29 Des 2010

KARENA BOLA ITU BUNDAR

“Kau lebih cinta bola dari pada aku”

“Bola itu menyenangkan sayang……”

“Menyenangkan dari mana? 22 orang aneh yang mengejar satu bola”, umpatku saat itu, ketika kau lebih memilih duduk manis di depan tv dari pada mendengar curhatku.

“Bola itu bundar sayang…..dan kebundaran itu membuat ku menikmatinya”

“Ah….penonton hanya bisa berkomentar. Menyalahkan! Berteriak teriak nggak jelas”

“Suatu saat kau akan tau betapa besarnya rahasianya dalam suatu pertandingan. Bukan sebuah kemenagan atau kekalahanan. Tapi sebuah perjuangan!”

Dan aku baru menyadari kata-kata yang kau bisikkan padaku saat itu, saat aku selalu memprotes kecintaanmu pada dunia bola.

26 Desember 2010

“Indonesia pasti menang, walau pertandingan di Bukit Jalil Malaysia. Liat saja nanti! 40 orang berdoa sama saja dengan satu wali”

“Tumben kau suka bola Raa”

“Ini bukan masalah suka atau suka. Tapi ini masalah rasa nasionalisme”

Ya…pertanyaan itu terur berlari-lari. Kenapa harus dengan Malaysia? Bukankah masih banyak negara-negara lain yang berpeluang besara untuk bertemu dengan Indonesia. Shit! Jika berbicara tentang Malaysia adalah sebuah kebencian! Sebuah sejarah yang terus mengukur dan membuat kita selalu menjadi yang terdzolimi. Sebuah sejarah panjang antara Indonesia dan Malaysia

“Ada laser di wajah Markus!!!!”

“Malaysia curang! Aku patah hati! Kenapa Indonesia harus kalah 3-0 dengan Malaysia”

“Tenang sayang….ini hanyalah sebuah permainanan”

“Hei…kau yang pernah mengatakan padaku. Ini bukan masalah menang atau kalah tapi  sebuah perjuangan”

Mematikan TV dan berlari menuju kamar. Dan aku menitikkan air mata kekecewaan untuk Indonesia.Dan kau menenangkan aku.
 
Pertanyaanku masih sama. Kenapa harus Malaysia?

Aku baru menyadari! Aku telah jatuh cinta pada TimNas Indonesia. Cinta yang jauh lebih besar dari cintaku padamu. Maaf! Jika aku harus mengakui ini.
“Cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila engkau mencintai sesuatu maka engkau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah”
Dan aku semakin cinta! Walaupun TimNas yang aku cintai dibuat permainan politik oleh para pembesar yang membuat aku makin muak.
Ada sebuah rasa yang berbeda saat Gozales yang notabene berwajah sangat Bule selalu mencium lambang garuda yang ada di dadanya setiap kali berhasil memasukkan gol. Ada rasa malu! Lepas dari nilai uang yang diterima, bukankah itu salah satu bentuk rasa nasionalisme yang tak perlu digembor-gemborkan pada media? Seperti para pejabat dan para artis yang ikut-ikutan berkomentar di layar kaca? Muaaaaaaaaaaaaaakkkk!
Cintaku TimNas adalah pahlawan tanpa ada politik. Yang terpenting bagi mereka adalah bermain terbaik untuk Negara. Bukan para penjahat politik yang membalut kebobrokan mereka dengan jas dan dasi serta lumuran parfum! Dan aku ikut bersedih dengan kekalahan Indonesiaku di Bukit Jalil!
“Indonesia harus main minimal 4-0 sayang”
“Huh…Indonesia pasti menang! Aku yakin!” Dan jujur aku berdoa malam itu dengan khidmat! Berdoa pada Tuhanku! Agar ia merestui TimNas ku Indonesia!
 
29 Desember 2010
Bagaimana kabarmu? Apakah kau baik-baik saja? Aku ingin menceritakan banyak hal padamu. Tentang perasaan cintaku pada TimNasku. Tapi keegoan kita maisng-masing membuat kita slaing berdiam diri
“Bu! Nggk liat bola?”
Aku menggeleng dan berusaha menikmati musik dan layar computer di depanku. Suara teriakan-teriakan semangat semakin menghujam jantungku. Karena hanya mengingatkanku padamu. Pada diskusi-diskusi panjang tentang bola.
Malam ini aku takut kecewa. Seperti aku telah berharap besar pada pertandingan di leg pertama. Aku takut kecewa. Karena aku harus mengakui pada di leg kedua ini kau tak bisa berdiskusi panjang lebar denganmu tentang olahraga yang sangat kau cintai itu.
45 menit pertama. Teriakan-teriakan kecewa terus memenuhi telingaku. Indonesia kalah!! Dan tanpa menyadarinya aku menitikkan air mataku. Berdiri dan melangkahkan kaki keluar!! Tak perduli dengan televisi. Tak perduli dengan Sepakbola.
Melangkahkan kaki menelusuri jalanan Batam yang menyepi. Sms masuk
“Kakak…gool satu satu untuk Indonesia”
Aku sedikit bisa tersenyum. Seharusnya kita berdiskusi saat ini. Tentang bagaimana gool yang terjadi. Bagimana peluang-peluang TimNas-ku. Dan aku hanya bisa terdiam. Sendiri. Menikmati perasaan yang mengaduk-ngaduk saat ini. Kecewa. Sedih. Bahkan sakit hati! Sms kedua!
“2-1 Indonesia juara tanpa piala kak!”
Ahh…..kau pasti sedang asyik berteriak teriak. Apakah kau ingat padaku? Tentang diskusi panjang kita? Tentang rasa nasioanlismeku yang tak perlu lagi kau tanyakan!
Sayang….aku merindukanmu!
Menatap langit dan memberikan sebuah senyuman. Seperti katamu dulu. Indonesia Juara Walau tanpa Piala
“Raa…..tidak ada yang pasti dalam permainan bola. Karena bola itu bundar! Tidak ada sudut tidak ada titik. Karena pertandingan sebenarnya adalah sebuah perjuangan”
Aku jatuh cinta pada rasa nasionalisme Indonesia! seperti rasa cintaku yang sangat padamu
 
“Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.
Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan.” http://itonesia.com/surat-untuk-firman/
 
Catatan kecilku ini kupersembahkan pada Garudaku!
Pada Indonesiaku
Pada lelakiku...yang mengajarkan bahwa hidup itu adalah sebuah perjuangan dan kesederhanaan!
 

4 komentar:

non inge mengatakan...

ya, ketika mereka telah berjuang dengan sangat dan juga secara tak langsung dapat mempersatukan dan membawa kegembiraan bagi seluruh rakyat itu sudah lebih dari sekedar piala bagi Indonesia ^^

De mengatakan...

yup, perjuangan dan semangatnyalah yang penting. bukan pialanya.

^_^

ceritatugu mengatakan...

inyong selalu mengikuti Timnas Garuda dari rumah,kali ini belum bisa bawa piala tahun yang akan datang pasti berada di Indonesia

Mulyani Adini mengatakan...

Salam

Benar bu...perjuangan mereka yang sudah membuat mereka menang