10 Jul 2012

TUHAN .... KAMU DIMANA?

Saya melihat di jam di HP saya.  Mendekati tengah malam.  Entah kenapa juga saya memilih tempat ini. Tangan saya membetulkan letak jaket hitam yang bersahabat dengan saya berminggu-minggun ini.  Merapatkan nya tepat di bawah dagu saya dan menaikkan tutup kepalanya. Rambut  pendek saya sedikit terurai angin laut. Ucapan selamat malam dari seorang waiters hanya saya jawab dengan anggukan. Kaki saya memilih kursi di pelataran tepat di samping pembatas kayu. Yang memberikan jarak antara daratan dan lautan. Iya jarak….. yang membuat semua menjadi terasa jauh. Padahal seandainya pun kayu ini di singkirkan maka jarak itu akan hilang. Daratan dan lautan akan menyatu di hubungkan dengan pantai.  Sebuah hal yang sederhana tapi terkadang kita sendiri yang membuatnya menjadi sebuah hal yang rumit.  Dan salah satunya adalah saya.

Saya tersenyum sendiri dan menyalakan sebatang rokok dan menghembuskannya dalam-dalam. Sejak kapan saya merasa bebas seperti ini?. Saya mengusap muka saya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menjentikkan abu ke atas asbak yng di bawakan pelayan yang tergopoh-gopoh menghampiri saya. Perempuan. Saya taksir usianya nya baru 20 an. Wajahnya masih lugu dengan rambut di ikat kuda. Wajahnya tanpa rias, hanya bedak tipis dengan lipstick merah muda yang sangat muda. Sangat kontras sekali dengan para pengunjung terutama dengan penyanyi di ujung pelantar ini.  Rambutnya pirang dan sengaja di roll besar yang menimbulkan kesan bergelombang seperti mode than 70an. Badannya padat berisi dengan belahan baju sengaja diturunkan di bagian dada. Saya menghisap rokok saya sekali lagi dan berpikir kenapa perempuan selalu menjual tubuhnya. Padahal walaupun tanpa harus menurunkan baju bagian  dada semua orang akan mengakui suaranya luar biasa. . Suaranya tipis dan terkesan manja.

Sul Mare luccia
L’astro d’argento
Placida e il vento
Venite all’ agile
Barchetta mia:
Santa Lucia, Santa Lucia


Saya menikmati lantunan lagu itu.Santa Lucia itu adalah salah satu perawan suci yang tertera dalam kanon Romawi.  Setiap misa banyak orang yang membawakanhya sebagai perantara. Konon, Santa Lucia adalah puteri bangsawan kaya lagi ternama yang berasal dari kota Syracusa, ibukota pulau Sicilia, yang karena akibat kekalahan Kartago dalam perang Punis I menjadi negara jajahan Roma. Semua undang-undang yang diciptakan Kaisar Roma berlaku juga bagi negara Sicilia. Saat ibunya sakit, Lucia di jodohkan dengan laki-laki yang tidak seiman dengan dia. Ibunya berharap Lucia bisa mempengaruhi laki-laki itu agar segama dengan Lucia. Lucia menyetujui. Suatu waktu Lucia mengajak ibunya yang sakit parah ke makam Santa Agatha untuk meminta kesembuhan. Tunangan Lucia tidak mau menemani perjalanan mereka karena dianggap sia-sia. Hingga akhirnya setelah berdoa di makam Santa Agatha, ibu Lucia sembuh sehingga Lucia meminta kepada ibunya uang yang akan digunakan untuk membangun rumah diberikan saja kepada anak-anak yatim dan orang miskin. Saat mengetahui hal tersebut, tunangan Lucia marah besar. Dia melaporkan Lucia pada gubernur Paschius, dan bertepatan sekali saat itu sedang ada pengejaran terhadap orang-orang Kristen. Lucia tertangkap atas laporan tunangannya sendiri. Dia dipaksa melacur…. Namun tangan Tuhan melindungi dia. Akhirnya Lucia mati di bacok dengan sebilah pedang tetap sebagi seorang perawan yang suci yang percaya atas keberadaan dan kebesaran Tuhannya.
Santa Lucia …… orang-orang yang duduk disekitar saya bertepuk tangan termasuk saya. Santa Lucia….  Meninggal sebagai perawan suci dengan keyakinannya.

Saya tiba-tiba ingat saat kamu menceritakan tentang Rabiatul Adawiyah. Seorang perempuan yang menjadi kekasih Allah. Saya menundukkan kepala saya dalam-dalam. Masih terbayang kamu mendendangkannya tepat di telinga saya. kemudian membuat saya terkagum-kagum akan kesetian dia pada Allah. Air mata saya mengalir tanpa isakan.……. Jangan membandingkan. Berkaca pada  Lucia dan Rabiatul Adawiyah saja saya sangat tidak pantas.

Saya membuang muka ke arah selat Philips. Singapura seakan berada di depan hidung saya. Sangat dekat dibandingkan jarak antara Ketapang Gilimanuk yang menghubungkan Jawa dan Bali.  Beralih di sebelah kiri. Sebuah bukit yang membatasi antara Kampng Tua Tanjung Uma dengan perdaban Batam. “Bukit Semocong “, katamu saat itu. “Dulu sebelum ada jalan, warga Tanjung Uma menggunakan pompong lewat pelabuhan tradisional”. Dan sampai sekarang pun saya bisa melihat lampu-lampu kecil yang menandakan itu adalah sebuah perkampungan. Sedangkan pelabuhan tradisional yang berada di bawah hotel berbentuk kapal seperti sebuah titik putih dalam gelap. Benar sesuatu yang berbeda akan terlihat langsung dengan tangkapan mata. Namanya noktah akan tetap terlihat. Hitam diantara bentaran putih….. putih diantara bentaran hitam.

Tiba-tiba saya merasa ada di Roma dengan pemandangan seperti ini. Selat Philips di depan saya seakan codet yang memisahkan dua daratan dan mengkotak-kotak nya menjadi sebuah negara.

“Hai.. sudah lama….”

Perempuan itu tiba-tiba saja duduk didepanku. Aku menyalaminya

“Makasih Raa… sudah datang malam ini. Saya butuh kawan”

Perempuan itu tertawa seperti biasa. “Sudah habis berapa batang”, katanya. Aku menunjuk asbak di hadapanku.

“Gila…. 5 batang? Tuh jantung mau jebol”

Saya diam dan menyalakan rokok yang ke enam saya menawarkan rokok kepadanya. Raa menolak, “Ayah ku mati gara-gara rokok”

Saya membantahnya. “Sudah waktunya dia mati Raa”

Dia kembali tertawa. “Betulll…. Mati. Saya akrab dengan kematian. Tapi saya tidak ingin kamu juga mati gara-gara rokok sialan itu”

Saya tidak memperdulikan Raa yang terus bercerita tentang buruknya rokok. Dan tiba-tiba dia berhenti saat mengatakan bahwa rokok mengakibatkan kemandulan pada perempuan..

“Maaf”, katanya tiba-tiba. “Aku tidak ada maksud menyinggung kamu”.

Gantian saya yang ketawa terbahak-bahak. “Santai saja Raa…. Saya sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Terkadang saya berpikir perempuan-perempuan ‘gabuk’ seperti saya ini hanya memenuhi isi dunia. Seharusnya perempuan-perempuan seperti kami tidak perlu di lahirkan. Saat masyarakat hanya berpikir bahwa perempuan itu hanya sebagai objek seksual dan pencetak anak”

Saya terdiam sejenak, “Mau pesan apa Raa”. Seperti biasa Raa memonyongkan bibir dia dan menyebutkan satu merk minuman soft drink berwarna biru.

“lelaki ku selalu memesan minuman yang sama dengan yang kamu pesan Raa”

Saya memanggil pelayan untuk mengambilkan pesanan minuman Raa, “Sekalian kentang goreng dan Santa Monica. Adakan?”

Pelayan itu mengangguk dan saya membiarkan dia beringsut menjauhi saya dan Raa. Entah apa yang ada dalam otak saya menyuruh Raa datang tengah malam ini hanya untuk menemani perempuan galau seperti saya. Dia adalah tempat sampah bagi saya. Berjam-jam dia akan mendengarkan semua cerita saya. Dia hanya diam sambil sesekali menimpali sambil menikmati secangkir kopi. Tumben saja malam ini dia tidak memesan kopi O atau capucino kesenangan dia.

“Kamu tahu Raa…. Terakhir aku memeluknya disana”, aku menunjuk sebuah bangunan di seberang tempat kami duduk. “Dan saya merasakan bahwa pelukannya berbeda. Iya… sebuah pelukan terakhir”
“Berceritalah terus…. Saya akan duduk disini menemani kamu”
“Saya bodoh Raa… saya sangat bodoh ….. mempercayai lelaki itu. Dan lebih bodohnya lagi… saya kehilangan Tuhan saya”
“Kata kawanku kamu dekat Dia dekat Kamu jauh Dia semakin Jauh....”
“Berbahagia sekali kawan mu Raa. Saya ingin mendekat pada Tuhan. Tapi saya pikir Tuhan tidak perduli kepada saya Raa”

Pelayan datang.  Dengan satu nampan agak besar dia membawa soft drink pesanan Raa, kentang goreng dan Santa Monica. “Kamu tidak pesan makan Raa”. Dia menolak dan mengatakan sudah kenyang.

“Kamu tahu Raa? Santa Monica ini adalah anggur yang manis. Di Roma termasuk minuman murah.  Dia halus. Tidak cepat membuat orang mabuk. Meneguk nya perlahan lahan sedikit demi sedikit tidak membuat kita merasa mabuk “

Saya menuangkan sedikit di gelas bertangkai panjang. “Kamu mau Raa”. Dia tetap menggeleng dan mempersilahkan saya untuk meminumnya. “Saya tidak membutuhkan itu. Kalau kamu butuh teguklah”, katanya sambil membuka botol softdrinknya.

“Santa Monica adalah seorang perempuan asketis. Dia anti minuman anggur. Seperti halnya Santa Lucia, Santa Monica adalah perempuan suci, ibu dari pujangga gereja terkenal Santo Agustinus. Dia selalu mengatakan kepada keluarganya jika mereka haus maka minumlah air putih jangan anggur. Melatih keluarganya agar tidak menyentuh anggur. Santa Monica mempunyai anak yang bernama Agustinus. Berbeda dengan ibunya yang menjadi perempuan pendoa, Agustinus adalah seorang pendosa, mengikuti aliran sesat yang bertentangan dengan kepercayaan ibunya. Hidup berfoya-foya dan mempunya istri gelap”

Raa duduk menopangkan dagu ditangannya.
“Kamu belum mengantuk Raa”
“Belum …. Berceritalah terus”

“ Suatu hari santa Monica datang ke uskup Ambrosius. Dia meminta kepada uskup agar anaknya bisa kembali ke jalan agamanya. Sang Uskup menyuruh Santa Monica pergi dan menyuruh ia percaya bahwa tak mungkin doa dan tangisan yang sedemikian lama tidak membuat Agustinus bertobat. Hingga akhirnya Monica mengatakan kepada anaknya, “Tak ada sesuatu pun yang jauh dari Tuhan. Tak perlu kau takut, juga jika pada akhir dunia. Namun satu permintaan ku sebelum aku mati bertobatlah

Agustinus akhirnya bertobat. Namun nyawa ibunya tidak bisa diselamatkan. Pertemuan terakhir Agustinus dengan ibunya dituliskannya  dalam karya sastra yang indah. Et dimisi lacrimas quas continebam ut effluerent quantum vellent …….Kubiarkan air mataku bercucuran, biarkalah air mata ini mengalir sepuas-puasnya. Dengan tangisnya ia merasa damai karena ia merasa bukan telinga manusia, tapi telinga Tuhan sendiri yang mendengar nya”

Saya diam dan kembali meneguk Santa Monica

“Raa… apakah aku bisa seperti Agustinus? Apakah telinga Tuhan mendengarkan tangisan aku”

Tiba-tiba muka Raa serius. “Hei… kamu tahu? Apakah lelaki  di ujung sana mendengar cerita kamu barusan”

Saya tersenyum. “Tentulah tidak Raa. Dia jauh dari posisi kita sekarang. Lagian aku bercerita ke kamu. Bukan ke dia”

Saya langsung menghentikan sanggahan saya.

“Itulah …. Jika kamu ingin Tuhan mendengarkan tangisan kamu. Mendekatlah ke Dia”

Saya diam dan menuangakan Santa Monica kembali di gelas.

“Saat banyak orang berambut gondrong dan acak-acakan. Jangan salahkan karena tidak ada tukang cukur. Seharusnya orang berambut gondrong itulah yang datang ke tukang cukur”, bisik Raa sambil mendekatkan wajahnya.

Saya tertawa terbahak-bahak tidak terkontrol. Tapi entah kenapa tiba-tiba air mata mengalir deras. Argghh….. Santa Monica ini benar-benar telah mempengaruhi otak. Saya tidak bisa menjelaskan apakah saat ini saya sedih atau bahagia.

Tiba-tiba muncul  bayangan  Santa Monica yang duduk di depan altar…. Bukan…. Bukan… bukan … itu bukan Santa Monica. Itu ibuku dengan mukena putih yang sedang berdoa tengah malam dan saya tertidur menggelung di samping ibu. Ibu saya mencium kening saya dan merapalkan banyak doa  untuk saya. Mendoakan hal-hal terbaik untuk saya.

“semoga kamu menjadi anak yang berguna bagi ibu, bapak, agama nusa dan bangsa”. Doa itu seakan-akan terngiang ditelinga saya.

“Kamu sudah mulai mabuk”

“Tidak Raa… Santa Monica itu ibu saya. Dia tidak akan membuat saya mabuk. Saya Agustius”

“Kamu semakin kacau…. Agustius itu laki-laki. Kamu perempuan”

“Tidak… tidak… aku Rabiatul Adawiyah… Aku Santa Lucia….. ahhh…. Tidak mungkin. Mereka mati dalam keadaan masih perawan suci. Sedangkan aku? Mengenal Tuhan saja aku tidak sangup”

Saya semakin meneracau…… “Antar saya pulang Raa… antar saya ke ibu saya”

“Tidak mungkin .. ibu kamu sudah meninggal. Haduhh… seharusnya saya melarang kamu menghabiskan Santa Monica sialan itu”

Saya terdiam dan membiarkan Raa menopang tubuh ku yang sudah tidak berdaya.

“Raa… antar saya menemui laki-laki saya”

Tiba-tiba dia menampar saya dan membuat saya terhuyung, “Kamu tahu…. Laki-laki kamu sudah mati. Sudah cukup kamu menyiksa dirimua sendiri. Hanya gara-gara laki-laki sialan itu kamu kehilangan otak seperti ini. Masih banyak yang bisa kamu lakukan selain menghabiskan waktu mu seperti ini. Kamu perempuan hebat…. Jangan siksa diri kamu hanya gara-gara laki-laki yang tidak punya terimakasih”

“Dia ayah dari anak aku”, saya berteriak lantang

“Anak… anak apa? … Apa dia pernah mendoakan anak kamu? Apa dia pernah menanyakan bagiamana kabar kamu? Apakah dia pernah ingat dimana anak kamu? Laki-laki seperti dia tidak pantas menjadi ayah anak kamu”

“Saya mencintainya”

“Cinta… cinta macam apa… .. saya pikir perempuan seperti kamu bisa bersikap logis. Pakai nalar. Pakai otak”

Saya diam dan berjalan terhuyung-huyung menuju hotel yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat saya menghabiskan  Santa Monica dengan teriak-teriakan Raa yang terus memenuhi isi kepala saya.

Seorang Roomboy membantu saya naik ke lift dan membuka kamar saya.  Saya memejamkan mata. Di kamar ini di lantai 6. Semua kenangan itu membayang.

“Kamu berbeda Yah….”
“Perasaan kamu saja Nda”

Dunia seakan berputar dan saya tidak sadarkan diri. Kenapa Raa tiba-tiba diam. Dia hilang. Dia tidak lagi mau mendengarkan cerita saya. Raa saja muak melihat saya, bagaimana orang lain, bagaimana dengan Tuhan. Tiba-tiba saya merasa sendiri….


*Rabiatul Adawiyah, Serikandi yang tercipta

Sungguh agung pengabdianmu, Kau berjaya menjadi iktibar
Asmaramu dihampar suci, Pintalan dari awanan putih
Membuahkan titisan rahmat, Menyuburkan mawar yang layu


Namamu menjadi sanjungan, Ikutan ummah sepanjang zaman
Ayuh bersama kita susuri, Perjalanan kekasih Allah

Saya merasa kamu berdendang di telinga saya ………. Tuhan dimana Kamu?



* Rabiatul Adawiyah - In Team

#terinspirasi "Dari Pulau Buru ke Venezia - Sindhunata"

2 komentar:

Ninneta - MissPlum mengatakan...

mba Ira...

Aku rindu sekali dengan tulisanmu...

aku senang sekali bacanya...

Sering nanya gitu juga mba. terutama akhir-akhir ini... saatnya semuanya kacau...

Tapi kata orang tua, Tuhan itu ada dimana-mana mba.. nggak kelihatan sih emang. tapi emang harus percaya aja...

hehehehehe

Take care selalu mba...

miss you...

-N-

-Gek- mengatakan...

Tulisan yang selalu membawa saya larut ke dalam cerita.
Tulisan yg sarat akan pengetahuan diluar cerita yang saya tau..
Mbak, Tuhan itu, sebenarnya ada dalam diri kita sendiri..
He's going nowhere.
Have a great day.
x