22 Jan 2015

RUJAK KELANG, RUJAKNYA PELABUHAN MUNCAR

Namanya "Rujak Kelang"

Seharian ini saya menghabiskan waktu seharian di Kecamatan Muncar. Saat saya masih SD, ibu pernah bercerita jika Muncar menjadi pelabuhan ikan terbesar kedua di Indonesia setelah Bagan Siapi-api. Saya tidak tahu apakah informasi itu masih akurat sampai detik ini.

Saya membaca banyak catatan tentang Muncar, salah satunya tentang krisis ikan di Muncar akibat pencemaran air laut sejak 3 tahun terakhir ini. Selain limbah dari industri pengolahan ikan di sekitar kawasan pelabuhan, limbah dari penambangan emas di wilayah kawasan Tumpang Pitu kecamatan Pesanggaran juga menyumbang menurunnya jumlah ikan di wilayah Muncar.

Setiap harinya, minimal 500 ton ikan yang di bongkar dipelabuhan Muncar dan 90 persen dipasok ke industri pengolahan ikan setempat. Bisa dibayangkan berapa besar pemutaran uang di wilayah Pelabuhan Muncar.

Dari data Badan Pengkajian dan Penerapan Tekhnologi Jakarta pada tahun 2010 tercatat jika pencemaran sudah menjangkau kawasan perairan Muncar sejauh 200 hingga 350 meter dari bibir pantai, termasuk juga sungai sungai yang ada di sekitar Muncar seperti Kali Mati, Kali Tratas dan Kali Moro. Kondisinya sudah "gawat darurat"

Kembali ke kuliner yang saya temukan di wilayah Pelabuhan Ikan Muncar. Namanya "Rujak Kelang"

Sederhana, hanya buah sejenis mangga yang di cacah termasuk potongan tahu goreng. Kuahnya istimewa. Petis ikan yang berwarna coklat sedikit cair tidk terlalu kental yang dituang dimangkok. Lalu cabai yang di iris tipis-tipis lalu di campur dengan kuah pindang yang sedikit hangat. Maka "berenang" lah mangga dan tahu goreng di dalamnya.

Saat saya bertanya apakah ini sama dengan "Rujak Kuah Pindang" yang ada di Bali, ibu penjualnya mengatakan berbeda karena jika di Bali, rujak kuah pindang masih menambahkan racikan terasi, gula dan garam. "Kalau yang ini ndak usah pakai apa-apa. Kalau kurang garam yang tinggal ditambahin saja," katanya.

Saya juga masih belum mendapatkan penjelasan darimana nama "Rujak Kelang" di dapatkan. Apakah "kelang" berarti "berenang"?. Tidak ada yang bisa menjawab dengan tepat.

Nah saya membayangkan saja jika seandainya Pelabuhan Muncar tidak lagi menghasilkan ikan. Maka "Rujak Kelang" mungkin hanya akan menjadi cerita. Atau pun jika bertahan maka harganya tidak akan 3.000 rupiah per mangkok. Bisa jadi 20 ribu atau 50 ribu dengan alasan karena petis ikan dan kuah pindangnya di buat dari ikan yang di import dari Thailand atau Australia.

Ngenes kan? ketika Indonesia yang terdiri dari lautan dengan potensi laut yang luar biasa tapi kita lupa menjaganya. Laut bukan tempat sampah. Laut bukan tempat pembuangan limbah. Laut bukan sebuah kubangan untuk mengalirkan 'mercury" dari pengolahan tambang emas.

Ini baru tentang "Rujak Kelang"

Maka saya menikmatinya saat hujan bersama dengan belasan agen dari Planet Hi Ho yang di kirim ke Planet Bumi. Agen-agen yang saat ini ditempatkan di Muncar untuk berbuat baik salah satunya adalah mengkampanyekan untuk "menjaga" laut Muncar.

#DuniaIraa, 11 Januri 2015

Laut itu semacam pelukan ibu yang hangat. Semacam bapak yang merentangkan lengan dan mengatakan, "Ini rumah mu"

Tidak ada komentar: