"sudah menikah Raa...."
"suami kamu yang mana...?"
"wahhh...pasti masih bujang. boleh nggk kenalan"
"masih kuliah ya"
"Ibu punya anak laki-laki...siapa tau cocok"
Saya
hanya tersenyum simpul dan tertawa kecil saat ada chating yang masuk di
FB atau saat bertemu pertama kali dengan saya. Sayangnya saya tidak
pernah melakukan survei kecil-kecilan, menanyakan kepada mereka mengapa
mereka menganggap saya sebagaiseorang lajang. Apakah karena saya
berukuran sangat pendek. Hanya 150 cm? atau karena saya lebih banyak
menghabiskan waktu saya di studio dan di jalanan bersama teman-teman
saya dari pada di rumah dan menghabiskan waktu saya bersama keluarga
saya?. Tepatnya suami saya. Atau mungkin sifat saya yang easy going saat
di luar rumah dan tidak adanya batas waktu untuk diluar rumah yang
memperparah pandangan orang lain bahwa saya adalah seorang lajang
Ya....saya
adalah perempuan dan status saya menikah. Saya adalah seorang ibu rumah
tangga seperti layaknya perempuan rumahan. Mengurus cucian, setrika,
ngepel dan memasak walaupun sekarang sudah sangat terbantu dengan
kehadiran pembantu rumah tangga saya.
Saat mereka
menanyakan apakah saya sudah menikah? saya akan menjawabnya, "apa
penting mengetahui status saya menikah atau tidak?". Bagi saya menikah
bukan sebuah hambatan untuk sebuah pertemanan, pekerjaan dan sebuah
pemikiran. Dan rata-rata mereka yang menanyakan status saya mengatakan
sangat penting mengetahui status saya menikah atau tidak. Paling tidak
agar bisa jaga jarak. Hingga akhirnya muncul asumsi saya. Jika dengan
yang berstatus lajang tidak ada jarak dong, "semena-mena" dalam
pergaulan?. Lalu jika menjaga jarak dengan yang menikah bukan untuk
menghormati tapi lebih karena ketakutan pada suaminya. Bukankah begitu?
Bukankah perempuan baik itu lajang atau sudah menikah sama-sama harus di
hargai dan dihormati? sama-sama punya hak di kehidupan sosial. Tapi ini
akan berbeda jika memang laki-laki itu hanya ber "niat" untuk mencari
jodoh. Dan pertanyaan menggelitik mncul. Jodoh yang pertama atau jodoh
yang kedua? hahahahahahahhahahahha
Yang lebih parah lagi.
Seorang laki-laki iseng. Ya saya mengatakan iseng dan sudah saya delete
pertemanan saya di FB dengan dia. Memaksa untuk mengetahui status saya.
Dan saat bilang saya telah menikah, dia memaksa saya untuk memberi
tahukan siapa suami saya. Bagi saya sangat tidak penting. Dan hanya
menghabiskan waktu saya untuk meladeni chating dia. Hingga suatu hari
dia mengirimkan link profile FB sambil mengatakan, "Saya sudah tahu
suami kamu". Dan saya tertawa ngakak saat link itu saya klik malah
beralih ke salah satu sahabat saya. Saat saya menanyakan apa alasan dia
mengatakan bahwa dia adalah suami saya. Dia dengan entengnya menjawab
karena saya sering berphoto dengan dia. Ampun...begitu piciknya ia.
Walaupun 100 persen saya tidak bisa menyalahkan dia dengan pikiran
sempit dia.
Saya
menulis catatan ini sebagai refleksi pernikahan saya yang ke tiga
tahun. Ya....3 tahun. Waktu yang sangat sebentar dalam sebuah
pernikahan. Tapi tidak untuk masa perkenalan dengan suami saya. 13 tahun
lebih saya mengenalnya. Dan itu bukan waktu yang sangat pendek untuk
sebuah kedekatan emosional bagi saya dengan makhluk yang bernama
laki-laki. Jangankan dengan laki-laki lain. Dengan ayah saya yang
notabane sebagai orang tua kandung laki-laki, saya hanya mengenalnya
tidak sampai hitungan 10 tahun.
Apakah ada kebosanan.
Pasti saya menjawabnya ya.....sebuah rutinitas yang terkadang membuat
saya lelah dan hanya bisa saya tuangkan dalam tulisan-tulisan saya.
Sebuah protes dalam sebuah konsep rumah tangga yang selalu saya
pertanyakan. Tapi saya sadar selama 3 tahun ini saya hidup dalam
keegoisan saya. Dalam mimpi saya. Dan berdiri dengan kedua kaki saya dan
keputusan-keputusan besar dalam kehidupan saya. Pernikahan adalah
sebuah pembelajaran terbesar bagi Tuhan kepada saya bagiaman saya harus
bertahan, menekan keegoisanku, dan membunuh separuh mimpi saya.
Ya....saya katakan membunuh. Tidak perlu saya jelaskan dengan detail
bagian mimpi mana yang terbunuh. Hanya saya dan Tuhan yang tahu.
Ya....saya mengatakan mimpi saya yang tidak mempunyai efek buruk bagi
semuanya termasuk rumah tangga saya.
3 tahun pernikahan saya.
Sebuah refleksi bagi saya. Apa yang telah saya lakukan untuk rumah
tangga saya. Sangat tidak etis jika saya menulis detail apa saja yang
telah saya korbankan. Karena saya belajar untuk ikhlas. Bukankan
pernikahan juga mengajarkan saya untuk belajar ikhlas dan kehilangan?.
Mungkin
bagi orang lain catatan saya ini adalah bentuk kebodohan saya, karena
saya terlalu jujur dengan pernikahan dan kehidupan saya dalam
catatan-catatan saya. Tapi saya tidak mau disebut pecundang.Tidak
mungkin ada pernikahan cinderela di muka bumi ini. Pernikahan seperti di
negeri dongeng. Puteri menikah dengan pangeran melahirkan anak-anak
hidup di istana dan mati dengan tenang.
Tidak ada seorang ibu yang
mengatakan pada anaknya bahwa hidup ini mudah. Ibu yang bijaksana pasti
akan mengatakan bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan dalam
menyelsaikan sebuah masalah.
Fuichhh......saya telah
menyelesaikan3 tahun pernikahan saya. Dan di depan mata saya sudah ada
tahun-tahun yang harus saya lalui dan saya sendiri tidak tahu sampai
kapan saya menyelesaikan tahun-tahun pernikahan saya. Karena itu adalah
tanggung jawab terbesar saya saat saya memutuskan untuk menikah.
Jika
ada yang mengatakan saya menyembunyikan pernikahan saya. Atau tidak
bangga atas pernikahan saya. Saya hanya akan tertawa menghadapinya.
Tidak pernah ada yang saya tutup-tutupi dalam kehidupan sosial saya.
Walaupun ada itu bersifat privacy. Yang sama sekali tidak berhubungan
dengan orang banyak. Di FB saya ada foto bersama suami saya. Hanya saja
saya bukan kategori orang yang suka mengupload photo dengan pasangan
saya. Merasa risih saja. Jika ada yang mengatakan mengapa harus risih
foto dengan suami sendiri tapi tidak risih dengan photo bersama
laki-laki lain. Upsss.......its my life. dan jangan pernah menghakimi
saya jika tidak pernah tahu bagaimana kehidupan saya. Dan saya akan
mengatakan malas berdebat dengan anda. Karena kehidupan saya mengajarkan
saya untuk hidup mandiri tanpa laki-laki, walaupun secara kehidupan
saya masih membutuhkan kaum adam itu. ~mungkin~
Kembali
lagi saya terlalu egois dalam kehidupan saya. baik secara pribadi
maupun secara rumah tangga. Dan saya berusaha membunuh ego saya untuk
menjadikan saya perempuan yang mampu bertahan dengan semua permasalahn
yang ada dan bertanggun jawab dengan semua keputusan saya. Termasuk
keputusan besar saya untuk menikah dan menghentikan masa lajang saya
sejak 3 tahun lalu.
Catatan ini adalah catatan bodoh saya.
sebagai bentuk pembelajaran dan refleksi dalam pernikahan saya yang ke
3. Tidak perlu ada ucapan selamat. Tidak perlu ada kue tart. Tidak perlu
ada tumpeng atau acara makan-makan. Atau mungkin sebuah pesta. Tidak
perlu ada kado dengan pita merah muda di atasnya. Yang terpenting adalah
bagaimana cara aku bertahan..........sebagai seorang perempuan.
Ya.......saya adalah perempuan. Dan status saya adalah perempuan yang menikah.....
dan
tidak perlu lagi dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang
membuat saya bertambah muak. Saya belajar bertanggung jawab dengan
keputusan saya untuk menikah.
My dear
:tentu kau akan cemburu, mengeleng-gelengkan kepala atau bahkan membuatmu semakin jauh
Tapi percayalah saat namamu selalu aku selipkan dalam doa-doaku.
walaupun aku tidak pernah memastikan bahwa ada nama ku dalam doamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar