  dulu sering kita lakukan bersama setiap malam. Tapi kamu tidak saya temukan di sudut kota ini.

Pada sebuah malam disudut alun-alun kota Jember.

“Itu adalah masjid….. itu adalah kantor bupati jember. Dan saya akan berdiri disini menunggu kamu pulang diajeng”
“Kalo kita nggak jodoh gimana”
“Kalo diajeng sendiri gimana”
“Saya akan terus balik ke kota ini. Nanti walaupun kita tidak berjodoh saya akan ajak anak-anak saya untuk berkunjung di kota ini dan menceritakan bahwa saya mempunyai sahabat yaitu kamu”
“Aku tidak mau… diajeng itu milik aku”
Kamu mulai mengeraskan rahang dan saya menepuk pipi mu perlahan. “ Sudahlah….. kita ditemukan oleh waktu dan akan dipisahkan juga oleh waktu. Jaga emosimu”. Kamu menggenggam jemari saya.....

17 Juni 2012

Saya berdiri di sudut yang sama di tempat kita berbincang ratusan malam yang lalu. Berpuluh motor cross berlalu di hadapanku. Dan saya berharap salah satu nya adalah kamu.

Zack…… semoga kamu baik-baik saja dengan kehiduanmu. Dan lihat lah saya telah melepas kenangan dan berdamai dengan kenyataan saat ini. Dan ternyata butuh waktu  waktu 7 tahun menghapus trauma itu.

Lalu terbersit sebuah tanya, “Apakah saya harus berdamai dengan kenyataan yang terjadi saat ini? Apakah saya harus memperlakukan Batam sama dengan Jember? Kembali ke Banyuwangi memulai dari nol dan kembali lagi ke Batam 7 tahun kemudian dan berdamai serta bersahabat dengan kenyataan? Dan saya tidak kan lagi menemukan kamu di kota Batam”
Entahlah….. saya kembali mematahkan kegoisan saya satu lagi. Tapi tidak dengan kamu!!!



Saya dan Mayor.... salah satu keponakan saya. Trouble Maker Junior. "Dia persis kamu Mbak". Saya berpikir kenapa hampir sebagian besar keponakan bersifat seperti saya? Lalu bagaimana Aulia jika dia sempat terlahirkan? Ah.. kita memang di lahirkan sebagai pemberontak Nak

Tidak ada komentar: