22 Juni …. Jakarta ulang tahun.
Ah… tidak ada hubungan nya
dengan saya. Walaupun saya bertahun-tahun tinggal disana, tapi
permasalahan nya tetap sama. Dengan harapan-harapan yang sama setiap
tahunnya, dan nyatanya? Tetap saja tidak ada perubahan. Tidak ada
instropeksi diri!!!!
Sudahlah…. Biarlah Jakarta dengan
permasalahan nya. Dan saya di Banyuwangi dengan kebahagian dan konflik
batin saya. Beberapa hari saya tidak ada rencana jelas. Perjalanan ke
Bromo saya batalkan. Termasuk perjalanan Jogja. Saya hanya berpikir,
sedikit waktu saya lebih baik saya maksimalkan bersama keluarga besar
saya disini. Ngantar mereka sekolah, menemani perpisahan, makan bersama,
silaturahmi dari satu rumah ke rumah lain, ngobrol setiap sore sepulang
dari makam dan malam hari berkumpul bersama sahabat-sahabat saya
walaupun hanya sekedar menghabiskan secangkir kopi atau capuchino
dingin. Banyuwangi memang indah untuk dinikmati sayang …… dan suatu saat
kamu harus temani saya disini.
“Tinggalah di Banyuwangi Raa. Banyuwangi butuh kamu. Kamu bisa berkarya disini. Tidak harus jauh di Batam”
“Mbak ira jangan pergi lagi…. Rani seneng mbak Ira di sini. Ada yang nemenin jalan-jalan”
“Nggk usah balek …. Mbak ira bisa bubuk di kamar Rossi. Ntar Rossi nggak ngompol kok”
“Banyak yang bisa kita lakukan di sini Raa”
“Kamu pernah berkata. Banyuwangi adalah inspirasimu kan Raa. Kamu bisa menulis apa saja disini”
“Tinggal saja di Banyuwangi Raa. Paling tidak kamu tidak merasa sendiri. Ada aku disini”
Kalimat
terakhir adalah dari Deni. Ahh… dia memang sahabat saya. Maaf Den… jika
saya tidak bisa melakukan yang dulu sering kita lakukan. Kamu adalah
soulmate saya. Selalu menyetujui apapun keputusan saya, walaupun saya
tahu matamu mengatakan bahwa kamu tidak suka dengan apa yang saya
lakukan. “Kamu perempuan nekat… gila”. Saya memang gila Den….. keadaan
yang membuat saya seperti ini.
Malam ini saya bersama
sahabat saya Ika. Sayang nya Deni tidak bisa bergabung dengan kami. Kami
berdua ngbrol ngalor ngidul. Tentang Banyuwangi. Tentang Batam. Tentang
masa depan bahkan sesekali mentertawakan kekonyolan kami di masa lalu.
Iya benar …. Masa lalu. Dan kami memang adalah dua perempuan konyol yang
masih bisa bertahan sampai detik ini dengan pilihan-pilihan hidup kami.
“Berdamai dengan kenyataan. Menerima kenyataan apa adanya. Kontrol emosi mu Raa”
Saya
tertawa, “Betul Ka…. Sangat betul. Belajar berdamai dengan kenyataan.
Kalau seandainya bisa, aku ingin tinggal di Banyuwangi Ka. Paling tidak
di sini aku dekat dengan keluarga besarku, dan aku merasa tidak sendiri.
Bisa ziarah setiap sore. Tanpa tekanan hidup yang luar biasa. Beda ka…
Walaupun di Batam aku apa-apa tinggal perintah dan di Banyuwangi aku
harus cuci baju, setrika, mengurusi rumah sendirian tapi aku tenang dan
damai disini”
“Tahan berapa lama….kamu hidup seperti ini Raa. Aku hapal kamu tipe pembosan dan suka tantangan”
“
Di Banyuwangi? Saya akan bertahan selamanya. Tapi entah di Batam” Dan
kami kemudian asyik menikmati minuman kami masing-masing. Capuchino
untuk saya dan milo panas untuk Ika.
Saya menenggelamkan
pikiran saya. 2 minggu. Sangat sebentar untuk ukuran saya. 2 minggu
perjalanan yang luar biasa untuk saya. Bertemu orang-orang dari masa
lalu saya. Berbicang dengan orang-orang baru. Pengalaman-pengalaman yang
membuat otak saya terus bekerja. Ilmu-ilmu yang tidak pernah saya temui
di bangku sekolah atau pun suasana kantor saya. Perempuan-perempuan
yang mengotak atik otak saya agar mau berpikir dan hidup normal.
Heeeii…. Apakah itu berarti hidup saya selama ini tidak normal.
Suatu hari
“Sebenarnya sopo seng awakmu aboti Raa”
Saya diam. Ini adalah sebuah sidang kecil keluarga
“Aku lihat kamu masih ngambang. Yang namanya cinta itu adalah mengabdi, mengerti dan menerima”
Dalam
hati, saya sudah mengabdi, mengerti dan menerima tapi kepada siapa ?……
pertanyaan menggantung karena tidak mungkin akan saya jelaskan. Hanya
saya dan Tuhan yang tau alasannya.
Sidang itu berjalan
lambat. Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan perempuan itu seperti sebuah
buih yang ada di tengah lautan. Banyak tapi tidak ada kekuatan untuk
menembus otak saya yang asyik berandai-andai kemana saya akan pergi
setelah keluar dari kotak sidang yang tiba-tiba membuat saya mual. Saya
berdiri.
“Kemana Raa….. Aku belum selesai bicara”
“Sek
ono acara” Saya setengah berlari menuju motor yang saya parkir di
depan. Saya pergi….. saya muak dengan nasehat. Saya tidak butuh nasehat.
Saya capek menjadi pendengar. Saya hanya butuh teman berdiskusi. Bukan
menyalahkan dan menyudutkan saya. Dan berakhir lagi di makam ibu. Saya
berbicang dengan ibu panjang lebar tentang saya dan kehidupan saya serta
tentang kamu. Ibu hanya terdiam di dalam tanah nya. Setelah puas saya
mencium nisannya, “Adik pulang dulu bu ……Jaga Aulia” Saya menabur bunga
mawar merah di atas makam ibu dan kotak kecil itu.
“Besok jam berapa Raa”
“Pesawat ku minggu jam 6 pagi”
“Jarene sek suwi nang Banyuwangi”
Mata
saya menerawang, “Banyak yang harus aku selesaikan Ka di Batam. Minggu
siang dan malem senin. Pementasan Bulan Mengambang, proyek
teman-temanku. Aku harus bantu mereka”
“Apa yang menarik dari Batam”
“Banyak.
Adat nya budaya nya istiadat nya tentang melayunya tentang sejarahnya
konfliknya Luar biasa”, dan tentang dia kataku dalam hati, “kamu harus
ke Batam Ka”
“Nantu tunggu Fahri bisa jalan biar enak dan nggak begitu repot. Sudah malam Raa… pulang aja. Fahri sudah waktunya tidur”
“Suip….
Besok aku tak mampir ke tempatmu. Fahri sudah setahun aku belum sempat
liat dia sama sekali”. Dalam hati saya iri. Deni tidak bisa datang
karena harus menunggu Netta. Ika juga harus pulang karena menemani
yangFahri juga harus segera tidur. Mereka berdua selalu alasan untuk
pulang. Lalu saya?
Di depan café saya berpisah dengan Ika.
Dia berbelok sedangkan saya ambil jalan lurus dan akhirnya memilih
berhenti lagi di sebuah warung kecil. Saya memilih jahe panas. Perut
saya mual. Makan saya tidak teratur. Banyuwangi begitu dingin dan bahkan
sangat dingin. Saya baru sadar bahwa saya sendiri. Tidak di Batam,
tidak di perjalanan, tidak di Banyuwangi sendiri yang saya klaim sebagai
tanah kelahiran, saya ternyata harus bertanggung jawab dengan diri saya
sendiri. Bertahan seorang diri. Banyuwangi semakin dingin dan besok
malam saya tidak akan lagi menikmati hawa ini kembali. Mungkin
berbulan-bulan lagi saya akan kembali ke kota ini.
Saya
menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua tangan . Jujur saya
ingin berteriak, tapi ini sudah mendekati tengah malam dan saya bisa
dianggap sebagai perempuan gila atau bahkan akan diangkut oleh satpol pp
karena berteriak-teriak tengah malam. Saya menghela nafas berat. Saya
ingat pesan ibu sehari sebelum dia meninggal
“Adik sendirian bu di rumah…. Capek sendirian terus. Takut….
“Dek
iraa…. Kenapa kamu harus takut sendirian. Lahir kamu sendirian, mati
juga akan sendirian. Jadi adik nggak perlu takut sendirian. Liat… ibu
aja bisa hidup sendirian. Masak adik nggk bisa”
Satu hari
kemudian saya mendengar kabar ibu saya meninggal. Dan saya memegang
pesan terakhir ibu saya, tidak perlu takut dengan kesendirian.
Sesesap
terakhir jahe panas saya. Saya harus pulang. Upsss… salah lebih
tepatnya adalah ke rumah kalipuro, tempat saya menumpang tidur selama di
Banyuwangi. Ah menumpang…. Hhmmmm lebih tepatnya adalah tempat saya
menitipkan tas dan baju-baju saya.
Tepat tengah malam…..
ini sudah tidak 22 juni lagi tapi 23 juni. Penting?entahlah…. yang pasti
saya ingin saya segera tidur. Mata dan kepala saya berat. Mungkin
setelah perut saya berkolaborasi dengan bebek, capuchino dan jahe panas.
Besok saya akan melanjutkan perjalanan saya kembali.
“Tidak perlu takut dengan kesendirian Raa”
Pesan
ibu saya seakan merasuk dalam otak alam bawah sadar saya. Entah
keberanian macam apa, saya berhasil mencapai rumah kalipuro melewati
perkebunan tebu berkilo-kilo meter tanpa lampu jalan. Lewat tengah
malam……… Banyuwangi saya akan kembali lagi ke sini.
1 komentar:
Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D
Posting Komentar