30 Okt 2009

SEBUAH CATATAN TENGAN MALAM PADA SEBUAH LILIN

Aku menjadi bagian dari cerita Bercerita tentang langit yang tak lagi biru di atasku, tentang tanah yang tak lagi menumbuhkan, tentang laut yang tak lagi menerima sampahku. Karena aku adalah bagian dari cerita yang ceritakan tentang dunia. Bercerita tenang langit, malam dan angin yang semakin menjadikanku kerdil seirama dengan aroma tubuhmu. Menjadi sesuatu yang kekal dan tunggal, membentuk sebuah epos tentang aku.



Tentang seorang Puteri Mawar yang berada dalam singgasana merahnya. Kau tahu, puteri yang lahir dari batu dan disusui oleh malam. Dia terkurung dalam dunia maya yang tak pernah bisa di pahaminya. Hingga suatu hari, ada seorang Pangeran datang menemuinya, dan di adalah Pangeran Obor. Aha....Pangeran Obor yang membawa api panas birahinya dan dia persembahkan pada Sang Puteri. Cahayanya yang terarng, panasnya yang menakjubkan mampu meluluhlantakkan singgasana Puteri Mawar, dan ia menikmatinya. Setiap detik, setiap menit waktu yang ditawarkan oleh Pangeran Obor ditelan mentah-mentah oleh sang Puteri. Hingga akhirnya ia tertinggal dalam kegamangan api Pangeran Obor. Semua seakan-akan menjadi dunia absurd. Suatu waktu cahaya Pangeran Obor hilang, bahkan panasnya mulai mendingin. Saat hidup adalah keseimbangan seperti Tuhan menciptakan dunia dalam kematian, atau unsur panas dalam dingin. Serta Tuhan men-skenario, manuskrip kisah Sang Puteri yang terluka karena api Pangeran Obor. Tak ada sisa, hanya luka, hanya pedih, perih, dan sepi.

Puteri Mawar kembali merenung dalam singgasana merahnya. Menghitung hari dengan kebisuan yang asyik berbincang denannya. Menangis tak bertepi, tanpa air mata. Tak ada pantai. Tak ada ombak, tak ada badai. Antara ada dan tiada, terlepas mencari adamu. Sebuah transformasi indivisu terhadap realitas yang membuatnya jenuh. Oh...bajingan yang aku cintai. Mengapa bungkam hingga aku mengumpat padamu, lirih puteri mawar. Tiba-tiba singgasana Puteri Mawar terang benderang, bahkan temboknya melukis kaca yang berbinar memantulkan wajah yang menyatu denan ritme Andogini. Kejantanan yang mempesona, kekuatan yang menggoda, ketegasn yang memancarkan kelembutan. Penyatuan energi mistis, tarian jiwa yang statis. Sebuah totalitas yang menhasilkan energi. Dan tiba-tiba semua gelap. Wahai, Puteri Mawar kini buta karena cahaya Pangeran Matahari. Pangeran sombong yang tertawa sinis sambil berkata, "Puteri Mawar Buta karena cintaku". Puteri....puteri...terlalu bodoh ia melihat Matahari. Dia tak pernah sadar matanya akan buta karena Matahari. Semua teori yang menjemukan. Konsep mati yang menyakitkan!!!!!!.


Puteri Mawar kembali menikmati harinya dalam kebutaan. Entah sudah berapa malam yang dia lalui, atau karena semua hari adalah lelap yang berarti malam?. Ia tak pernah tahu mana cahaya. Semua menjadi satu dalam auditorium yang ia nikmati sendiri. Auditorium kesendirian. Wahai Pangeran, mungkin hilang dari pandangan. Aku butuh Pangeran saat ini, terkadang terbersit tanya. Kenapa?. Karena tekanan alamkah seperti halnya pengabdian Sembadra pada Arjuna?. Atau Roro Mendut yang rela berkorban demi Pranacitra?. Atau mungkin Ibu Kunthi yang melahirkan Pandawa?. Atau mungkin seperti kuda yang meneruskan siklus kehidupan lewat birahi?. Sungguh aku menjadi Srikandi yang resah. Srikandi yang lanang, yang jalang dan liar. Yang resah dalam pencarian. Aku bukan Sembadra yang haus sentuhan laki-laki. Aku bukan Kunthi yang menyembah laki-laki. Aku adalah aku yang Srikandi. Aku adalah aku yang aku.




Pangeranku...Kau kah Pangeranku?, Puteri Mawar berdiri saat sesuatu hangat merasuk melewati tiap senti tubuhnya. Pangeran..dimanakah kau? Inikah cinta yang aku agungkan? melukai tanpa ampun. Meremukkan pengadaanku tanpa Jeda. Aku kesakitan menjadikanku tak berhaga malam ini.

Aku menjadi materi pada kasus cahaya. Kau tahu Pangeranku? Cahaya yang berwarna ungu itu memiliki frekwensi yang lebih tinggi dan lebih panjang daripada warna cahaya lainnya. Dia memiliki photon-photon dengan energi yang lebih tinggi dan momentum yang lebih tinggi lagi. Dan hanya aku kau yang memiliki cahaya itu, Pangeran Lilinku. Aku nikmati tiap bias kesederhanaanmu. Cinta adala oase. Tempat semua makhlk menuju, tempat semua makhlk berpulang. Menuju pada sumber penghidupan. Pada fitrah Tuhan yang sebenar-benarnya. Untuk melanjutkankiran epos hiup

Aduh Gusti.....aku loro bronto.....

I’ve been alone with you inside my mins

And in my dreams I’ve kissed your lips a thousand times

Some times see you pass outside my door

Hello....

Is it me your looking?

I can see it in your eyes

I can see it in your smile

You’re all I’ve ever wanted

And my arms open wide

’Cause you know just what to say

And you know just what to do

And I want to tell you so much

I Love U My Candle.....

Ijinkan aku membunuh waktu untuk sebuah pembuktian. Inilah ikatan hati tanpa nama. Tanpa judul, tanpa kerangka berpikir yang membuatku terikat. Ikatan yang takkan ku ijin kan lepas walau sesaat meskit kita berjarak, meski kita berperantara angin, meski kita harus ber-jeda. Kerinduan yang kosong. Mneghadirkan mokhsa dari ragawi. Pembebasan jiwa yang ku jalani tanpa sengaja. Bukan karena kesadaran tapi karena kematian daam kehidupan yang tidak layak untuk disebut kehidupan. Tataplah mataku dan kau akan menjadi batu hitam menggumpal di hatiku. Medusa. Cintaku yang berhias tari-tarian sensual. Sebuah energi kosmis yang membawamu menggenderangkan tarian jiwa yang tunggal. Memancarkan keindahan ajaib membawaku pada keberadaan yang suci dalam hatiku. Ini cinta!!!!!! Bukan permainan. Maafkan? Jika aku ingin mencintaimu secara sederhana. Dan mencintai yang sederhana.

Dan aku telah melupakan Pangeran Obor, Pangeran Obor karena aku telah menemukanmu!!!!!!

Pangeran Lilin....aku mencintaimu.....! Jadilah inspirasi dalam hidupku dalam kosmos cahaya kesederhanaanmu.

(catatan persembahan pada Pangeran Lilin. Dan dia ada di antara kita. Di dunia antah berantah. Dunia yang sama-sama kita cintai)

11 komentar:

Rumah Ide dan Cerita mengatakan...

Kadang malam menggigitku dengan rasa sepi.
Membawa cerita-cerita tentang nenek sihir dan kucingnya di bulan.

Kadang malam juga mengingatkanku serial pembunuhan berantai.
Jack the ripper, Ryan si jagal, atau yang mungkin kan segera terjadi.

Aku melongok selimutku. Mungkin saja pembunuh itu telah berdiam di dalamnya.
Tapi tak ada. Cuma menempel benda kecil yang kemudian membuatku tertawa.

Ah...
Paling tidak, malam bisa menhilangkan kepura-puraanku.
Aku tsk perlu melengkungkan senyum
Yang sebenarnya ku tak mau.

Dan aku bisa berkhayal bersetubuh dengan siapapun tanpa perlu merasa menodai.

becce_lawo mengatakan...

malam yang penuh imajinasi...

Unknown mengatakan...

bahasanya seni banget yaa..

waw..

dan cahaya digmbrnya pas bgt mendeskripsikan ceritanya.

Unknown mengatakan...

puteri mawar yg malang.

Sohra Rusdi mengatakan...

aduh bahasa sastra yang hanya bisa dibalas oleh shakespeare

Aulawi Ahmad mengatakan...

salam buat pangeran lilin...hati2 jgn sampai tertiup angin dan selalu menjaga apinya agar tak buat dia cepat meleleh....karena bila itu terjadi "seperti kata fanny, kasihan sang putri mawar"...:)

reni mengatakan...

Wah mbak..., tulisan yang ini romantis sekali. Kata-katanya bagus sekali...

Yanuar Catur mengatakan...

seni kamu oke nih??
wah, kayaknya aku berkomen di blognya seniman nih
hehehehe

Freya mengatakan...

kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen.....


kyaaaaaaa kyaaaaaaaa....love it so much about the perfect word.

tetaplah berkarya...saya nunggu karya terbaru hihihi

lovepassword mengatakan...

Foto dan isi tulisannya sungguh menunjang. Hebat...

yans'dalamjeda' mengatakan...

Oh...bajingan yang aku cintai. Mengapa bungkam hingga aku mengumpat padamu.
Ach, betapa keras hidup yang kita jalani. Sementara kita punya ruang jeda untuk memilih, membakar atau terbakar dalam panasnya. Atau justru pilihan itu adalah garis yang musti dijalani, tak ada pilihan yang menggerakkan untuk memilih yang lain.
Barangkali pangeran Lilin hanya mampu menerangi dengan sedikit cahayanya. Mengiringi Pangeran Obor yang tetap ada dengan segenap terang yang dimilikinya yang sesungguhnya dipersembahkan buat Srikandinya.