30 Jul 2012

NATUNA : SURGA DI UJUNG UTARA

"Kamu di mana Mbak”

“Di Natuna”

“Whaaaaattttsss… Natuna? Apaan itu”

Saya tertawa tergelak-gelak. “Natuna masih Indonesia dek….. Paling ujung sebelah utara”

“Laopo sampeyan mrono”

“Dolan”

Sepenggal  percakapan antara saya dan sepupu saya. Dia terkaget-kaget saat tahu bahwa saya ada di salah satu kabupaten paling utara dari Indonesia. “Jauh banget…”, katanya. Dan itu adalah salah satu alasan mengapa Natuna saya masukkan dalam list pertama  wilayah Kepulauan Riau yang harus saya datangi. Dan ternyata insting saya sebagai seorang yang suka jalan terbukti. Bukan sebuah hal yang sia-sia menjadikan Natuna sebagai sebuah mimpi.

karena sendiri saya memoto kaki sendiri
Perjalanan di awali dari Bandara Hang Nadim. Dan akhirnya saya mengawali dengan pesawat poker yang isinya hanya 50 orang. Huwiksss….. melewati tangga kecil masuk pesawat, serasa masuk dalam taruhan nyawa. Uji nyali. Dan isinya tidak lebih dari 50 orang.  Jam 9 tepat. Pesawat landing, dan perjalanan memakan waktu 1 jam 30 menit!!!!!! Batam – Natuna. Sama dengan perjalanan Batam kuk di sebelah jendela sehingga saya bisa melihat baling-baling pesawat kecil dan juga pulau-pulau kecil di bawahnya. Berbeda dengan pesawat boeing yang biasa saya naiki. Saya pikir pesawat ini terbang lebih rendah sehingga pulau dan laut bahkan kapal laut bisa dilihat dengan mata telanjang. Berkali-kali mulut saya berdecak kagum.  Indonesia… aku mencintaimu.

Natuna di ambil dari bahasa Belanda yaitu “Natunae” yang artinya adalah alami yang bisa di artikan secara harfiah adalah pulau yang alami. Dan saya sangat menyetujui alasan Belanda member nama Natuna. Bahkan hingga di tahun 2012, Natuna tetaplah pulau yang alami.

Saya berusaha mempelajari dan membaca sejarah Natuna, tapi sepertinya saya mengalami kesusahan untuk mencari sebuah benang merah untuk memasukkannya ke dalam otak saya yang bebal ini. Saya melihat mengapa tidak ada ketersinggungan langsung dengan sejarah dengan wilayah di Kepualaun Riau lainnya. Saya mengernyitkan dahi berkali-kali, dan saya berusaha untik terus memahami.

Dalam sebuah sejarah yang yang saya baca, Kabupatena Natuna dahulu adalah bernama Pulau Tujuh yang terdiri dari beberapa pulau antara lain wilayah Pulau Siantan,  wilayah Pulau Jemaja, wilayah Pulau Bunguran, wilayah Pulau Subi, wilayah Pulau Serasan, wilayah Pulau Laut dan wilayah Pulau Tembelan.  Masing-masing wilayah di perintah oleh Tokong Pulau. Tokong sendiri ada dua makna. Yang pertama diambil dari kata “Tekong” yang berarti Nahkoda yang berarti ia memegang peranan pening dalam pengendalian kapal atau perahu atau bisa diartikan adalah memegang peran penting dalam pemerintahan. Yang kedua adalah “Tokong” yang berarti adalah Tanah Busut, yaitu tanah yang menonjol ke permukaan laut atau tanah kukop atau batu karang yang menonjol ke permukaan laut yang snagta berbahaya untuk lalu lntas kapal yang melewati arela tersebut.  Tokong Pulau ini di berikan hak oleh Sultan Riau untuk mengendalikan pemerintah di wilayah terkecil.

Kepulauan Natuna sejak di berlakukan Stbld. 1911 No 599 terdiri dari Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna Utara, Kepulauan Natuna Selatan, Sedangkan Kepulauan Tembelan masuk wilyah Tanjung Pinang. Oleh karena wilayah Pulau Tujuh waktu itu masih termasuk Kerajaan Riau Lingga, maka di wilayah Pulau Tujuh di tempati seorang “Amir” (Camat) oleh Sultan untuk mendampingi para Datok-datok (Datok Kaya) selaku tokong Pulau (Penguasa Pulau). Dan ketujuh Datok Kaya ini langsung sebagai Pemegang Adat dan Kepala Adat setempat yang mengatur sistem pemerintahan tradisional. Seorang Amir yang di tempati atau diangkat oleh Sultan atas persetujuan Residen Riau, adalah sebagai pejabat yang membantu Kontelir dan segala laporan tentang keadaan wilayah kerjanya harus melapor ke Terempa (sekarang Kabupaten Anambas) tempat kedudukan Kontelir pertama adalah di Tanjung Pinang Belitung dan pada tahun1906 pindah di Sedanau dengan memindahkan seperangkat Rumah dan Kantor Kontelir.

Dari data yang saya dapatkan, ada beberapa gelar yang diberikan kepada Tokong Pulau di masing-masing wilayah di Pulau Tujuh.
  1. Wilayah Pulau Siantan : Pangeran Paku Negara dan Orang Kaya Dewa Perkasa
  2. Wilayah Pulau Jemaja : Orang Kaya Maha Raja Desa dan Orang Kaya Lela Pahlawan
  3. Wilayah Pulau Bunguran : Orang Kaya Dana Mahkota, dua orang penghulu dan satu orang Amar Diraja
  4. Wilayah Pulau Subi : Orang Kaya Indra Pahlawan dan Orang Kaya Indra Mahkota
  5. Wilayah Pulau Serasan : Orang Kaya Raja Setia dan Orang Setia Raja
  6. Wilayah Pulau Laut : Orang Kaya Tadbir Raja dan Penghulu Hamba Diraja
  7. Wilayah Pulau Tambelan : Petinggi dan Orang Kaya Maharaja Lela Setia
Ada beberapa gelar yang kembali lagi membuat saya mengernyitkan dahi. Untuk wilayah Pulau Siantan terdapat gelar Pangeran Paku Negara, dan ini jelas identik dengan Jawa. Dari beberapa literature yang yang saya baca, sangat jarang ada gelar “pangeran” dalam kerajaan melayu. Apalagi dengan tambahan Paku Negara yang sangat identik dengan wilayah Jawa Mataraman. Saya hanya berpikir ternyata mulai dulu Jawa benar-benar memberikan pengaruh pada seluruh wilayah di Nusantara. Akhirnya… bukankah keris Tameng Sari milik Hang Tuah adalah berasal dari Kerajaan Majapahit?

Lalu jika di bandingkan degan gelar-gelar lain di wilayah Kepulauan Riau seperti Batam, Tanjung Pinang, Lingga, Bintan dll, gelar di Pulau Tujuh atau Natuna ini berbeda, sebut saja gelar “orang kaya”. Saya belum pernah menemukannya atau mungkin saya yang masih belum pernah membacanya. Apakah gelar “orang kaya” ini diberikan kepada masyarakat tempatan yang mempunyai harta paling banyak dan  bukan keturunan dari kerajaan Melayu akan tetapi di berikan kewenangan untuk memimpin sebuah wilayah?  Entahlah…. Dan saya akan terus mencari benang merahnya. 


Suatu pagi di Pantai Kencana
Mengenai sejarah, sepertinya Indonesia harus berterimakasih kepada Belanda.  Natuna yang terletak paling utara ternyata tidak luput dari perhatian Belanda.  Salah seorang yang pernah menulis adat istiadat Pulau Tujuh adalah “Van de Tillaard” bekas Posthouder Pulau Tujuh tahun 1913.

Pada tahun 1985, Di Pulau Midai atas inisiatif Kerajaan Riau Lingga di buka lahan untuk tanaman jenis kelapa yang di fungsikan untuk kesejahteraan kerajaan. Saat itu bermuculan serkah atau semacam koperasi. Koperasi yang pertama kali didirikan adalah “Syarikat Natoena Co. Sedanau” tahun 1318 H yang di pelopori oleh Amir Raja Idris, kemudian menyusul “Syarikat Ahmadi” di Midai tahun 1324 H (1906) dan “Syarikat Terempa tahun 1332 H (1913) yang di beri nama”Syarikat Maatschappailijk Kapital“. Dan oleh Bung Hatta, Serkah “Ahmadi” di nyatakan sebagai koperasi tertua di Indonesia. Kopra yang di hasilkan oleh Pulau Midai oleh pihak kerajaan di luar ke Singapura. Saat itu wilayah Pulau Tujuh merupakan gudang kelapa kering terbesar di kerajaan Riau Lingga.

Setelah penguasa Belanda menghapuskan Kerajaan Riau Lingga berdasarkan Stbld. 1913 No.51, maka di terbitkan pula surat keputusan baru  berdasarkan “Javache Ceorant dan Cewestelijkkeur 11.C” yang menetapkan bahwa pungutan cukai oleh Datuk Kaya diteruskan dengan catatan orang luar di kenai cukai, sedangkan bagi anak negeri bebas cukai. Untuk menguatkan kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di Wilayah Pulau Tujuh, maka diterbitkanlah sebuah keputusan Stbld.1913 No.19 agar dibentuk “Onderdistricht dan District” dengan menempatkan seorang Amir dimana adanya Datok sangat jelas begitu dibubarkannya Kerajaan Riau Lingga makin leluasalah Kolonial Belanda menjalankan roda Pemerintahan, dan terakhir dengan Stbld 1917 No. 55 menetapkan belasting (cukai) hasil kopra di wilayah Pulau Tujuh dan Kekuasaan Datok Kaya semakin lemah karena tindakan sepihak oleh penguasa Belanda. Habisnya kekuasaan Datuk Kaya di Wilayah Pulau Tujuh sampai menjelang penyerahan kedaulatan.

Saya mendapatkan data, sebelum pecah Perang Dunia II tahun 1941-1945 para pejabat yang masih menjabat sebagai “Amir” di Kepulauan Anambas dan Natuna adalah sebagai berikut :

1. Pulau Jemaja : Moehammad Yoenoes.
2. Pulau Siantan  : Moehammad Dahlan.
3. Pulau Midai : Raja Moehammad ( mantan Sekretaris Gubernur pertama Propinsi Riau).
4. Pulau Serasan :  Amir Bismarack.
5. Bunguran Barat : Amir Rd. Soewardiono.
6. Bunguran Timur :  Amir Ibrahim.
7. Pulau Tembelan :  Encik Moehammad Apan (mantan Bupati pertama di Kepulaua Riau).

Para Pejabat ini tidak lagi keterkaitannya dengan penguasa Kerajaan Riau Lingga dan Kekuasaan Amir (camat) waktu itu adalah penempatan yang diangkat oleh penguasa Belanda yang memperbantukan atasannya (Kontelir) di Wilayah Kepulauan Anambas dan Natuna

Pantai ini tidak bernama, tapi bagi saya tetap surga


Sedangkan jika di kaitkan dengan Kepulauan Riau, Pulau Tujuh merupakan salah satu bagian kawedanan dari 4 kawedanan dari Kabupaten Kepulauan Riau. Hingga seiring dengan otonomi daerah, maka terbentukah Kabupaten Natuna berdasarkan UU no. 53 tahun 1999 yang terdiri dari 6 kecamatan yang kemudian berkembang dan mengalami pemekaran menjadi 16 kecamatan.

Dan sepertinya harus ada penelitian secara akademik terkait sejarah Natuna secara detail termasuk hubunannya dengan Kepulauan Riau. Kenapa saya menulisnya?

Dari beberapa refrensi saya membaca jika Bangka Belitung pun sempat mengklaim jika Pulau Tujuh adalah bagian dari wilayahnya. Saya rasa ini beralasan. Walaupun saya belum pernah datang ke Bangka Belitung, Negeri Laskar Pelangi, namun dari film “Laskar Pelangi” saya melihat ada kesamaan  pemandangan terutama untuk batu-batu yang berserak di lautan. Selain itu bahasa daerah yang di gunakan oleh masyarakat Natuna jauh berbeda dengan bahasa daerah yang digunakan oleh wilayah Kepulauan Riau.

Persoalan ini muncul karena tumpang tindih undang-undang yaitu di dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Bangka Belitung menyebutkan Pulau Tujuh termasuk dalam wilayah administrasi dan wilayah hukum Babel, sementara dalam UU Pembentukan Kabupaten Lingga, Kepri, gugusan Pulau Tujuh juga masuk ke wilayahnya. Suasana sempat memanas ketika ada kapal isap bijih timah milik Pemprov Kepri melakukan penambangan di wilayah gugusan Pulau Tujuh yang kaya sumber daya mineral dan minyak bumi tersebut. (http://id.berita.yahoo.com/babel-harus-tunjukkan-dokumen-kepemilikan-pulau-tujuh-054610437.html)

Kepri dan Babel saling mengklaim kepemilikan Pulau Tujuh, yang secara geografis lebih dekat di Pulau Bangka. Pemprov Babel memasukkan Pulau Tujuh dalam wilayah administrasi sesuai undang-undang pembentukan Provinsi Kepulauan Babel tahun 2000. Sementara, Pemkab Lingga, Provinsi Kepulauan Riau juga mengakui Pulau Tujuh sebagai wilayah mereka pada tahun 2003. Bertahun-tahun upaya damai dilakukan keduabelah pihak namun tak kunjung berhasil. Tetapi, penduduk di Pulau Pekajang di Gugusan Pulau Tujuh hidup di bawah administrasi Pemkab Lingga sampai saat ini. Di sana sudah berdiri sarana pendidikan, kesehatan dan jembatan yang dibangun Pemkab Lingga

Dari Bukit Senubing .... Luar biasa... langsung berbatas dengan Laut China Selatan


Soal klaim-mengklaim Natuna sendiri konon juga di klaim sebagai milik China karena lautannya sendiri bernama Laut China Selatan dan pernah merilis peta resmi yang memasukkan Natuna dalam wilayahnya. Termasuk juga Taiwan, Muangthai, Malaysia, mengklaim Natuna sebagai bagian dari Negaranya. Dalam catatan diplomasi, bahkan China bukan hanya mengklaim pulau-pulau itu, namun lebih dari posisi tersebut, juga kekayaan lautannya yang memiliki ratusan bahkan ribuan jenis ikan nomor 5 (lima) di dunia, dan tentunya kekayaan tambang minyak dan gas yang sangat besar potensinya. Saat ini landas kontinen Indonesia masih tumpang tindih dengan landasan landas kontinen Vietnam di Laut China Selatan. Berbagai perundingan sudah dilakukan, namun nampaknya belum tercapai kesepakatan.

Berdasarkan kondisi fisiknya, pulau-pulau yang tersebar di wilyah Natuna merpakan tanah berbuki dan bergunung batu, dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir pantai. Sedangkan secara geografis Natuna sangat strategis karena berada di antara jalur perdagangan Internasional. Natuna merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan beberapa negara

- sebelah utara : Vietnam dan Kamboja
- sebelah timur : Malaysia Timur
- sebelah barat : semenanjung Malaysia

Bandara Natuna…. Akhirnya saya turun dan mendarat Negeri Sakti Rantau Bertuah…… bagi saya ini adalah surga di bagian utara Indonesia. Langit biru dan hempasan angn serta matahari yang menyengat seakan menampar wajah saya. Membangunkan saya yang selama ini terbuai oleh ketidaksadaran saya bahwa masih banyak yang bisa dilakukan selain diam dan terpuruk dalam kenyataan yang tidak sesuai dengan  harapan…..


Dari sebuah sudut denganlatar belakang Batu Kapal
Natuna… engkau tahu? Satu mimpi ku tidak di kabulkan oleh Tuhan, tapi Tuhan mewujudkan ribuan mimpiku yang lain yaitu salah satunya jatuh cinta ke kamu. Iya kamu…. Natuna Surga di Ujung utara.


1 komentar:

setiakasih mengatakan...

Salam Ira.
Saya pengen bener ke Natuna. Walaupun jaraknya berhampiran Kuching, Sarawak, Borneo tetapi tiada pesawat yang bisa membawa kami terus ke sana.

Mohon dikongsi foto2nya ya!

Selamat.