14 Sep 2011

TANJUNG UMA : DILEMA ANTARA CAGAR BUDAYA DAN PEMBANGUNAN KOTA

Tanjung Uma. Saya mengenalnya mungkin sekitar 5 tahun yang lalu, atau lebih. Saya menemukannya secara tidak sengaja saat searching di google saat masih kuliah di Jawa Timursaat mencari referensi tentang budaya melayu. Ya…mengenalnya hanya sebatas nama. Tanjung Uma. Serasa aneh dalam pengucapannya saya. Saya mengetahuinya sebatas dia adalah salah satu kampung tua di Batam. Saat itu saya berharap bahwa saya bisa datang sekedar ingin tau seperti apa itu Tanjung Uma. Tapi saat itu saya berpikir, Batam? Di bagian perbatasan negara Indonesia. Sesuatu yang tidak mungkin. Tapi Tuhan mendengar doa saya saat di warnet kecil depan kostan saya di Jalan Sumatra Kabupaten Jember. Doa seorang mahasiswa yang mempunya mimpi untuk berkelling Indonesia.
 (bayangan saya tentang Tanjung Uma gambar diambil di sini)


Setahun yang lalu, “Kita pindah ke Batam”. Hah…..tidak mungkin!. Terbersit langsung nama kampung tua itu. Tanjung Uma!! Walaupun berat hati akhirnya saya bisa bertahan hingga detik ini. Jejak pertama kali saya di Batam adalah Kampung Vietnam di pulau Galang. Tentu dengan batuan referensi dari internet. Sedangkan Tanjung Uma. Blank!!!! Saya hanya sampai di sebuah bukit yang kelak saya tahu itu bernama Bukit Semocong.  Dataran tinggi, membuat bisa melihat Batam dengan seribu lampu di malam hari. Tapi tetap saja otak saya mengatakan. Ini bukan Tanjung Uma. Bukan sebuah tempat yang saya gambarkan dalam pikiran saya 5 tahun yang lalu. Tanjung Uma yang saya tahu adalah Kampung tua nelayan yang kental dengan budaya melayu. Bukan café-café yang bederet sepanjang jalan di dataran tinggi menjual bandrek yang mengingatkan saya pada bukit Rembangan di kota Jember. 

Sekian bulan akhirnya saya mengenal Tanjung Uma. Awalnya adalah Bukit Semocong. Di bandingkan tempat-tempat yang pernah saya singgahi, keadaan bukit Semocong dalam ukuran standart. Hanyalah bukit dipenuhi dengan banyak sampah dan nyamuk. Tapi entah kenapa saya nyaman disana. Mengingatkan saya pada sebuah bukit di masa lalu. Bedanya disini penuh dengan ilalang-ilalang liar. Apalagi saat senja. Saya bisa melihat matahari terbenam. Dan saya jatuh cinta pada bukit itu sejak senja itu saat berpadu dengan dengan hujan dan ilalang serta senyuman.  Seorang mengatakan padaku. “Diujung matahari terbenam disanalah Tanjung Uma”. Saya bisa menghabiskan berjam-jam di bukit ini. Mulai matahari masih utuh hingga ia hilang digantikan bulan. Jika kamu kehilangan saya, cobalah cari saya di bukit Semocong saat senja. Karena saya ada disana. Apalagi jika saya sedang merindukan kamu, dan saat dalam keadaan terpuruk. Bukit semocong adalah jawaban terbaik saya. Saya tidak peduli saat orang melihat aneh kepada saya, seorang wanita berjilbab yang tetap duduk manis di atas bukit di antara ilalang saat adzan Magrib berkumandang. Bukan hanya sendiri. Saya juga sering menghabiskan waktu saya bersama sahabat-sahabat kepompong saya disana.


Sejak saat itu. Saya semakin sering mengunjungi Tanjung Uma, mulai sekedar makan masakan melayu yang ada di Kampung Agas Tanjung Uma, ataupun sekedar menyusuri jalan di tengah pasar saat Bulan Ramdhan. Tapi semua itu masih belum membuat pertanyaan saya tentang Tanjung Uma sebagai Kampung tua terjawab. Hingga pada suatu hari…..

“Mbak suruh ke Tanjung Uma….undangan Aqiqah”
Ini bukan pertma kali saya datang ke Tanjung Uma.
Saya berangkat sore itu. Dan bersama sahabat saya firman, kami melarikan diri ditengah-tengah acara. “Mbak..ada tempat photo bagus”.

Melewati jalan-jalan sempit dan akhirnya saya sampai ke sebuah pelatarn. Yang….pelataran yang sudah terbuat dari beton. Ya….ini yang selama ini ada dalam pikiran dan mimpi saya. Selama 1 tahun di Batam, baru saya menemukan Tanjung Uma yang sebenarnya.
Jujur saya terhipnotis. Saya seakan kembali ke 5 tahun lalu saat saya masih duduk di warnet dan menemukan kata “Tanjung Uma”. Dan mimpi saya terwujud. Tuhan….Kau sangat mengerti inginku.
5 tahun lalu saya membayangkan Tanjug Uma itu adalah sebuah kampung nelayan dengan rumah-rumah kayu di atas laut (yang kemudian ini saya tau disebut pelataran), dengan perahu-perahu khasnya, alat-alat penangkap ikan.  Dan hal itu masih saya temukan saat ini, walaupun pelataran itu sudah berubah menjadi beton, dan lautnya sudah hitam legam karena tercemar. Dan di seberang sudah ada bangunan hotel yang berbentuk kapal pesiar. Kalau boleh saya berkata, saya tidak suka dengan keberadaan hotel berbintang itu. Saat saya melihatnya, kapal itu seakan siap untuk menabrak kampung nelayan Tanjung Uma. Menghilangkannya dari peradaban kota Batam. Tidak bisa!

Pelantar itu sendiri berada di RT 05 RW 05 Tanjung Uma sudah diajukan sejak tahun 2006, dan baru dibangun pada tahun 2010 dengan anggaran 3 miliar rupiah dengan panjang 300 meter. Pelantar beton itu menggantikan pelantar kayu.. Sebagai salah satu pelabuhan, pelantar ini dianggap penting sebagai akses pelayaran yang sering disinggahi. Dan harapan sederhana agar pelantaran tersebut bisa meningkatkan perekonomian masyarakat tanjung uma.
Sahabat saya mengatakan, “Dulu pelataran ini terbuat dari kayu mbak….saya harus nyebrang naik pompong bahkan saat jam 12 malam”.

Tanjung Uma, sebuah kampung nelayan tertua di Kota Batam. Disini saya menemukan pemandangan-pemandangan khas kampung nelayan. Sebagai kampung tua, oleh pemerintah kota Batam, Tanjung Uma telah dijadikan sebagai cagar budaya. Istilah kampung tua muncul sebelum adanya pengembangan Otorita Batam. (jangan pernah tanya saya perbedaan antara Pemko Batam dan Otorita Batam. Karena keduanya sama-sama mengklaim sebagai “penguasa” Batam). Kampung tua adalah sebutan untuk kampung nelayan di kota Batam. Pembangunan “gila-gilaan” yang di lakukan oleh “penguasa”, membuat Pemko Batam menginventaris keberadaan kampung nelayan, sehingga muncul istilah kampung tua. Hal tersebut agar kampung tua tidak menjadi “korban” penggusuran rencana pengembangan otorita Batam.

Dari data yang saya dapatkan, pada tahun 2007 penduduk di Tanjung Uma mencapai 12 ribu, dan saya yakin sekarang akan bertambah banyak. Dari berbagi etnis yang tinggal di Tanjung Uma, etnis bugis yang mendominasi. Etnis Bugis…..apakah ini yang mendasari mimpi saya tentang Tanjung Uma? Bukan kah darah yang mengalir dalam tubuh saya adalah murni darah bugis? Apakah ayahku dulu pernah singgah disini? Atau mungkin saudara-sauudara saya dari Ayah yang berasal dari bugis yang hingga kini tidak pernah saya temui? Hingga usia saya mendekati angka 3. Saya suka bermain-main dengan indera ke enam saya!

Berbicara Tanjung Uma adalah berbicara tentang melayu. Hingga saat ini mereka masih mewarisi budaya asli Batam dalam keseharian mereka. Logat-logat melayu dalam perbincangan sehari-hari mereka berusaha saya serap walaupun saya harus  mati-matian memahaminya hingga kening saya berkerut. Bahkan seorang warga keturunan dengan santainya berbahasa melayu serta berpantun saat saya membeli minuman ringan. Ckckckckckckckc…….bahasa melayu dan pantun saya temukan disetiap sudut Tanjung Uma. Hal ini sangat kontras dengan keadaan Batam yang heterogoen dan dianggap sebagai “modern”. Jadi ingat sebuah lagu melayu, “ Takkan hilang Melayu di Bumi”. Logat Melayu warga Tanjung Uma juga masih sangat kental dan dipergunakan sehari-hari tanpa terbatas asal daerah semua warganya.  Kelurahan Tanjung Uma terbagi atas 40 Rukun Tetangga (RT) yang tergabung dalam sembilan Rukun Warga (RW). Adapun nama-nama kampungnya antara lain Kampung Agas, Tanjung Tritip, Tanjung Uma, Kampung Nelayan dan Taman Kota Mas.
#memilih aku akan tingggal dimana ya#

Saya terdiam cukup lama di pelataran Tanjung Uma.
Otak saya berpikir. 3 Miliar untuk pembangunan pelataran Tanjung Uma, dengan dasar awal meningkatkan perekonomian penduduk. Memasukkan Tanjung Uma dalam inventaris kampung tua dan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Batam.  Lalu apa yang di dapatkan oleh warga Tanjung Uma? Mereka semakin terdesak oleh pembangunan. Rumah-rumah kayu mereka akan menjadi sejarah. Laut mereka yang konon dulu bening sekarang menjadi hitam legam terkontaminasi sampah abad modern. 

Saya ingat saat kamu menceritakan kepada saya. “dulu kami sering menangkap ikan, atau mengantar para turis untuk menikmati keindahan pelabuhan tradisional Tanjung Uma”. Saya masih ingat. Dan saat saya memaksa sejak tahun berapa kamu tinggal di Tanjung Uma. Kamu hanya diam dengan alasan saya bukan orang yang pantas menjelaskannya. Ah…saya tau pasti kamu juga merasa perbedaan antara Tanjung Uma dulu dan sekarang. Atau kau juga merasa kehilangan Tanjung Uma mu?

Pertanyaan saya apakah perekonomian Tanjung Uma benar-benar meningkat?. Saya diam. Saya miris saat saya menyadari perahu pompong tertambat tanpa penumpang bukan di atas air laut yang bening. Tapi hitam legam. Sampah-sampah menyerobot masuk ke bawah rumah panggung. Perempuan-perempuan nelayan yang duduk bergerombol di tepi pelataran. Dan saya yakin, jumlah ikan yang ditangkap oleh suami mereka akan berkurang melihat “rusak” nya alam di pelabuhan tradisional ini.

Tanjung Uma menjadi sebuah bukti keegoisan para penguasa. Mereka mengagung-agungkan Tanjung Uma sebagai kampung nelayan. Sebagai kampung tua yang menjadi cagar budaya melayu yang ada di Batam. Dengan sebuah gapura besar berwarna kuning hijau yang memudar. Tapi apa pernah mereka melihat ke dalam. Apa yang di butuhkan oleh warga Tanjung Uma? Apa mereka dianggap ada? Saya hanyalah perempuan biasa yang tidak mempunyai kapasitas apa-apa di Tanjung Uma. Tapi saya melihat Tanjung Uma mempunya sebuah potensi yang cukup besar. Bukan hanya sebagai cagar budaya melayu, tapi potensi wisata sejarah. Tanjung Uma memiliki sumber daya manusia yang cukup banyak, yang bisa diberdayakan. Mempunyai komunitas-komunitas seni dan budaya yang jika diberdayakan menjadi asset yang luar biasa. Tanjung Uma mempunyai sejarah yang sangat spektakuler dalam sejarah Batam.

Tanjung Uma hanya menjadi korban lips service bagi dunia politik. Karena mempunyai jumlah warga yang nilainya cukup fantastis, dan menguasai Tanjung Uma berarti bisa mendulang suara cukup banyak. Menjadikan Tanjung Uma sebagai kantong-kantong politik mereka. Janji utuk  membangun Tanjung Uma? Membangun yang mana? Menutup semua menjadi satu pelataran luas hingga keseberang ? hingga tidak perlu lagi perahu pompong? Hingga tidak lagi rumah-rumah kayu? Tidak lagi ada jaring-jaring nelayan? Tidak ada lagi logat melayu dan berubah menjadi istilah loe gue? Tidak ada lagi kias pantun dan berubah menjadi musik dangdut dengan pakaian erotis! Muda mudi tidak lagi mengenal musik kompang tapi lebih mengenal club malam yang berada di seberang rumah mereka. Pembangunan keblinger……..

Seharusnya tidak merubah Tanjung Uma. Biarlah Tanjung Uma tetap menjadi sebuah kampung nelayan tua dengan khasanahnya. Pemerintah hanya perlu membina. Mendampingi. Memberdayakanya. Menjaganya. Tetap menjadi sebuah kampung sebagai cagar budaya.
Saya akhirnya membayangkan kalau seandainya Tanjung Uma seperti halnya kampung di Suku Baduy atau mungkin suku Samin?. Tetap bertahan dengan adat budayanya. Menjunjung ke arifan budaya lokal. Ah mana mungkin para pejabat di Batam berpikir sejauh itu untuk Tanjung Uma. Sedangkan mengurusi sampah saja mereka saling menyalahkan!

Ya….Tanjung Uma adalah sebuah dilema antara cagar budaya dan pembangunan kota.


Ketika saya akan menyelesesaikan. Saya baru sadar saya masih belum tau mengapa disebut Tanjung Uma. Sedangkan tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan kepada saya apa arti Tanjung Uma. Saya berusaha mencarinya di internet. Nihil……

Tanjung sendiri berarti daratan yang menjorok ke laut, atau daratan yang dikelilingi oleh laut di ketiga sisinya. Sedangkan Uma sendiri dalam Ibrani berarti adalah perempuan atau Ibu. Sedangkan dalam bahasa Mentawai artinya adalah Rumah. Perempuan, ibu dan Rumah. Tiga kata yang dapat disimpulkan sebagai sebuah ketenangan. Sekarang siapa yang tidak tenang saat kita berada di dekat ibu kita? Di rumah kita.
Bukan sebuah kesalahan kan jika saya mengartikan bahwa Tanjung Uma adalah sebuah daratan yang memberikan kita ketenangan? Ibu dari kota Batam. Rumah dari Kota Batam. Pusat dari kebudayaan melayu Batam yang semakin terlupakan.

Saya akhiri catatan saya tentang Tanjung Uma dengan sebuah pertanyaan besar bagi saya, “Apa yang bisa kamu lakukan untuk Tanjung Uma Raa? Kampung tua yan sudah kamu mimpikan sejak jaman kamu kuliah dulu”
Saya sempat sharing ke teman saya di Jawa. “Kamu pasti bisa Raa! Anggap Tanjung Uma adalah Banyuwangi kedua kamu. Konsep kamu di Banyuwangi bisa kamu terapkan di Tanjung Uma”
Saya menggelengkan kepala. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang perempuan yang mempunyai mimpi dan singgah di Tanjung Uma. Ah…andaikan ada seseorang yang mengatakan, “ kita akan buat Tanjung Uma bukan hanya menjadi sebuah sejarah untuk anak-anak kita, tapi tempat tinggal anak-anak kita nanti”
Saya hanya bisa menulis dan menulis. Saya hanya ingin mengatakan kepada Indonesia bahkan pada dunia. Bahwa ada sebuah kampung tua yang perlu diselamatkan. Yaitu Tanjung Uma.

Dan inilah jawaban saya mengapa saya sangat mencintai Tanjung Uma seperti yang selalu ditanyakan mereka yang ada di sekitar saya.  (1) mimpi jaman kuliah saya untuk datang ke Tanjung Uma dari sebuah searching di Internet (2) Saya bermain-main dengan indera ke enam saya. Bahwa saya percaya dan yakin kakek nenek atau nenek moyang saya dari suku bugis pasti pernah tinggal di Tanjung Uma, walaupun saya sampai detik ini tidak pernah menginjak tanah Bugis di Makassar sana dan ke (3) karena saya berada di Batam dan saya bekerja di sebuah radio yang mengangkat budaya Melayu. Serta alasan yang harus saya sembunyikan karena alasan tersebut adalah alasan yang tidak masuk akal dan tidak masuk secara nalar. Konspirasi!

Kalau bukan kita siapa lagi? Karena saya percaya Tanjung Uma tidak akan menjadi cerita dongeng untuk anak-anakku kelak. “Melayu takkan Hilang di bumi”.
Saya jadi ingat perjuangan teman-teman Koseba, komunitas Sejarah Banyuwangi untuk mengumpulkan sejarah-sejarah Banyuwangi yang tidak terlacak. Menjadikan satu dalam kumpulan tulisan. Tapi apakah saya bisa? Siapa yang akan dukung saya disini? Karena saya adalah perempuan jawa bugis yang terdampar di Batam yang mulai mencintai budaya Melayu. Dan sendiri!! Entahlah….mimpi saya kembali menggila. 

 My dear
: Saya mencintaimu seperti saya mencintai Batam dan Banyuwangi

Pagi ini saya ingin berbisik padamu, Melayu Takkan Hilang di Bumi!
Finish!! menutup tulisan dengan doa semoga saya bisa berguna untuk Tanjung Uma, Melayu dan Batam! Paling tidak tulisan saya di baca oleh dunia.
Tanjung Uma, Sebuah dilema antara Cagar Budaya dan pembangunan kota
 *maaf....karena saya tidak membawa kamera sendiri! jadi saya terlalu narsis dengan gambar saya. 
   ya...seperti seorang bocah mendapatkan mainan baru. My Lovely Tanjung Uma

Catatan ini aku persembahkan pada Ibuku yang mengajarkan aku untuk menghargai sejarah
Ayahku yang menciptakan aku sebagai perempuan yang harus belajar
Pada Banyuwangiku, Pada Batamku, Pada Melayuku
Pada semua yang peduli tentang warisan sejarah Indonesia

Pada Tanjung Uma, yang mengajarkanku bertahan di antara "kemajuan"
Padamu My Dear, yang mengajarkanku bagaimana aku harus bersabar!

3 komentar:

Anonim mengatakan...

nanti, fakhri kalo dah gede jalan-jalan ke Tanjung Uma yang sayang....hehehe

socafahreza's blog mengatakan...

Tanjung uma memang tempat yang menarik :)

ressy bella putri mengatakan...

mampir kerumah........ rt.01/rw.01 no.15 .. bukit timur... ^.*