26 Jul 2012

NATUNA DALAM FRAME

Saya menulis catatan terakhir saya di hari terakhir di Kab Natuna.  Sebelumnya saya ingin menyembunyikan diri alasan saya berkunjung ke “Laut Sakti Rantau bertuah”  ini. Sederhana saja, saya hanya jaga perasaan orang lain, tapi akhirnya saya berpikir kenapa saya harus memikirkan mereka yang tidak mikirkan perasan saya?  Bukankah ini hak saya untuk “bergerak” kemana saja? Ah sudah lah ….

Saya berkunjung ke Natuna atas undangan Pak Long untuk “membantu”  “beres-beres” di  Pradana  FM. “Membantu”? “Beres-beres”? Mengapa harus menggunakan  tanda kutip? Karena meman tidak ada kata yang tepat untuk menjelaskannya.  Selain itu kunjungan utama saya  ke Natuna adalah mewujudkan mimpi kecil yang telah saya tulis di akhir tahun kemarin. Berkeliling Kepulauan Riau, paling tidak saya menginjak tanah Natuna sebagai gerbang paling utara Negara Indonesia.  Selain misi “melarikan diri”. Hah? Melarikan diri?  Saya tersenyum saat saya menulis “misi melarikan diri”. Mungkin lebih tepatnya menenangkan diri.

10 hari saya disini. Sebuah waktu yang cukup lama dibandingkan kunjungan saya ke daerah-daerah lain yang hanya memakan waktu tidak lebih dari 4 hari. Jujur… saya nyaman disini. Saya tenang disini. Bukan hanya alamnya yang benar-benar membuat saya terkagum-kagum. Tapi sebuah “keluarga” yang menampung saya di sini. Iya….. mereka adalah orang-orang asing bagi saya. Walaupun sudah kenal itu pun hanya sekedar  beberapa jam dan melanjutkan komunikasi via FB dan BBM. Ah.. terkadang saya berpikir apakah saya pantas untuk menerima undangan kunjungan ke Natuna? Padahal saya bukan siapa-siapa. Saya hanya perempuan “galau” yang suka nenteng kamera dan juga ransel untuk mengelilingin tempat-tempat baru bagi saya.  Jika alasan ilmu? Saya akan menepuk jidat karena saya tidak berilmu.


“Kak… apa yang membuat kakak beah disini”, tanya Darius tadi malam. Saya mengangkat bahu, “entahlah  …. Mungkin alamnya? Suasananya. Aku nggk tau alasannya”

“Pasti alasannya karena disini kekeluargannya sangat kuat. Iya kan Kak?”

Saya hanya tertawa menanggapinya. Walaupun hati kecil saya mengiyakan apa yang di ucapkan oleh Darius.
Iya benar, saya menemukan sebuah keluarga disini. Walaupun dalam darah yang mengalir tidak sama. Pak Long, ibu, Farhan, Najwa, Nazia. Sebuah keluarga yang mampu melelehkan “keangkuhan” saya yang keras kepala. Pak Long sebagai kepala rumah tangga yang sangat mencintai keluarganya. Disiplin, wibawa dan sosok yang patut dan layak saya hormati. Ibu yang sabar, suka menjelaskan masakan-masakan Melayu dan saya suka senyumnya yang menenangkan hati . Abang Farhan dan Kakak Najwa yang sudah menganggap saya sebagai kakak sendiri. Nazia, bayi kecil berusia 6 tahun berambut keriting yang suka mengisap jempol kaki jika tidak menggunakan kaos kaki serta Bu De yang baru datang dari Sukabumi satu hari sebelum kedatangan saya.

Belum lagi keluarga lain di luar keluarga inti yang tergabung di Radio. Agung, Ryan, Darius, Aris, Jupri, Tina, Riska, Eko serta Istrinya Rossa. Belum lagi pacar-pacar mereka, Meyra dan lain-lainnya.  Tidak ada jarak.  Jujur saya merasa kaku saat pertama duduk di satu meja dengan Pak Long yang duduk di ujung meja dan kursi-kursi lain juga dipenuhi oleh kami salah satunya adalah saya.  Dada saya sesak. Saya tidak pernah menikmati saat-saat seperti ini. Saya lupa kapan terakhir saya makan bersama keluarga besar saya di satu meja dengan berbicara hal-hal ringan seperti bagaimana kabar sekolah anak, tentang masakan, bahkan tentang pacar sekalipun. Iya… saya yang selalu sendiri. Menikmati makan sendiri tiba-tiba saja harus bersama-sama dalam keluarga besar. Ah… seandainya saya bisa setiap hari seperti ini. Sebuah mimpi sangat sederhana, lebih sederhana di bandingkan mimpi saya untuk menginjak tanah natuna. Tapi entah kenapa saya tidak pernah bisa mewujudkan mimpi itu. Dan saya masih berharap.

Lalu bagaimana yang lain….? Saya akan menuliskannya nanti dalam catatan-catatan perjalanan  saya setiba saya di Batam. Intinya adalah ada rasa berat saat saya hari ini harus meninggalkan Natuna. Meninggalkan semuanya nya. Alam nya, orang-orang di dalamnya, masyarakatnya, meninggalkan keluarga Pak Long, meninggalkan keluarga di Radio Pradana, meninggalkan Bintang Kejora yang selalu saya lihat jelas di pagi hari dari pinggir pantai.

“Pesawatnya pending”
“Tiketnya tak ade”
“Jangan lah kakak pulang”
“Nanti tak ramai lagi jika kakak pergi”

Saya tertawa walaupun dalam hati saya ada ruang kosong secara tiba-tiba. Apakah saya akan bisa kembali lagi kesini? Apakah saya bisa kembali lagi mendapatkan ketenangan seperti di tempat ini.  Ketika saya kembali mengenal Tuhan saya disini.

Kucoba ungkap tabir ini. Kisah antara kau dan aku. Terpisahkan oleh ruang dan waktu. Menyudutkan mu meninggalkan ku.
Ku merasa telah kehilangan… cintamu yang tlah lama hilang. Kau pergi karena salah ku yang tak pernanh menganggap kamu ada

Tiba-tiba lagu mas Firman menjadi lagu backsound saat saya menulis catatan ini selepas sahur terakhir saya di Pradana.  Saya mengusap air mata di ujung pipi saya.  Saya ingin mereka mengantar saya ke Bandara tapi saya tidak akan berharap banyak. Bukankah saat saya datang saya hanya seorang diri?

Tiba-tiba ada ide gila terbersit di otak saya. Saya akan kembali di pulau ini untuk mengabdi paling tidak minimal  6 bulan. Saya akan kost di sebuah rumah panggung yang tepat berada diatas pantai.

Hei Natuna… saya janji saya akan kembali lagi ke sini!




***************

27 Juli 2012

Fuich.... saya mengalami kerinduan yang luar biasa pada Natuna. Buka puasa pertama saya di Batam akhirnya jatuh pada hari ke 6 puasa. Di mana saya membatalkan puasa? di dalam mobil di pinggir jalan. Dan makan malamnya di sebuah warung soto ayam. Pikiran saya ada di Natuna. Pasti mereka sibuk minum es kelapa atau air gula yang ada di meja. Ada ikan tonggkol bakar. Ada mie goreng, nasi goreng. Ada Abang dan Kakak yang sibuk makan ini dan makan itu. Ada Agung yang milih bubur pedas tanpa sea food. Ada Darius yang selalu memberikan segelas air putih untuk saya tanpa banyak bicara. Ada ryan yang memilih minum terus merokok. Kemudian kami sholat magrib berjamaah, ngobrol lalu berangkat ke Masjid untuk tarawih. Sepulang tarawih? kamu bebas untuk berbicara apa saja bahkan juga karoekean sampai jam 2 dini hari dari adobe audition.  Saya berpikir... apakah mereka merindukan saya?

"Kakak.... gimana buka puasa nya"
"Sahur apa kakak? disini sepi tanpa kakak"


 
Pesan BBM masuk. Saya terdiam. Saya juga sepi disini. Membaca sebuah status BBM. "Sahur Sepi Tanpa Cik Minah"

Saya menghela nafas dan saya akhirnya akan menuliskannya semuanya dalam sebuah Frame kenangan saya tentang Natuna. Sebuah surga yang tersembunyi. Sebuah surga yang membuat saya tenang, damai dan nyaman. Sebuah surga tentang kerinduan.