15 Des 2011

INI TENTANG BAPAK SAYA DAENG MOESA RABIN SILA

Tiba-tiba saja saya ingin menulis tentang bapak saya setelah salah satu sahabat saya mengupload video klip Seventeen yang judulnya “Ayah”. Ya...mendengar lagu itu mengingatkan bahwa saya juga lahir dari seorang laki-laki.. Walaupun saya sudah lupa bagaimana wajah bapak saya.

Kepulangan saya di Banyuwangi beberapa hari yang lalu membuat saya ingin menulis nya kembali. Ya......saya bertengkar dengar salah seorang Om saya. Masalahnya sederhana. Seperti biasa kami berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan dan perjalanan yang saya lewati. Tapi tiba-tiba perbincangan itu melenceng membicarakan sikap saya yang egois, keras kepala dan sedikit “kelaki-lakian”
“Kamu seperti sekarang karena lingkungan kamu yang salah”. Saya mengernyitkan kening, “Lingkungan yang salah mana? Saya seperti ini karena saya besar tanpa ayah. Bisa di bayangkan kalau seandainya saya hanya diam, “nerimo ing pandum”. Tidak mungkin saya bisa bertahan sampai sekarang. Bisa makan bisa hidup tanpa minta bantuan pada orang lain”
Dan om saya terus saja melanjutkan omongan yang membuat telinga saya panas, “Karena kamu tidak punya bapak, mangkanya kamu seperti sekarang Raa. Sifat kamu sudah kayak laki-laki. Mau menangnya sendiri. Nggk mau mendengarkan orang tua ngomong”.
Saya gelap mata dan langsung berdiri serta menunjukkan tangan saya di muka om saya. “Nggak ada yang mengerti perasaan Ira. Kalau seandainya Ira boleh minta Ira ingin lahir di keluarga semupurna. Ada ayah, ibu dan ira. Jangan pernah menyalahkan ketidak adaan bapak. Dan ingat ira tidak pernah meminta bantuan sedikit pun kepada Lek”.


Dan saya tidak ingat lagi apa yang saya katakan. Saya tidak peduli saya dianggap anak tidak tahu diri. Anak yang tidak sopan. Hingga akhirnya saya memutuskan keluar dari rumah Om saya jam 10 malam hanya dengan berbekal ransel dan kamera saya. Saya tidak peduli, istri om saya menangis dan adik sepupu saya memanggil-manggil nama saya. Saya udah muak hanya disalahkan atas keegoisan saya. Kebetulan rumah om saya berada di Kalipuro, sebuah perkampungan yang cukup jauh, hingga membuat saya harus berjalan kaki melewati perkebunan tebu karena tidak ada kendaraan umum. Membuat saya bebas menangis sepanjangan jalan dan sepanjang malam. Saya benar-benar terpuruk, saya butuh teman bercerita hingga ada sebuah pesan yang masuk ke HP saya, “ Semoga semua baik-baik saja”. Hingga saya berjam-jam memilih duduk di pinggir jalan sambil terus menangis hingga lepas tengah malam. Saya benar-benar sendiri. Hingga saya memutuskan untuk pulang ke rumah saudara saya yang lain hanya untuk mengistirahatkan tubuh saya yang benar-benar lelah.

Peristiwa pertengkaran itu adalah pelajaran besar buat saya. Saya tidak menginginkan saya seperti sekarang. Egois! Keras kepala! Terlalu dominan! Tapi apa peduli bagaimana saya mengalami proses hidup saya hingga sekarang?
Ternyata saya tidak hanya sensitif jika berbicara tentang ibu. Tapi peristiwa pertengkaran itu membuat saya berpikir bahwa ternyata saya masih berpikir tentang bapak saya. Bahwa saya lahir bukan hanya karena ibu saya tapi juga karena bapak saya. Lelaki yang tidak sampai 10 tahun menemani saya. Yang harus pergi menghadap Tuhan sejak saya masih belum bisa membaca Al-qur’an dengan lancar. Ya.....ternyata saya juga lahir dari campur tangan laki-laki yaiti bapak saya. Tanpa bapak saya, ibu saya tidak akan hamil dan melahirkan saya.

Seharian ini saya berusaha mengingat-ingat bagaimana wajah ayah. Dan saya gagal mengingatnya. Benar-benar gagal. Yang saya ingat wajah bapak saya sangat kaku dengan rahang yang mengeras mengkerucut di dagunya. bapak saya juga mempunyai rambut-rambut halus di pipi dan janggut dia. Saya ingat karena saya selalu berteriak jika bapak mencium saya saat pulang dari bertugas. Saya merasa aneh dan tidak suka jika bulu-bulu halus itu menyentuh kedua pipi saya. Alis mata bapak saya tebal seperti yang dimili saya sekarang. Termasuk mata nya yang mirip mata saya. Dulu ibu selalu berkata, “Matamu persisi mata bapak kamu Raa”. Saya tertawa sambil menimpali.” Termasuk sifatnya kan bu! Keras kepala! Perpaduan ibu dan bapak. Keras kepala yang smepurna!!!”. Tidak sepertinya tentara lainnya. Bapak saya memiliki tubuh yang ramping dan cenderung pendek. Bahkan sampai bapak saya meninggal saya tidak pernah tahu kapan bapak saya memakai seragamnya. Yang saya tau adalah hanyalah seragam, sepatu boot dan senjata laras pendek yang disimpan dalam lemari ibuku. Serta codet yang ada di dekat alis sebelah kanannya yang konon katanya terkena peluru saat pembebasan Irian Barat. Saat meninggal pun, pemakaman bapak saya biasa seperti pemakaman masyarakat sipil tanpa ada upacara militer. Dan saya tidak pernah menanyakan hal tersebut pada ibu saya. Saya merasa ada yang disembunyikan. Biarlah benar-benar menjadi rahasia yang di bawa oleh kematian mereka berdua. Siapapun bapak saya. Berpangkat atau tidak. Berseragam atau tidak saya tetap bangga pada bapak saya.

Ya.....bapak saya bukan orang Jawa. Dan itu selalu di tebak oleh orang-orang yang baru mengenal saya yang mengatakan jika saya bukan orang Jawa. Bapak saya adalah orang Makassar. Suku Laut. Kakek saya adalah seorang perompak pada jamannya. Yang saya ingat bapak saya mengatakan jika kakek saya adalah “Mangkaok Daeng Marompak”. Apakah itu nama atau julukan saya tidak tahu. Ayah saya adalah anak terakhir dari selir ke tujuh dan satu-satunya anak laki-laki di antara saudara-saudaranya. Konon ayah saya adalah keturunan langsung dari seorang Raja Bugis. Dan saya kembali tidak memperdulikan itu!karena tidak penting bagi saya.

Ayah saya bergabung dengan pemberontakan Kahar Muzakar. Ya......Kahar Muzakar adalah pejuang Sulawesi Selatan yang di khianati oleh bangsanya sendiri. Kahar Muzakar lahir dari keluarga bugis. Pembelotan pertama yang ia lakukan adalah menentang sikap kerajaan Luwu yang kooperatif dengan Jepang. Hingga ia di tuduh menghina kerajaan dan di ganjar vonis adat ri poppangi tana, hukuman yang mengharuskan ia keluar dari tanah kelahiranya Kampung Lanipa Pinrang Sulawes Selatan. Kahar mendirikan toko bernama Toko Luwu sebagai markas gerakannya dan membantu pembebasan pemuda berjumalh 800 orang dari Nusa Kambangan, yang menjadi cikal bakal laskarny yang di beri nama Komandan Groep Seberang yang menjadi motor perlawananan secara militer di Sulawesi Selatan. Dan Ayah saya salah satu anggotanya. Walaupun akhirnya laskar itu di bubarkan oleh pemerintahan Sukarno. Muzakar adalah perwira tanpa pasukan yang ditelantarkan dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran. Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.

“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”

Ah kenapa akhirnya saya berbicara tentang Kahar Muzakar? Bukankah saya sedang berbicara tentang Bapak saya. Daeng Musa Rabin Sila? Hingga di akhir pemberontakan bapak saya akhirnya melarikan diri ke Bali dan di rekrut menjadi salah satu tentara oleh pemerintahan Sukarno. Dan bapak saya salah satu tentara yang berhasil pulang dengan selamat saat penugasa di Timor-timor. Ah...andai bapak saya hidup mungkin diskusi kami akan semakin panjang. Kecintaan kami pada Sukarno dan Sejarah.

Akhirnya siang hari ini saya berandai-andai. Seandainya bapak saya masih ada:
  1. Saya tidak akan menjadi perempuan yang egois dan keras kepala yang beda tipis dengan perempuan yang berprinsip dan mandiri
  2. Saya tidak akan mendapatkan zakat dan pembagian daging karena status saya adalah anak Yatim
  3. Raport saya akan diambil oleh Bapak saya dan dia akan maju ke depan kelas untuk menerima penghargaan bahwa anak perempuannya ranking satu. Karena selama ini raport saya selalu diambil malam hari oleh ibu saya yang juga membagi raport muridnya di sekolah yang berbeda. Dan saat pembagian raport dan penghargaan saya hanya menangis di ujung kelas karena saya tidak seperti teman-teman saya yang rapornya diambil oleh orang tuanya, walau saya selalu mendapatkan peringkat 1
  4. Jika bapak saya masih ada, maka saya tidak perlu naik ke genting untuk mebetulkan atap yang rusak ataupun membetulkan antena saat mbah saya ingin melihat sinetron TV
  5. Saya bisa tidur sendiri dan menangis saat patah hati. Tidak perlu menemani ibu saya tidur. Mempunyai tempat privat sendiri. Dan tidak perlu menyembunyikan tangisan saya kepada ibu saya saat saya patah hati. Ibu saya pasti bahagia saat bisa menghabiskan malam-malamnya bersama bapak saya, lelaki yang sangat di cintai oleh ibu saya. Ya....buktinya sampai ibu saya meninggal dia tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun.
  6. Saya tidak perlu menyendiri dan menghindari tempat-tempat keramaian karena saya selalu iri jika melihat sebuah keluarga yang bersama berlibur. Karena saya tidak pernah mengalami hal itu sampai detik ini.
  7. Jika bapak saya masih ada ............

Ah.....saya kehilangan ide. Saya tidak bisa berandai-andai jika bapak saya masih hidup karena memang saya tidak bisa membayangkan. Atau mungkin karena saya memang sudah terbiasa hidup tanpa laki-laki? Ah entahlah! Lewat catatan saya yang tidak seberapa ini saya hanya ingin mengatakan bahwa saya juga sangat mencintai bapak saya. Walaupun hampir sebagian besar catatan dan hidup saya di pengaruhi oleh ibu saya. Saya juga bisa menghargai lak-laki yang bisa menghargai saya. Ah...entahlah! yang terpenting saya tidak anti pati npada makhluk yang bernama laki-laki. Kalau tidak percaya tanya saja pada laki-laki yang dekat dengan saya selama ini! Walaupun saya yakin sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa saya perempuan egois! Biarlah.....bukankah saya yang bertanggung jawab dengan hidup saya sendiri?

Ya catatan ini saya persembahkan pada bapak saya Daeng Rabin Sila yang menurunkan jiwa “pemberontakan” pada darah saya. Ayah saya yang saya cintai!

Hei....Dear...kau tau! Wajahmu sama dengan wajah bapak ku. Apalagi saat kau terlelap dalam peluk ku. Entahlah.......saat aku harus berkata jujur padamu, jika aku mencintaimu karena di matamu ku temukan mata ayahku.
Ya....catatan ini untuk lelaki itu bapakku, dan kamu lelakiku. Aku masih membutuhkanmu seperti aku membutuhkan bapakku saat ini.

 
Ini adalah foto tersisa dari aku, ayahku dan kakakku! dulu setiap melihat photo ini ayahku selalu bilang, "Ira Pusing mikiri dunia" Dan sekarang terbukti ternyata ayah saya mengajarkan saya untuk terus berpikirkan tentang dunia saya

Tidak ada komentar: