“Masak Iraa lagi sih mbak?”
Saya kirim balasan sms itu. “Iya sih Raa tapi gimana lagi. Kalau bukan kamu siapa lagi”
Dengan
sekuat hati saya menekan rasa kemarahan dalam dada saya. Masih belum
genap 2 minggu saya menginjak kota Batam tapi mengapa saya lagi yang
harus menyelesaikan masalah di sana?. Jujur saya capek. Saya lelah. Saya
pikir selama ini saya selalu berusaha membahagiakan orang lain.
Orang-orang yang ada di sekitar saya. Keluarga saya. Sahabat-sahabat
saya.
Saya
tahu kita hanya berdua di dunia ini. Hanya ada aku dan kamu. Orang tua
kita sudah tidak ada lagi. Tapi apa iya aku harus bertanggung jawab
semuanya. Aku ingat saat dulu kamu bilang, “Kalau nggak ikhlas nggk usah
di kerjakan”. Saat saya mengambil alih “selapan” putri kamu. Jika kamu
mengatakan hal yang sama di hadapanku sekarang aku bisa menyiram kamu
dengan air comberan. Jangan bicara masalah ikhlas dan tidak ikhlas di
hadapan saya.
Saya selalu
bertanya kenapa saya harus mengalah. Kenapa saya yang harus melindungi
kamu. Mulai SD, SMP, SMA bahkan sampai kuliah menikah dan punya anak.
Kenapa harus saya terus-terusan!!!! Melindungi kamu saat kamu kelas 3
SMP sesaat setelah kamu kecelakaan. Masuk SMA yang sama!!! Jujur saat
itu saya marah besar. Karena kamu lebih dulu masuk ke SMA yang menjadi
incaran saya sejak dulu. Saat SMA Saya tidak ingin satu sekolah dengan
kamu. Bayangkan sejak SD hingga SMP saya selalu satu sekolah dan berada
di bawah bayang-bayang kamu. SMA yang kamu masuki adalah SMA favorit.
Padahal nilai kamu tidak besar dan ada campur tangan ibu disana. Ibu
hanya menenangkan saya sambil mengatakan. “Dia butuh tempat dan pengajar
yang bagus untuk perkembangan pasca kecelakaan”. Dan akhirnya saya
harus mengalah untuk satu gedung yang sama dengan kamu bertahun-tahun.
Sudah
lah tidak perlu saya ceritakan satu persatu bagaimana saya menjadi
ujung tombak dalam kehidupan kamu. Pernikahanmu yang membuat ibu shock
dan harus mengirim saya ke tempat yang sama sekali asing buat saya.
Cemoohan dan hujatan mereka kepada saya hanya untuk menjadikan tameng
nama baik keluarga saya. Pernah kamu memikirkannya? Saya tidak ingin
kamu memikirkan saya walaupun sering saya bermimpi kamu bisa mengerti
posisi saya. Semuanya terbayarkan saat kamu menjadi wali dalam
pernikahan saya karena kita sama-sama tidak mempunyai ayah.
Arrrrgghhh...............kapan
kamu berpikir dewasa! Bisa bertanggung jawab dengan semua apa yang kamu
lakukan. Mungkin dulu aku akan meng “iya” kan saja apa keinginanmu.
Hanya satu alasan yaitu ibu kita. Ya ibu adalah alasan terbesar bagi
saya untuk masih mengerti kamu. Tapi kini....? saya tidak tahu apakah
saya masih mau negerti kamu. Saya pikir setelah 1000 hari ibu pergi saya
masih mengerti kamu. Menyelesaikan semua masalah kamu satu-satu. Saya
pikir pernikahanmu yang terakhir adalah akhir dari otak saya untuk
memikirkan kamu. Ternyata tidak.........
Kenapa harus saya lagi?
Saya tahu karena saya adalah saudara kamu satu-satunya. Dan kita sudah
tidak punya lagi orang tua. Walaupun kita masih banyak memiliki saudara
tapi saya tau mereka pasti akan memikirkan keluarganya masing-masing.
Bukan hanya memikirkan aku dan kamu. Dua saudara yang tidak pernah akur
dalam pandangan mereka.
“Tolong bantu aku sekali lagi”.
Saya mendengus keras. Kenapa kamu tidak bicara sendiri kepada saya
bukankah kita saudara? Kamu salah besar jika kamu mengira mereka tidak
memberitahukan kepada saya. Atau mungkin kamu jadikan mereka jembatan mu
untuk berbicara dengan saya. Mereka pasti akan menghubungi saya karena
mereka pikir saya adalah satu-satunya orang yang bertangggung jawab atas
keberasaan kamu.
“Ira capek mbak....selama ini kenapa harus ira
harus terus-terusan mikirin dia. Pernah dia mikirin ira. Apa ada orang
yang mau mikirin bagaimana ira bertahan sampai sekarang”
Saya
tidak peduli orang lain menganggap saya adik perempuan yang jahat.
Egois. Mau menangnya sendiri. Seperti yang di tuduhkan tetangga-tetangga
saya melihat saya meninggalkan kamu sendirian di rumah kita tanpa
pekerjaan yang jelas. Sedangkan saya di lihat sebagai perempuan yang
berhasil. Rumah tangga saya baik-baik saja. Saya terlalu sering melihat
ejekan-ejekan mereka kepada saya. Menyudutkan saya. Membandingkan
keberadaan saya sekarang dengan kamu. Apa salah saya menjadi seperti
sekarang tapi kamu tetap seperti itu? Saya bekerja mati-matian untuk
membahagiakan ibu saya. Membuat ibu saya bangga kepada saya. Hingga
harus merelakan pergi dari Banyuwangi yang sangat saya cintai.
Kamu
tidak pernah tahu kan saat 100 hari tepatnya setelah ibu meninggal saya
menangis sejadi-jadinya di makam ibu. Hanya karena hal sederhana
melihat kamu kerja di bangunan dan melihat kamu amplas kayu. Pekerjaan
kasar yang tidak pernah terbersit dalam otak saya kamu mau melakukannya.
Lalu salah satu saudara kita mengatakan, “Kamu enak banget Raa
mengeluarkan uang 50 ribu, sedangkan kakak kamu kerja keras banting
tulang untuk mendapatkan uang yang sama. Di rewangi mangan iwak asin”.
Saya sakit hati. Apa dipikirnya saya mendapatkan semua ini dengan
gampang. Segampang kamu meminta tape compo yang saya beli kepada ibu.
Lalu ibu memberikan nya kepada kamu. Untuk kesekian kalinya ibu selalu
mengatakan kepada saya untuk mengalah.
Saya mendapatkan semuanya
dengan proses yang panjang. Saat kamu asyik dengan kiriman ibu, saya
sudah berpikir bagaimana caranya saya harus mendapatkan uang dengan
bekerja. Saat kamu masih asyik tidur jam 5 pagi saya sudah keluar rumah
dan baru pulang saat tengah malam saat kamu genjrang genjreng main gitar
di pinggir jalan. Saat saya sibuk membeli buku kamu malah sibuk
membeli rokok. Bagaimana saya selalu mengirim tulisan-tulisan saya. Saat
kamu sibuk dengan gaya pacaran kamu yang berlebihan, saya lebih memilih
berkutat dengan organisasi saya. Saat kamu berpikir bagaimana membuat
surat cinta saya lebih suka menulis tentang sejarah. Ibu selalu berkata,
“Kamu nggak sama dengan kakak mu. Dia perlu perhatian lebih”. Saya
selalu ingin protes. “Perhatian lebih”??????????? otak dia harus selalu
di stimulus untuk terus berpikir. Membiarkannya hanya membuat dia
berpikir dangkal. Saya masih ingat saat ujian SMA kamu selalu pulang
“aku pusing Bu”. Dan ibu akan memeluk kamu dan mengatakan apakah
kepalamu masih pusing karena efek kecelakaan itu. Belum lagi kamu anak
lagi-lagi yang dianggap sebagai penerus garis keturunan darah sinjai.
Bukan anak perempuan seperti saya!!! Kau tau....rasanya ingin
menabrakkan tubuh saya juga ke mobil di depan rumah. Agar saya juga
mendapatkan perhatian lebih pada masa remaja saya yang sudah direnggut
oleh kamu. Hal itu lah yang membuat saya semakin mandiri hingga keras
kepala sampai sekarang.
Kamu mengulang kembali. Bukankah
kamu telah menjadi seorang Ayah? Walaupun di kelahiran anak pertamamu
lebih banyak campur tangan aku dan ibu. Tapi sekarang? Mungkin kamu
menganggap aku adalah adik perempuan kamu yang jahat. Terserah
lah.....aku hanya ingin mengajarkan kepada kamu bagaimana menjadi
seorang laki-laki yang lebih bertanggung jawab. Tidak hanya mengandalkan
perhatian dan kepedulian orang lain kepada kita. Bukankah ibu dan ayah
kita juga mengajarkan hal yang sama kepada kita berdua. Kita hanya
berdua di dunia ini. Wajar jika kamu meminta bantuan saya. Tapi cobalah
berpikir pernahkah saya meminta bantuan kepada kamu? Betapapun
terpuruknya saya? Saya bukan tipe orang yang suka merepotkan orang lain.
Saya tidak ingin kamu mempunyai sifat yang sama seperti saya. Walaupun
jelas-jelas kita lahir dari rahim yang sama kita adalah dua pribadi yang
berbeda. Dua pribadi dengan tempaan yang berbeda.
Entahlah
bagaimana reaksi kamu membaca catatan saya ini. Apakah kamu akan
semakin membenci saya? Tidak mau bertemu saya. Itu hak kamu seperti hak
saya untuk melanjutkan perjalanan saya. Kamu hanya perlu tau betapa saya
sangat mencintai kamu walaupun sejak kecil saya merasa tidak pernah
dilindungi oleh kamu. Walaupun sejak kecil saya selalu mengalah untuk
menuruti keinginan kamu. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu
dan keluarga kamu. Karena hanya kamu yang saya miliki di dunia ini.
Walaupun kita saat ini adalah dua pribadi yang asing tapi tetap dalam
darah kita mengalir darah yang sama darah ibu dan bapak kita.
Saya
hanya ingin sedikit berapatis akan masalah kamu. Dan memfokuskan diri
pada kehidupan saya. Ketika bertahun-tahun saya selalu memikirkan kamu
dan orang lain. Ketika saya harus belajar menghargai dan membahagiakan
diri saya sendiri. Saya yakin kamu akan menemukan jalan keluar terbaik
menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Sosok ayah yang pantas
di banggakan oleh anak-anak mu kelak. Sosok suami yang membuat istri
kamu merasa nyaman di sebelah kamu. Saya hanya mengajarkan.......agar
kamu menjadi seperti ayah kita. Daeng Musa Rabin Sila! Sehingga kelak
saya tidak akan lagi berkata, “kenapa harus ira lagi”.
Mas...kapan ya kita seperti doraemon dan Dorami? yang saling berbagi kue dorayaki?
3 komentar:
menarik ceritanya,love,peace and gaul.
eh ini cerita apa curhat..?? Hehehe..
horee aku atu sapa yg km tulis.. yalah siapa lg?! ya kan ra? hehe
Posting Komentar