Tahukah kamu…..saya menunggu kamu. Sesekali saya membuka pintu,
mengalihkan pandangan dari meja, pintu, dan jendela saya yang
berteralis.Tidak tahukah, bahwa saya sangat mengkhawatirkan kamu.
Seperti setrika saya berjalan dari ujung ruangan ke ujung lain sambil
menyapu pandangan pada sebuah photo yang saya pajang di meja saya. Photo
kamu. Bagaimana kabarmu?
Sebentar saya menuju dapur
sambil membawa segelas teh yang sudah dingin. Saya menyalakan kembali
kompor untuk merebus air panas dan membuatkan lagi seduhan teh panas
untuk kamu. Saya ingat ini adalah gelas ke tiga. Sambil menunggu air
mendidih, saya menyandarkan bahu saya di tembok yang memisahkan antara
dapur dan kamar .
Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah
makan? Apakah kamu bermasalah dengan tenggorokan dan hidung kamu?.
Tiba-tiba saya rindu kamu. Pandanganku beralih ke dalam kamar. Kamar
tidur yang masih sama. Dengan kain warna hijau yang menutupnya. Bau
tubuhmu pernah melekat disana. Dan saya selalu rindukan saat-saat itu.
Saat kita benar-benar menyatu. Bukan lagi sebagai dua iiwa, tapi menjadi
satu cerita yang mengalir seperti air yang mengalir dari atas ke bawah,
Apakah kamu tidak merindukan saat-saat seperti itu? Entah kapan
terakhir aku memilikimu utuh? Apakah kamu masih mengingatnya sayang?
Saat kita mencuri-curi waktu agar kamu bisa memeluk pinggulku dan
mengecup sebagian keningku yang membiru. Kemudian kita tertawa smabil
berbisik, “Jangan berisik”, katamu.
Tiba-tiba rasa
khawatir menyergap. Suara petir menggelar tanpa hujan. Langit yang bisa
saya lihat dengan mata lepas tanpa batas tiba-tiba menghitam. Kamu belum
pulang?. Perasaan semakin galau. Saya segera mematikan air yang sudah
mendidih dan mengambil sejumput teh dan kemudian menyaringnya serta
menambahkan 3 sendok gula. Saya sudah hapal kesenanganmu. Petir dan
kilat semakin keras. Saya menyibakkan rambut dan segera menuju ke dalam
kamar sambil membawa segelas teh panas yang saya persiapkan untuk kamu.
Hujan turun. Bukan hujan yang biasa. Butirannya besar-besar . Atap rumah
seperti di hujami ribuan kerikil. Suaranya memekakkan telinga. Saya
meringkuk dan menggelungkan badan seperti anjing peliharaan tetangga.
Saya butuh kamu. Sedang kamu masih belum juga datang hingga sekarang.
“Nih masih di dermaga jam 6 berangkat”
Hujan
semakin menggila. Dan saya semakin meringkuk tubuh dan merasakan lutut
menyatu dengan dada. Dalam hati saya berdoa pelan-pelan kepada Tuhan.
Untuk menjaga lelaki saya. Saya bangkit dan melongok sebentar melalui
jendela. Air di belakang rumah sudah meninggi. Pohon bergoyang kuat dan
cipratan air hujan menerpa wajah saya.
“Bagaimana keadaanmu Yah?”
Tiba-tiba
saya ingin berlari ke atas bukit itu. Agar bisa melihat laut lepas dan
melihat kapalmu merapat ke dermaga. Agar mataku bisa melihat langsung
kamu turun dari kapal dan membawakan baju kurung berwarna kuning
keemasan seperti yang pernah kau berikan kepada saya. Mencium tanganmu
dan melingkarkan tanganku di lenganmu dan kamu akan mencium kening saya
dan membetulkan letak jilbab sambil menanyakan apakah saya sudah makan
atau belum.
Saya melemparkan tubuh saya di atas tempat tidur dan membenci karena tidak bisa melakukan apa-apa.
“Berdoa saja Nda…..”
Saya ingat dan akhirnya saya memejamkan mata dan berdoa pada Tuhan kami.
“Tuhan jaga laki-laki ku agar segera kembali padaku”
Saat
saya membuka mata hujan semakin menggila. Suaranya seperti suara
monster yang saya lihat di televise hitam putih jaman masih sekolah SD
“Nda
saya di lautan”. Saya menekan dada saya yang tiba-tiba sangat nyeri.
Saya tidak mau kehilangan kamu. Kekhawatiran yang berlebih
mungkin…….karena saya sudah merasakan lelah sakitnya kehilangan
orang-orang yang saya cintai. Dan saya tidak ingin kehilangan kamu.
“Tuhan jaga kamu Yah….”
1 komentar:
menunggu ya? memang pekerjaan melelahkan jika tak berkepastian..
blogwalking malem
Posting Komentar