27 Apr 2010

AKU RINDU JENDELA ITU


Dulu di masa kanak-kanak aku selalu suka berdiri di depan jendela. Yah….jendela besar yang terbuat dari kayu kuat dengan daun jendela yang selalu terbuka lebar di pagi hari. Sayangnya waktu itu tubuhku masih sangat kecil dan belum sanggup melewati tembok yang membatasi tempatku berdiri dengan jendela itu. Dan aku berharap agar cepat menjadi perempuan dewasa agar aku bisa memanjat tembok itu dan melihat apa yang terjadi di balik jendela itu.
Hhmmm….karena aku hanya bisa melihat bayangan yang melintas begitu saja jika aku menghadap tepat di depan jendela. Dan menebak-nebak bayangan siapa itu. Ibuku, ayahku yang pulang dari bertugas atau hanya sekedar Pak Johar, tukang becak yang selalu mengantarku ke sekolah TK.

Badanku semakin lama semakin meninggi dan aku sedikit mulai bisa merambat melewati tembok dengan bantuan kursi kecilku. Ada bahagia yang sangat! Saat aku bisa duduk manis di jendela tua rumahku dan membiarkan kaki-kaki kecilku menyentuh tumbuhan melati yang merambat di bawah jendela. Aku ingat saat itu siang mendekati sore dan aku berteriak kegirangan saat melihat ibuku turun dari sebuah angkot tua. Dia masih belum berjilbab. Rambutnya berantakan karena angin. Sepatunya terbuat dari kulit hitam yang sepertinya sudah menyatu dengan kulitnya. Tangan kanannya memeluk satu berkas yang kelak aku tau adalah buku-buku diktat untuk belajar membaca karena aku suka mengacak-ngacaknya. Sedang tangan kirinya memegang erat tas kerja yang bsa dikatakan sangat jelek. Aku dulu sempat berkata, “Bu…kalo adik punya uang banyak adik akan belikan tas kerja yang lebih bagus”. Dia hanya mengacak-ngacak rambutu dan bilang lebih baik aku membeli tas untuk diriku sendiri kelak. Yah….pertama kali aku berani menaiki jendela itu seorang diri dan berteriak keras pada ibuku yang baru saja pulang dari mengajar. “Buuuu……liat adik berani duduk disini”. Dan aku melihat wajah ibu pucat dan segera berlari masuk kedalam rumah lewat pintu samping dan langsung mengendongku dari belakang. Aku melihat ada wajah khawatir disana. “Adik salah ya bu….adik suka duduk disana”. Aku merajuk dalam gendongannya sambil menunjuk ke jendela dan berharap ibu mau mendudukkanku disana lagi. 

Ibuku hanya berkata, “Ibu hanya mengijinkan kamu duduk disana kalau ada ibu dirumah”
“Tapi ibu kan jarang dirumah. Pagi sudah berangkat sekolah, pulangnya sore. Bapak kan masih di Bali. Mas nurul juga main sendiri. Mbah juga banyakan masak. Adik sendirian Bu….adik suka liat orang-orang yang lewat dari jendela. Rame!”

Dan ibuku memelukku erat dan sejak itu ibu selalu menyempatkan waktu untuk menemaniku duduk di jendela sambil bercerita tentang sekolahannya yang sangat jauh, bapak ibu muridnya yang bayar pakai jagung. Atau sesekali ia berdongeng tentang sejarah pewayangan ataupun hanya sekedar menyuruhku membaca puisi yang aku tulis di sekolah. Dan yang paling aku suka adalah tiap akhir pekan saat ayahku pulang dari dinas di Bali. Aku selalu betah berjam-jam duduk di depan jendela sambil mendengar kisah ayahku tentang Sukarno dan tentang masyarakat kecil yang kelak aku kenal dengan sebutan nama kaum Marhaen. 

Hingga suatu waktu, ayahku tak pernah kembali ke Bali dia tinggal bersamaku dirumah kami. Tapi dia hanya tidur dan tidak bisa lagi menemaniku duduk di jendela kamarku. Tapi untungnya dia lebih memilih tidur di kamarku hingga aku masih bisa duduk di jendela walaupun harus membelakangi halaman depan dan memilih menghadap ke Ayahku. Dia memberikan buku yang sangat tebal sebagai pengganti kisah-kisah dia tentang Sukano. Ibuku juga sudah tidak lagi menemani aku. Sepulang sekolah dia langsung merawat Ayah. Memandikannya, bahkan menyuapi Ayahku. Sesekali aku membantunya dengan membawa baju kotor atau minuman untuk ayahku. Ibu juga menyuruhku untuk pindah kamar tidur bersama mbah. Dan melarangku tidur bersama ayah. Saat aku bertanya kenapa, ibu hanya bilang ayah sedang sakit. Tapi siang-siang sepulang sekolah aku selalu meringkuk di samping Ayah yang selalu membelai rambut panjangku sambil bertanya, “Kamu sudah baca buku hari ini”. Dan setelah itu aku langsung menuju ke jendela menyelesaikan buku yang berjudul “Di bawah bendera Revolusi”. 

Ayahku meninggal. Ibuku tidak menangis. Dan aku juga tidak menangis. Dan aku melepas jasad ayahku dari jendela itu. Tak ada keberanian menghantarnya ke pemakaman. Aku merasa lebih nyaman disini. Di Jendela. Menghadap ke teras dengan ratusan pelayat dan di belakngku ada sebuah ranjang terakhir ayahku meninggal. Aku tidak menangis. Walaupun banyak orang-orang dewasa yang mengusap kepalaku. Dan aku tetap bertahan di jendela tua itu walaupun Pak De ku datang untuk menggendongku dan menyuruhku turun. Aku berteriak dan tetap duduk di jendela itu. Saat malam dan tahlil menggema aku turun perlahan dari jendelaku dan meringkuk di atas ranjang tempat ayahku meninggal. Dan tidak terasa air mataku menetes saat melihat ibu menghampiriku. “Buuu….adik sudah nggak punya bapak”

Dan sekarang….tiba-tiba aku rindukan jendela itu. Lebih dari seperempat abad. Jendela yang menjadi tempat ternyaman dalam hidupku. Tempatku membaca, menyelesaikan tugas-tugas sekolah, belajar mati-matian memainkan gitar, pacaran dan bahkan sebagai jalan keluar jika ibu melarangku keluar rumah dan jalan masuk saat ibu sudah mengkunci pintu saat aku pulang kemalaman. Dan tempat aku menangis berjam-jam saat ibuku meninggal. Dan dari jendela itu pula, seperti saat kematian ayahku, aku melepas kepergian jasad ibuku kepemakaman terakhirnya. Yang membedakan aku tak perlu lagi memanjat dan menggantung kakiku di ujung jendela. Dan tak ada lagi sebuah dekapan yang mengatakan bahwa aku tak sendirian. 
Yah….aku rindukan jendela itu. Jendela tua dengan daun jendela yang juga tua berwarna coklat tua. Jendela tua yang selalu terbuka tiap pagi. Jendela yang menjadi singgasana gadis kecil hingga ia berubah menjadi permpuan dewasa. Sebuah jendela tua yang tiba-tiba sangat aku rindukan.
Ah….aku semakin jauh dengan jendelaku. Tempat aku melihat dunia luar yang menghubungkanku dengan kesendirian dan kesepianku. Yah…….hanya sebuah Jendela!

Catatan kupersembahkan pada Almarhum Ayah & Ibuku
yang mengajarkan aku keberanian untuk duduk di atas jendela
melihat sebuah masa depan dengan adrenalin yang sangat

sssttttt.....pada Y kelak kita akan duduk disebuah jendela
bercerita tentang sebuah kisah yang tetap menjadi sebuah rahasia


11 komentar:

HB Seven mengatakan...

sebuah jendela yang penuh dengan makna.....

Unknown mengatakan...

berkunjung mbak,


bingung komen...hehe...

Mulyani Adini mengatakan...

Sebuah Jendela yang sangat mengerti tentang semuanya

Arjuna mengatakan...

Jendela untuk melihat sebuah dunia,,,
catatan yg bagus mba...

salam,

catatan kecilku mengatakan...

Dunia dari balik jendela.. yg telah memberikan banyak warna bagi seorang Raa...

the others mengatakan...

Sebuah jendela yg telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup seorang gadis kecil hingga beranjak dewasa.. Saksi yg tetap menjaga kenangan itu tetap abadi...

Seiri Hanako mengatakan...

kerinduan...

hmmm

salam kenal

(^__^)

aktifis sandal jepit mengatakan...

dari jendela,dapat tercipta sebuah karya..
tapi sayang,rumah saya tidak ada jendelanya.hehe

nietha mengatakan...

suka ma gambar teddy bear yang pertama.. sampe2 dicopy dan dikirim ke hubby

Ninda Rahadi mengatakan...

mamaaaa mamaaaaa mamaaaaa T___T

jalahati mengatakan...

terima kasih telah berbagi kenangan indahmu. looove this post (and the pictures too) :)