20 Feb 2014

HARI TANPA MAK ILIK #10 FEBRUARI 2014


Ini hari pertama saya tanpa Mak Ilik. Dan saya sangat sedih sekali,

Hei Raa. Siapa Mak Ilik.

Baiklah saya akan sedikit bercerita tentang Mak Ilik. Dia adalah pemilik warung kecil di halaman belakang DPRD Banyuwangi. Saya kenal Mak Ilik sudah cukup lama bahkan sebelum saya menikah. Dulu saat press room DPRD belum di bangun saya sering nongkrong di warungnya, atau sekedar ngetik di teras halaman rumah dinas suaminya. Warungnya persis nempel di tembok belakang antara dinding rumah dan pagar DPRD Banyuwangi.

Setelah saya keluar dari Banyuwangi, warung Mak Ilik adalah tempat nostalgia yang wajib saya datangi. Ketemu ama kawan-kawan lama atau sekedar ngopi atau mendengarkan mak Ilik nyanyi gending-gending Gandrung di dapurnya.

"Siro iki nyangendi byen byeng. Ilang terus teko. Ucul koyo singgat," katanya ketika saya kembali dan bercerita bahwa saya menetap kembali di Banyuwangi.

Mak Ilik adalah tempat pelarian saya ketika uang saya menipis buat makan. Saya bisa makan di Mak Ilik pake hutang yang saya bayar seminggu sekali. Bahkan saya tidak pernah menghitung berapa habisnya. Saya titip uang dan ketika saya tanya apakah uangnya kurang dia selalu menjawab,"cukup Raa." Saya juga sering membawakan baju ibu saya yang kekecilan agar bisa dipakai Mak Ilik buat nyanyi Gandrung.

Sekarang warung Mak Ilik hanya jadi cerita. Mak Ilik sudah pindah sejak jumat lalu. Waktu Mak Ilik pergi saya ikut nangis. Terus saya kalau makan sarapan, makan siang, atau sekedar pesen kopi ke siapa lagi dong?. Ini bukan hanya berlaku untuk saya tapi semua teman-teman jurnalis yang kebanyakan "kerja" dan ngirim berita lewat press room DPRD Banyuwangi.

Hari ini hari pertama saya bekerja tanpa warung Mak Ililk. Saya lupa bawa botol air minum dan akhirnya saya kehausan akut. Belum lagi saya dan kawan-kawan kelaparan dan harus keluar untuk beli makan. Padahal beritanya sudah ditunggu "pemirsa". Biasanya tinggal teriak sama Mbak Yuyun dan pesan makanan serta minuman langsung diantarkan ke press room yang jaraknya hanya sekian langkah.

Akhirnya hari ini saya belajar untuk menghargai sebuah kenangan dan pentingnya seseorang walaupun terkadang kita tidak menyadari keberadaannya. Mak Ilik ternyata mempunyai peran penting dalam catatan perjalanan dunia saya dunia Iraa.

Saya masih kangen dengan obrolan di dapur. Nyanyian-nyanyian dia dengan cengkok gandrung khas Banyuwangi. Kangen sama rujak buatannya. Sama lemuru, 'iwak nus', gimbal, jangananan bali, dan sambelnya.

"Mak mangan. Masak paran"
"Iku ono sambel ambi iwak. Goleto dewek weh. Piringe nyang mburi"

Saya berjingkat dan melewatinya. "Siro koyo kucing yo Raa. Delengen ta, sego diulet ambi sambel ambi lemuru thok. Panganen kono iwake endog ta daging"

Saya tertawa ngakak dan mengatakan hanya ingin makan pake sambel saja sama lemuru. Dan baru sadar jika ternyata itu terakhir saya makan di Mak Ilik

Saya kangen Mak Ilik.

"Kenangan itu semacam jaring laba-laba dalam otak. Menangkap serta menyimpan. Dan baru sadar jika sudah dipojokkan berdebu menjadi usang."

Tapi yang pasti saya sangat kehilangan dia, Mak Ilik.

*Curhatan saya yang bekerja tidak punya bangunan kantor di daerah. Yang tidak pernah makan dirumah. Yang jarang pulang kecuali untuk tidur dan ganti baju.

Tidak ada komentar: