Tiba-tiba
saja saya ingin menulis tentang bapak saya setelah salah satu sahabat
saya mengupload video klip Seventeen yang judulnya “Ayah”.
Ya...mendengar lagu itu mengingatkan bahwa saya juga lahir dari seorang
laki-laki.. Walaupun saya sudah lupa bagaimana wajah bapak saya.
Kepulangan
saya di Banyuwangi beberapa hari yang lalu membuat saya ingin menulis
nya kembali. Ya......saya bertengkar dengar salah seorang Om saya.
Masalahnya sederhana. Seperti biasa kami berdiskusi panjang lebar
tentang kehidupan dan perjalanan yang saya lewati. Tapi tiba-tiba
perbincangan itu melenceng membicarakan sikap saya yang egois, keras
kepala dan sedikit “kelaki-lakian”
“Kamu seperti sekarang karena
lingkungan kamu yang salah”. Saya mengernyitkan kening, “Lingkungan yang
salah mana? Saya seperti ini karena saya besar tanpa ayah. Bisa di
bayangkan kalau seandainya saya hanya diam, “nerimo ing pandum”. Tidak mungkin saya bisa bertahan sampai sekarang. Bisa makan bisa hidup tanpa minta bantuan pada orang lain”
Dan
om saya terus saja melanjutkan omongan yang membuat telinga saya panas,
“Karena kamu tidak punya bapak, mangkanya kamu seperti sekarang Raa.
Sifat kamu sudah kayak laki-laki. Mau menangnya sendiri. Nggk mau
mendengarkan orang tua ngomong”.
Saya gelap mata dan langsung
berdiri serta menunjukkan tangan saya di muka om saya. “Nggak ada yang
mengerti perasaan Ira. Kalau seandainya Ira boleh minta Ira ingin lahir
di keluarga semupurna. Ada ayah, ibu dan ira. Jangan pernah menyalahkan
ketidak adaan bapak. Dan ingat ira tidak pernah meminta bantuan sedikit
pun kepada Lek”.
Dan saya tidak ingat lagi apa yang saya
katakan. Saya tidak peduli saya dianggap anak tidak tahu diri. Anak yang
tidak sopan. Hingga akhirnya saya memutuskan keluar dari rumah Om saya
jam 10 malam hanya dengan berbekal ransel dan kamera saya. Saya tidak
peduli, istri om saya menangis dan adik sepupu saya memanggil-manggil
nama saya. Saya udah muak hanya disalahkan atas keegoisan saya.
Kebetulan rumah om saya berada di Kalipuro, sebuah perkampungan yang
cukup jauh, hingga membuat saya harus berjalan kaki melewati perkebunan
tebu karena tidak ada kendaraan umum. Membuat saya bebas menangis
sepanjangan jalan dan sepanjang malam. Saya benar-benar terpuruk, saya
butuh teman bercerita hingga ada sebuah pesan yang masuk ke HP saya, “
Semoga semua baik-baik saja”. Hingga saya berjam-jam memilih duduk di
pinggir jalan sambil terus menangis hingga lepas tengah malam. Saya
benar-benar sendiri. Hingga saya memutuskan untuk pulang ke rumah
saudara saya yang lain hanya untuk mengistirahatkan tubuh saya yang
benar-benar lelah.
Peristiwa
pertengkaran itu adalah pelajaran besar buat saya. Saya tidak
menginginkan saya seperti sekarang. Egois! Keras kepala! Terlalu
dominan! Tapi apa peduli bagaimana saya mengalami proses hidup saya
hingga sekarang?
Ternyata saya tidak hanya sensitif jika berbicara
tentang ibu. Tapi peristiwa pertengkaran itu membuat saya berpikir
bahwa ternyata saya masih berpikir tentang bapak saya. Bahwa saya lahir
bukan hanya karena ibu saya tapi juga karena bapak saya. Lelaki yang
tidak sampai 10 tahun menemani saya. Yang harus pergi menghadap Tuhan
sejak saya masih belum bisa membaca Al-qur’an dengan lancar.
Ya.....ternyata saya juga lahir dari campur tangan laki-laki yaiti bapak
saya. Tanpa bapak saya, ibu saya tidak akan hamil dan melahirkan saya.
Seharian
ini saya berusaha mengingat-ingat bagaimana wajah ayah. Dan saya gagal
mengingatnya. Benar-benar gagal. Yang saya ingat wajah bapak saya sangat
kaku dengan rahang yang mengeras mengkerucut di dagunya. bapak saya
juga mempunyai rambut-rambut halus di pipi dan janggut dia. Saya ingat
karena saya selalu berteriak jika bapak mencium saya saat pulang dari
bertugas. Saya merasa aneh dan tidak suka jika bulu-bulu halus itu
menyentuh kedua pipi saya. Alis mata bapak saya tebal seperti yang
dimili saya sekarang. Termasuk mata nya yang mirip mata saya. Dulu ibu
selalu berkata, “Matamu persisi mata bapak kamu Raa”. Saya tertawa
sambil menimpali.” Termasuk sifatnya kan bu! Keras kepala! Perpaduan ibu
dan bapak. Keras kepala yang smepurna!!!”. Tidak sepertinya tentara
lainnya. Bapak saya memiliki tubuh yang ramping dan cenderung pendek.
Bahkan sampai bapak saya meninggal saya tidak pernah tahu kapan bapak
saya memakai seragamnya. Yang saya tau adalah hanyalah seragam, sepatu
boot dan senjata laras pendek yang disimpan dalam lemari ibuku. Serta
codet yang ada di dekat alis sebelah kanannya yang konon katanya terkena
peluru saat pembebasan Irian Barat. Saat meninggal pun, pemakaman bapak
saya biasa seperti pemakaman masyarakat sipil tanpa ada upacara
militer. Dan saya tidak pernah menanyakan hal tersebut pada ibu saya.
Saya merasa ada yang disembunyikan. Biarlah benar-benar menjadi rahasia
yang di bawa oleh kematian mereka berdua. Siapapun bapak saya.
Berpangkat atau tidak. Berseragam atau tidak saya tetap bangga pada
bapak saya.
Ya.....bapak saya bukan orang Jawa. Dan itu
selalu di tebak oleh orang-orang yang baru mengenal saya yang mengatakan
jika saya bukan orang Jawa. Bapak saya adalah orang Makassar. Suku
Laut. Kakek saya adalah seorang perompak pada jamannya. Yang saya ingat
bapak saya mengatakan jika kakek saya adalah “Mangkaok Daeng Marompak”.
Apakah itu nama atau julukan saya tidak tahu. Ayah saya adalah anak
terakhir dari selir ke tujuh dan satu-satunya anak laki-laki di antara
saudara-saudaranya. Konon ayah saya adalah keturunan langsung dari
seorang Raja Bugis. Dan saya kembali tidak memperdulikan itu!karena
tidak penting bagi saya.
Ayah saya bergabung dengan
pemberontakan Kahar Muzakar. Ya......Kahar Muzakar adalah pejuang
Sulawesi Selatan yang di khianati oleh bangsanya sendiri. Kahar Muzakar
lahir dari keluarga bugis. Pembelotan pertama yang ia lakukan adalah
menentang sikap kerajaan Luwu yang kooperatif dengan Jepang. Hingga ia
di tuduh menghina kerajaan dan di ganjar vonis adat ri poppangi tana,
hukuman yang mengharuskan ia keluar dari tanah kelahiranya Kampung
Lanipa Pinrang Sulawes Selatan. Kahar mendirikan toko bernama Toko Luwu
sebagai markas gerakannya dan membantu pembebasan pemuda berjumalh 800
orang dari Nusa Kambangan, yang menjadi cikal bakal laskarny yang di
beri nama Komandan Groep Seberang yang menjadi motor perlawananan secara
militer di Sulawesi Selatan. Dan Ayah saya salah satu anggotanya.
Walaupun akhirnya laskar itu di bubarkan oleh pemerintahan Sukarno.
Muzakar adalah perwira tanpa pasukan yang ditelantarkan dengan pangkat
terakhir Letnan Kolonel. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar
pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah
negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.
Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut.
“Bung
Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita
dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno
sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil
ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia
III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian
jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam
kitab sutji Al Qur’an….”
Ah kenapa akhirnya
saya berbicara tentang Kahar Muzakar? Bukankah saya sedang berbicara
tentang Bapak saya. Daeng Musa Rabin Sila? Hingga di akhir pemberontakan
bapak saya akhirnya melarikan diri ke Bali dan di rekrut menjadi salah
satu tentara oleh pemerintahan Sukarno. Dan bapak saya salah satu
tentara yang berhasil pulang dengan selamat saat penugasa di
Timor-timor. Ah...andai bapak saya hidup mungkin diskusi kami akan
semakin panjang. Kecintaan kami pada Sukarno dan Sejarah.
Akhirnya siang hari ini saya berandai-andai. Seandainya bapak saya masih ada:
- Saya tidak akan menjadi perempuan yang egois dan keras kepala yang beda tipis dengan perempuan yang berprinsip dan mandiri
- Saya tidak akan mendapatkan zakat dan pembagian daging karena status saya adalah anak Yatim
- Raport saya akan diambil oleh Bapak saya dan dia akan maju ke depan kelas untuk menerima penghargaan bahwa anak perempuannya ranking satu. Karena selama ini raport saya selalu diambil malam hari oleh ibu saya yang juga membagi raport muridnya di sekolah yang berbeda. Dan saat pembagian raport dan penghargaan saya hanya menangis di ujung kelas karena saya tidak seperti teman-teman saya yang rapornya diambil oleh orang tuanya, walau saya selalu mendapatkan peringkat 1
- Jika bapak saya masih ada, maka saya tidak perlu naik ke genting untuk mebetulkan atap yang rusak ataupun membetulkan antena saat mbah saya ingin melihat sinetron TV
- Saya bisa tidur sendiri dan menangis saat patah hati. Tidak perlu menemani ibu saya tidur. Mempunyai tempat privat sendiri. Dan tidak perlu menyembunyikan tangisan saya kepada ibu saya saat saya patah hati. Ibu saya pasti bahagia saat bisa menghabiskan malam-malamnya bersama bapak saya, lelaki yang sangat di cintai oleh ibu saya. Ya....buktinya sampai ibu saya meninggal dia tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun.
- Saya tidak perlu menyendiri dan menghindari tempat-tempat keramaian karena saya selalu iri jika melihat sebuah keluarga yang bersama berlibur. Karena saya tidak pernah mengalami hal itu sampai detik ini.
- Jika bapak saya masih ada ............
Ah.....saya
kehilangan ide. Saya tidak bisa berandai-andai jika bapak saya masih
hidup karena memang saya tidak bisa membayangkan. Atau mungkin karena
saya memang sudah terbiasa hidup tanpa laki-laki? Ah entahlah! Lewat
catatan saya yang tidak seberapa ini saya hanya ingin mengatakan bahwa
saya juga sangat mencintai bapak saya. Walaupun hampir sebagian besar
catatan dan hidup saya di pengaruhi oleh ibu saya. Saya juga bisa
menghargai lak-laki yang bisa menghargai saya. Ah...entahlah! yang
terpenting saya tidak anti pati npada makhluk yang bernama laki-laki.
Kalau tidak percaya tanya saja pada laki-laki yang dekat dengan saya
selama ini! Walaupun saya yakin sebagian besar dari mereka mengatakan
bahwa saya perempuan egois! Biarlah.....bukankah saya yang bertanggung
jawab dengan hidup saya sendiri?
Ya catatan ini saya
persembahkan pada bapak saya Daeng Rabin Sila yang menurunkan jiwa
“pemberontakan” pada darah saya. Ayah saya yang saya cintai!
Hei....Dear...kau
tau! Wajahmu sama dengan wajah bapak ku. Apalagi saat kau terlelap
dalam peluk ku. Entahlah.......saat aku harus berkata jujur padamu, jika
aku mencintaimu karena di matamu ku temukan mata ayahku.
Ya....catatan ini untuk lelaki itu bapakku, dan kamu lelakiku. Aku masih membutuhkanmu seperti aku membutuhkan bapakku saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar