22 Jul 2013

EKSPEDISI KAMPUNG ARAB - KOSEBA (KOMUNITAS PECINTA SEJARAH BLAMBANGAN)


PARA PEDAGANG YANG MENYEBARKAN ISLAM )*

 
Di halaman rumah kuni arsitektur arab - Kampung Arab - Banyuwangi

 Orang-orang Arab yag saat ini menetap di Indonesia, kebanyakan berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Awalnya mereka hanya berminat untuk berdagang dan baru niat menetap dan memiliki komunitas mulai tahun 1750 keatas (Affandi,1999:61). Sedangkan orang arab dari negara lain seperti Persia dan Arab Saudi memilih kembali ke negara asalnya setelah urusan dagangnya selesai.

Penduduk Hadrahmaut terdiri dari empat kelompok utama.

1. Golongan Alawy : Golongan yang menganggap keturunan Nabi Muhammad SAW. Contoh nama marga dari golongan Alawy antara lain Al-Haddar, Al-Hamid, Al-Muhdar, Al-Idrus, dan Assagaf

2. Golongan Masyaikh : Golongan yang biasa disebut Syaikh. Golongan ini merupakan golongan yang terdiri dari orang terpelajar dan dianggap sebagai pemimpin agama. Nama-nama marga dari golongan Masyaikh antara lain Bahanna, Basalamah, BayaQub, Bahasuan dan Baraja

3. Golongan Qabilah : Golongan yang memiliki kekuasaan di Hadramaut. Antara lain Abud, Abdul Azz, Addibani, Alhadjri, Alkathiri, Al-Qa’ithi, Ba’asyir, Bafadhal, dan Basya’i.

4. Golongan Dhuafa : Golongan ini merupakan kelompok terendah dalam masyarakat Hadramaut. Sebagian besar golongan ini terdiri dari rakyat jelata yang memiliki matapencaharian sebagai buruh tani dan budak.
 
 
Namanya Kisma - Dia sahabat saya

Orang Arab diperkirakan masuk ke wilayah Blambangan (sebelum terbentuk Kabupaten Banyuwangi) sekitar tahun 1766. Saat itu Pelabuhan Ulu Pampang yang berada di pesisir timur Blambangan (sekarang Muncar), menjadi salah satu pelabuhan paling sibuk di Selat Bali dan sekitarnya. Banyak pedagang dari berbagai etnis secara regular berkumpul di pelabuhan tersebut.
Belanda sendiri benar-benar menguasai Blambangan pada tahun 1767. Setelah menghadapi perlawanan dari pasukan Agung Wilis, Belanda memindahkan ibukota Blambangan ke Pampang dengan alasan lebih dekat dengan pelabuhan sehingga mudah melakukan pengawasan. Kemudin setelah memenangi Perang Puputan Bayu yang di pelopori Rempeg Jogopati dan Sayu Wiwit, Belanda kembali memindahkan ibu kota dari Pampang ke Banyuwangi pada tahun 1774.

Pada tahun 1866, Belanda memberlakukan sistem perkampungan dan kartu tanda jalan (wijkenstelsel dan passenstelsel) yang ditopang dengan Undang-undang Kependudukan yang tertuang dalam Indische Statsregeling, yaitu pembagian berikut perlakuan terhadap masyarakat menurut ras masing-masing yang terbagi menjadi : 1. Europeaanen (orang-orang Eropa), 2. Veemde Oostrlingen (golongan Timur Asing, termasuk Arab, India, dan Cina) dan 3. Inlanders atau pribumi.
Implikasi dari kebijakan ini, terbentuklan pemukiman berdasarkan etnisnya seperti adanya Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Melayu, Kampung Mandar dan Kampung Bali. Mereka yang akan keluar dari pemukimannya untuk mengunjungi pemukiman lain harus mengurus surat jalan. Kebijakan pemisahan inilah yang akhirnya mengganggu proses asimilasi antara penduduk Hadramaut dan penduduk pribumi. 

Sejarah Al-Irsyad Al Islamiyah - Banyuwangi

Berg (2010:96-97) mencatat bahwa pada tahun 1885, jumlah orang Arab yang bermukim di Banyuwangi sekitar 356 orang. Terdiri dari 84 laki-laki, 25 perempuan dan anak yang lahir di Banyuwangi sekitar 247 orang. Setiap pemukiman dipimpin oleh seorang kapten yang setara dengan kepala desa atau lurah. Tugas kapten adalah melakukan pendataan penduduk, menjaga stabilitas wilayah dan memudahkan pengawasan sehingga setiap perubahannya dapat terdeteksi.

Kapten Arab pertama kali diangkat pada tahun 1872. Beberapa Kapten Arab yang pernah mengepalai suku Arab di wilayah Kampung Arab Banyuwangi yaitu, Datuk Sulaeman Bauzir, Datuk Dahnan, Habib Assegaf, Ahmad Haddad (Sholihat,2011:2).  
 
Pantai Ancol - peran perekonomian komunitas arab
 

Dulunnya kampung Arab berada di dekat Pelabuhan Boom sehingga penduduknya bisa berdagang melalui pelabuhan yang berada 3 kilometer di timur kota Banyuwangi yang menjadi pelabuhan utama setelah Ulu Pampang. Setelah Indonesia terbebas dari jajahan Belanda, kedudukan Kapten Arab dihapuskan. 

Nama Kampung Arab kemudian diubah menjadi Kebun Jeruk, karena dulunya setiap halaman rumah warga di penuhi oleh pohon jeruk. Mereka memperdagangkan jeruk khas Kampung Arab yang terkenal seantero wilayah Banyuwangi dan banyak digunakan sebagai upacara bagi orang Cina. Jeruk Kampung Arab musnah setelah adanya bibit penyakit. Pamornya pun di gantikan dengan kehadiran jeruk Bali.
Kebun Jeruk berganti dengan nama semula yaitu Kampung Arab yang banyak di huni oleh keturunan-keturunan Arab. Saat ini Nama Kampung Arab berada di wilayah Jalan Bangka Kelurahan lateng.

Menurut data Kelurahan Lateng tahun 2010, Lateng terbagi menjadi 37 RT dan 8 RW dengan luas wilayah 70 hektare dan berpenduduk 8.775 jiwa. Setelah kebijakan wijkenstelsel dihapuskan, banyak orang Arab yang keluar dari pemukimannya. Terutama golongan Alawi, yang banyak bertempat tinggal di Kelurahan Singotrunan.

Masjid Al-Hadi - Banyuwangi


  Peran komunitas Arab di Banyuwangi:

1. Penyebaran Agama Islam

Pedagang Hadrahmaut yang datang ke Blambangan menjadi salah satu pembawa agama Islam sebelum abad 18 yang masih bercorak Hindu. Islam baru berkembang pesat setelah VOC / Belanda yang bekerjasama dengan Mataram menguasai Blambangan sekitar tahun 1774. Belanda berkepentingan terhadap Islamisasi Blambangan untuk memutus Blambangan dari Bali yang beragama Hindu. Selama ini Bali mempertahankan Blambangan karena menjadi benteng kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.

Di awal abad ke-18, saat pemerintahan Bupati Pringgokusumo, seorang ulama Hadramaut, Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir, di tunjuk untuk menyebarkan Islam di Banyuwangi. Menurut Hasyim (2011:4), Abdurahim Bauzir menginjakkan kaki di bumi Nusantara tahun 1800-an. Pertama datang ia memilih Blambangan sebagai daerah transit sebelum akhirnya melanjutkan syiar Islam ke perkampungan Melayu, Loloan, Jembrana Bali. Di Loloan, Datuk Ibrahim Bauzir menikahi seorang gadis setempat Zaenab dan memiliki putra pertama bernama Syekh Sayyid bakar Bauzir. Namun anak dan istrinya meninggal dan dimakamkan di Loloan. Datuk Ibrahim memilih kembali ke Banyuwangi dan bertempat tinggal di Kampung Arab bersama putra keduanya Datuk Ahmad, dan seorang sahabat karibnya Syekh Hasan hingga Datuk Ibrahim meninggal di tahun 1876 dan dimakamkan di pemakaman khusus di Kampung Arab Jalan Basuki Rahmat Banyuwangi.

2. Sosial dan Pendidikan.

Komunitas Arab yang tinggal turun temurun mendirikan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Organisasi yang pertama kali terbentuk adalah Jamiat Khair kemudian di susul dengan berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Organisasi ini berperan penting dalam pergerakan nasional mendorong kemerdekaan Indonesia serta mencerdaskan bangsa.
Jamiat Khair membuka cabang di Banyuwangi yang dikenal dengan nama Al-Khairiyah oleh Hasan Abu Bakar pada tahun 1930. Sedangkan organisasi yang kedua yang menjadi gerakan Islam modern dan reformis yaitu Jam’iyat Al-Ishlah wal Irsyad Al-Arabiyyah yang kemudian dikenal dengan Al-Irsyad Al-Islamiah yang berdiri di Banyuwangi pada tahun 1927 dengan kegiatan bersifat sosial dengan konsentrasi utama pada bidang pendidikan. 
 
Peran pendidikan - Al-Irsyad

 3. Adat dan Budaya

Bentuk akulturasi yang paling nampak bagi orang arab dengan penduduk Banyuwangi adalah kesenian musik Hadrah. Oraang Arab lebih dulu mengenalnya dengan sebutan Hajir Marawis, yang digunakan untuk melakukan dakwah kepada masyarakat Banyuwangi untuk memperkenalkan agama Islam melalui kesenian. Namun kesenian ini mengalami perubahan dalam masyarakat Banyuwangi yang tidak dapat langsung dipahami oleh masyarakat. Sehingga orang Banyuwangi mengganti bacaan yang disyairkan dengan seni Diba’ dan barzanji yaitu seni sastra puisi yang bernafaskan islam. Selain itu dalam hal berpakaian juga mempengaruhi masyarakat sekitar yang dulunya memakai kebaya tetapi sekarang mayoritas berpakaian muslim.
 
Pemasangan Henna / Pacar

Viva Historia!!

*Materi ini diringkas dari tulisan Jejak Bangsa Hadramaut di Banyuwangi karya Rossi Prima Yunita yang diterbitkan dalam buku “Banyuwangi Dalam Mozaik 2” oleh Komunitas Pecinta Sejarah Blambangan, 2013.

Tidak ada komentar: