11 Okt 2010

SAATNYA GANDRUNG DI GANDRUNGI DI BANYUWANGI

Adzan magrib baru saja selesai berkumandang. Seoarang perempuan tua berusia hampir 60 tahun tergesa-tesa memasuki sebuah rumah dengan membawa tas plastik besar warna merah. Di teras rumah sudah ada 2 perempuan muda yang menunggu. Setelah saling bertegur sapa sebentar, mereka bergegas masuk edalam rumah dan membongkar isi tas mereka masing-masing dan ber siap-siap berhisa diri.

Berhias diri? ya...mereka berhias diri untuk penampilan terbaik mereka sebagai seorang Gandrung. Dan perempuan tua yang menarik perhatianku bernama Temu Misti. Aku memanggilnya Mbok Temu. Dia sangat periang, dan jika berbicara secara refleks akan menggerakkan kepalanya dengan gerakan yang khas. Seorang penari Gandrung legendaris dan tak salah jika aku menyebutnya sebagai Sang Maestro. Ya seorang Maestro. Yang mengabdi pada kesenian Gandrung sejak usia masih usia 15 tahun. Menyanyi dan menari dari malam hingga pagi hari. Dari panggung ke panggung hampir selama 45 tahun. Bahkan di usia senjanya dia tetap bertahan sebagai seorang Gandrung Temu yang tetap di Gandrungi.


Gandrung adalah salah satu keseniann khas dari Banyuwangi yang mempunyai satu sisi seperti tarian Tayub yang terkenal di Jawa Tengah. Ada beberapa penari perempuan dengan pakaian khas yang akan menari dan menyanyi diringi dengan 5 sampai 7 penabuh gending laki-laki. Mereka juga akan menari bersama-sama para tamu dan juga ada tradisi "nyawer" di antarapenari Gandrung dan para tamu. Gandrung biasanya tampil di hajatan seperti sunatan dan perkawinan. Biasanya dimulai jam 9 malam hingga menjelang Shubuh. 

Di awal kemunculannya, sekitar tahun 1800-an, penari gandrung adalah laki-laki. Gandrung dengan gending-gendingnya, dimainkan sebagai bentuk perlawanan masyarakat Banyuwangi terhadap kolonialisme bangsa barat. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menggalang kekuatan masyarakat Banyuwangi melawan Belanda.  Gandrung dengan penari perempuan baru muncul pada 1895, setelah Islam masuk dan melarang laki-laki menjadi penari. Perempuan-perempuan penari Gandrung sering dimanfaatkan untuk mengorek informasi kelemahan Belanda saat mereka nonton Gandrung sambil minum minuman keras, sehingga para prajurit Banyuwangi bisa melawan mereka mereka dengan mudah.

Setelah Indonesia merdeka, Gandrung berubah fungsi. Dari semula sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, gandrung menjadi hiburan. Tahun 1990-an, pementasan gandrung diidentikkan dengan para pemabuk karena selalu tersedia minuman keras. Sorotan miring terhadap gandrung mulai merebak. Gandrung mulai terpinggirkan. Namun Mbok Temu tetap bertahan..

Disela-sela berhias diri, Mbok Temu menceritakan kehidupannya di dunia Gandrung.  ia mengenal dunia Gandrung sejak usia 15 tahun. Ia mengawali karir di kelompok kesenian Gandrung Sopo Ngiro yang dirintis sejak tahun 1980-an. Dia lahir di Dusun Kedaleman Desa Kemiren yang terkenal sebagai basis seni Banyuwangi. Sejak kecil ia sudah sangat mencintai dunia Gandrung walaupun orang tuanya sangat menentang keinginan Temu. Semasa kecil, anak tunggal Mustari dan Supiah ini sakit-sakitan. Hampir putus asa keluarganya membawa Temu berobat ke dukun. Suatu hari sepulang berobat ke dukun, ibunya mampir ke salah seorang seniman gandrung, Mbah Ti’ah. Di sana, Temu meminta makan. “Saya makan dengan lahap,” kata Temu. Si empu gandrung lantas berpesan: “Jadikan dia gandrung kalau besar nanti,”

Temu menari dari satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Dia mempertahankan pakem gandrung ditengah bermunculannya penari gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukan kesenian murahan. Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak dimiliki gandrung lain. Melengking tinggi dengan cengkok using khas. Selain menari, ia biasa menjadi sinden gandrung dalam setiap pagelaran. Ia juga satu-satunya yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu Banyuwangi modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah sebuah eksotisme timur. 

Suara Temu dianggap komersil sehingga di tahun 1970-an dia masuk dapur rekaman. Album pertamanya adalah lagu-lagu yang dibawakan saat pementasan Gandrung. Saat itu, albumnya dijual seharga Rp. 75. 
Tahun 1980, suara emas Temu direkam Smithsonian Folkways, Amerika Serikat, milik Philip Yampolsky. Dalam album Songs Before Dawn yang dirilis 1991, Temu menyanyi sebelas lagu gandrung, antara lain, delimoan, Chandra dewi, dan seblang lukinto. Bertahun-tahun, rupanya Temu tak pernah tahu kalau album itu dijual di sejumlah situs bisnis di Amerika dan Eropa. Di situs Amazone.com, misalnya, CD Songs Before Dawn dijual seharga 16,98 US Amerika. Yang Temu tahu, kalau saat itu suaranya direkam untuk kegiatan penelitian kebudayaan Indonesia. Ia dibayar Rp 250 ribu, tanpa sebuah surat kontrak. 

Temu baru mengetahui sekitar tahun 2007 dari Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme. Konon kabarnya, album Temu itu mencetak penjualan miliyaran rupiah. Namun penghargaan kepada Temu, tak lebih dari sebuah figura berbingkai kayu coklat polos, berisi sampul album Songs Before Dawn. Figura itu dipajang Temu di dinding rumahnya. Temu mengaku bangga dan kecewa setiap melihat figura yang harganya tak lebih dari lima ribu rupiah.  (www.tempointeraktif.com)

(Saat yang bersamaan aku bertemu dengan salah seorang yang "pernah" memanfaatkan suara eksotik Temu. Sumpah....aku muak melihat wajahnya. Namanya sangat terpandang bukan hanya di loka Banyuwangi tapi juga dikalangan nasinal dan Internasioanal. Dimana-mana di elu-elukan dan endapat tempat duduk yang sanat layak di ruang VIP. Tapi dia lupa, bahwa dia besar dari seorang Temu. Perempuan Gandrung yang semakin terpinggirkan dan bahkan tetap hidup melarat dan menjanda di usia senjanya. Saat aku mengungkit itu pada Mbok Temu, dia hanya memegang bahuku sambil berkata, "Kang Kuoso hang mbales. isun byaen heng ngamuk, apuwo riko hang muring. Ojo pati wangkot, Raa" (Tuhan yang akan membalasnya, saya saja tidak marah, keanpa kamu yang uring-uringan. Jangan keras kepala Raa)


Dan aku terdiam dan terus ekor mataku terus mengikuti gerakan mbok Temu yang sibuk meluluri tubuhnya dengan bedak yang diakuinya ada jampi-jampinya. Termasuk saat dengan terampil dan lincah melilitkan kain jaritnya dan menggunakan pakaian Gandrung yang rumit dibantu dengan juru rias yang berusia uzur

Saat ini Temu masih aktif menyanyi, lagu-lagunya lebih modern. Salah satu single hits yang meledak di pasaran berjudul Ojo Cilik Ati. Upah rekaman tidak dihitung berdasarkan royalti atau banyaknya kaset yang laku. Melainkan dihitung per paket, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per lagu. Tanpa ada surat kontrak . Sebagai seniman tradisional, Temu tak pernah pernah menggugat dengan urusan hak cipta intelektual atau tetek bengeknya. Saat menjadi gandrung, bayaran satu kelompok memang besar, yakni Rp 2 juta. Tapi setelah dibagi-bagi dengan lima penabuh, dan seorang tukang rias, bersih ia hanya terima Rp 250 ribu. Karena itu ia tak pernah protes dengan upahnya rekaman. 

Mbok Temu tidak akan mundur dari dunia Gandrung selama ia masih kuat menari da menyanyi. Ia ingin sekali ada generasi baru yang meneruskan tradisi Gandrung dengan pakem-pakemnya. Pada tahun 1995 ia sempat melatih 10 anak gadis di desanya tapi semua gagal, karena susah mencari pengganti yang mau menari karena benar-benar mencintai Gandrung.

Setelah mengenakan omprog khasnya dan menyiapkan selendang untuk tamu yang akan menari dengannya, Mbok Temu keluar dengan dua penari Gandrung muda lainnya menuju pentas yang di tepat berada dipinggir jalan utama Kemiren. Penonton yang didominasi usia tua sudah duduk manis di sekitar panggung. Suara Gandrung Temu nglaik-nglaik  membuka pertunjukan Gandrung malam itu. Miris dan terkesan magis. Mbok Temu terlihat sangat cantik dibalik bedak tebal yang memaksa menutup guratan-guratan tua wajahnya. Tangan kasarnya khas petani bergerak lincah beriringan dengan nada musik yang ditabuh.

Aku mengarahkan ujung lensaku ke wajahnya sambil terus berpikir bahwa semuanya harus kembali ke masanya.

(Sekilas aku melihat wajah laki-laki tua itu yang duduk di deretan terdepan tamu undangan. Dan aku melihat matanya bertamprokan dengan mata Mbok Temu. Takjub, melihat Mbok Temu tersenyum ikhlas tanpa beban seakan-akan ia tidak pernah dikhianati dengan ratusan dolar royalti album Songs Before Dawn)
Yang pasti lelaki tua itu bukan yang digambar ini. Karena aku masih tau diri untuk tidak mengambil gambarnya. Bisa-bisa kena UU pencemaran nama baik

Ya....Mbok Temu benar-benar seorang Maestro. Bukan hanya dari kemampuannya menari, menyanyi tapi sebagai keikhlasannya menghargai sebuah seni dan tradisi tanpa pernah dinilai dengan materi.

Saatnya Gandrung (kembali) di gandrungi 
di Banyuwangi.


Aku pesembahkan catatan kecil ku
Pada Mbok Temu yang selalu mengajarkanku keiklasan
keiklasan terenyum
keikhlasan mengabdi pada tradisi
dan keikhlasan untuk terus berbagi
Pada Blambanganku, Banyuwangiku
Pada kawan-kawan  se idealis
Pada lelaki hujanku (kapan kau mempelajari budayaku)
dan
Pada ibuku  (ajarkan aku terus menari Bu)









3 komentar:

ivan kavalera mengatakan...

Perjalanan mengasyikkan. Gandrung. Saya pernah sempat baca di sebuah artikel tapi tidak selengkap di sini. Terimaaksih telah dishare, mbak. Sehat-sehat saja kan? Pasti capek nih habis perjalanan jauh?

-Gek- mengatakan...

Wah, panjang bener.. Tua namun semangat masih muda. Mana generasi mudanya> tidakkah mereka ikut mengandrungi Gandrung?

rahmat yudhistira mengatakan...

salam sastra..
tambah kreatif saja..