3 Jun 2010

(semoga bukan) Catatan Terakhirku di Pondok Jaya

Aku tulis catatan ini tepat tanggal 17 Mei 2010. Di sebuah perjalanan panjang dalam kereta. Yah….hidupku adalah sebuah perjalanan kereta. Yang selalu singgah di sebuah stasiun tanpa pernah tahu kapan kereta itu akan berangkat lagi. Satu jam, dua jam atau bahkan 12 jam lagi. Dalam sebuah persinggahan di stasiun, mungkin aku akan menemukan beberapa teman yang menemani ku menikmati secangkir kopi sambil menunggu kereta yang datang untuk melanjukan sebuah perjalanan. Atau hanya sekedar bertegur sapa saat antri di WC umum.
Hidupku adalah sebuah perjalanan. Dari satu kota ke kota lain. Dari satu hati ke hati lain. Atau bahkan dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Dan akan selalu menemukan dari satu perpisahan ke perpisahan yang lain.


Dan hari ini aku menemukan sebuah perpisahan yang membuat aku sesak dari sekian persinggahan yang aku alami. Dari Bali, Banyuwangi dan persinggahan cukup lama di Jember hingga akhirnya terdampar di sebuah wilayah bagian dari Jakarta yang bernama Bintaro. Sebuah wilayah yang benar-benar asing. Tak mengenal budaya betawi. Belajar beradaptasi dengan multi culture hingga aku jauh cinta pada keluarga baru ku di sana. Ya…keluarga baru ku. Tetangga-tetangga yang selalu membuka tangannya lebar-lebar saat aku membutuhkan keluargaku yang tak pernah bisa sempurna. Keluarga baru ku yang selalu menyediakan bahunya untuk menyandarkan kepalaku untu sekedar berkeluh kesah dengan kesendirianku. Keluarga baruku yang mengernyitkan dahinya saat aku menyodorkan beberapa majalah agar mereka bisa baca dan memahami tentang masalah perempuan. Keluarga baruku yang selalu mengetuk pintu rumahku sambil berteriak, “Tante Ira…..makan bareng yuk”.
Ya…..keluarga-keluarga baruku yang mempunyai anak-anak lucu yang tak lagi menganggapku sebagi orang lain. Ya….wajah-wajah polos itu selalu memanggilku “Tante Ila” dengan kecadelannya. Mereka yang selalu berteriak-teriak saat hujan turun dan memohon agar aku mau mengijinkan kepada orang tuanya agar bisa ikut bermain hujan. Saat aku mengangguk mereka langsung tertawa girang menarikku bergabung untuk menarikan tarian hujan.
Atau mungkin dikesempatan lain mereka mengetuk rumahku dengan wajah ditekuk membawa tas sekolahnya sambil berkata, “Aku belajar di sini ya tante. Kalo dirumah mama marah-marah”. Dan mereka langsung duduk manis sambil menyerahkan bukunya padaku. Siap untuk menerima pertanyaan-pertanyaan dariku.
Ya….aku rindukan mereka. Apalagi saat Dilla berteriak karena menang saat lomba puisi Kartini. Dan aku semakin bahagia saat ia berkata dengan kawan-kawannya “Ini puisiku….yang buat tanteku. Tante Ira”. Tuhan….aku semakin merasa berarti saat mereka duduk manis sambil membaca di “perpustakaan miniku” sambil sesekali mempertanyakan berita yang tak mereka mengarti. Dan aku bahkan sempat tergagap saat Lala bertanya, “Tante kok bisa ya dari perut kakaku keluar dedek bayi”. Atau saat Khadijah protes, “Tante….kalo nulis itu di buku bukan dilaptop!”.

Yah…..mereka selalu menemaniku menulis setiap sore dan terkadang juga sok ikut sibuk membaca buku-buku ku yang mereka sendiri tidak kuat memangkunya.
Atau hanya sekedar mengucapkan,”Tante cepet sembuh ya….ini aku belikan es kiko” saat Dokter memvonisku harus menjalani abortus. Atau saat aku ulang tahun dan mereka berebut salaman sambil memberikan sebuah kado jilbab dan pashmina warna merah. Kelak aku tahu mereka sudah mengumpulkan uang jajan mereka satu bulan sebelumnya.
Dan di Bintaro adalah sebuah persinggahan sebentar yang membuat aku merasa sangat berarti. Jika selama ini persinggahanku hanya diisi dengan belajar, membaca, berdiskusi sambil minum kopi, tidak untuk disini. Tak ada diskusi sebuah buku, diskusi sejarah atau diskusi politik. Tapi yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan polos tentang bumbu masakan, tentang pelajar anak kelas 4 SD, tentang Donald Bebek, tentang masalah-masalah rumah tangga. Sebuah pertanyaan yang selama ini selalu aku acuhkan dan jujur dalam perjalanan ini aku baru menyadari jika aku menikmat dan akan merindukan pertanyaan-pertanyaan itu. “Tante….kenapa ya Krisdayanti bisa cerai sama Anang. Padahal kalo sudah di TV lebay banget”. Dan yang lain menimpali, “ Gue aja yang nikah kagak modal cinta kagak mau cerai pisan”.
Persinggahanku di Bintaro menemukan keluarga-keluarga baru yang benar-benar bersahaja. Mereka bukan lulusan S1 atau mungkin S2, mereka mungkin hanya lulusan SD dan SMP. Mereka juga bukan pekerja kantoran, tapi mereka hanya buruh yang gajinya jauh di bawah UMR. Tapi, mereka lebih mengerti aku dari pada mereka yang selalu sibuk dengan meeting dan meeting. Selalu menyediakan waktu 24 jam untuk aku berkeluh kesah. Dan rela membawaku tengah malam saat virus tipus menyerangku.

Yah….Umi, Abi, Khadijah dan Aisyah. Keluarga yang agamis dan sabar. (Dhijah…jangan suka bertengkar sama temannya ya. Tante masih ingat waktu kamu bilang, “Umii…..Dhijah takut sama tante Ila. Kalo marah keluar tanduknya”. Aisy…cepet jalan ya biar bisa kejar-kejar ayam sama kucing. Kan tante Ira udah pergi jadi nggak ada yang gendong kamu lagi buat liat kucing sama ayam di halaman depan).
Mbak Milla, pak Kopral, Fadilla dan mas Hendra. Keluarga yang penuh tawa. (Dill….tahun depan kamu harus rangking satu lagi. Kalo mau tanya pelajaran sms tante aja ya. Banyak buku di lemari tante kamu bisa baca setiap saat biar kamu pinter. Mas Hendra….klo lulus dari SLB terus sekolah ya…siapa tau ntar jadi sarjana. Eh…ya…jangan suka bertengkar sama Dhijah ya. Tante terimakasih banget sudah diajari banyak bahasa isyarat. Tante doakan semoga dapet bantuan alat pendengar dari pemerintah)

Dua prajuritku yang selalu membuat heboh rumah petakku. Mayor dan Elang. Kedua ponakan yang selalu berlari saat mereka datang dan segera memeriksa lemari es hanya untuk mendapatkan satu cup es krim. Dik Ita, Dik Kiki, Mbak Yuni dan dik Wawan. Aku tunggu di Banyuwangi agar kita bisa bertemu lagi.
Bu Guru,…smoga lahirnya ntar lancar. Hmmm…..sudah menjadi istri Chip dan pasti akan sering ditinggal. Nggak apa-apa kok bu! Kan tetangga kita baik-baik. Tenkyu LBC nya.
Mpok Bibah….terimakasih sudah bantu aku cuci baju dan setrika. Mpok yang kuat ya…..kan mpok bibah sudah jadi nenek di usia yang belum genap 40 tahun. Seperti mpok bilang, “Tante…aku jadi nenek gaul”. Semoga cucu mpok bisa kuat kayak neneknya.
Mama Alvi, alvi dan agit……Sayang, tante nggak bisa ngajari kalian lagi lagu-lagu anak-anak lucu di ulang tahun kalian tahun depan.
Ah….perpisahan hari ini benar-benar menguras air mata. Pagi-pagi mereka sudah duduk manis di depan rumah. Aku yakin mereka belum mandi. Masih pakai celana kolor dan wajah yang masih polos. Kembali berebut salaman sambil memberi bungkusan, “Tapi jangan dibuka disini ya tante”. Aku mengangguk sambil menciumi mereka satu-satu. Aku benci perpisahan. Apalagi melihat Dilla, yang paling besar di antara mereka masih duduk di kelas 4 SD menitikkan air mata. Umi dan Mbak Milla memelukku erat dan mama Alvi yang hanya mematung diam sambil mengusap air mata. Mpok bibah yang datang sambil setengah berlari langsung memelukku. Ah…….ini yang aku benci dari sebuah perpisahan. Yaitu air mata. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Dan pagi ini aku kembali menangis. Ya menangisi sebuah perpisahan yang aku sendiri tak yakin apa aku masih bisa menemui mereka kembali.
Mereka tak punya talian darah denganku. Mereka tak masuk dalam silsilah kelurgaku, Anak-anak itu juga bukan anak-anak yang lahir dari rahimku. Bukan pula anak-anak dari darah dagingku. Tapi mereka bagian terpenting dari persinggahanku
“Tante ila….agit sudah hapal lagu kelinciku yang lucu”
“Kalo dhijah sudah mau sekolah….sepatu aku balu”
“Tante…lala udha nggak nakal lagi kok sama mama. Kan lala udah punya adik bayi”

Mereka tetap berceloteh dengan gaya khas mereka. Dan mereka bertanya, “Tante Ila….kenapa nangis? Jangan nangis ya tante?”
Dan baru kali ini dalam sebuah persinggahan, banyak air mata mengiringi perjalananku
Ah…..mereka mungkin belum mengerti jika aku akan benar-benar pergi. Kata-kata perpisahan yang membuat aku semakin berat untuk meninggalkan mereka untuk melanjutkan perjalananku ke Banyuwangi, kota kelahiranku untuk “nyekar” ke makam Ibu dan Ayahku dan melanjutkan perjalanan panjangku menuju “BATAM”

Catatan kecilku ini aku persembahkan pada rumah petak kecilku di Pondok Jaya
Pada Fadilla, Hendra, Khadijah dan Aisyah
Serta dua prajuritku Mayor dan Elang
Pada sebuah kenangan tentang aku yang menjadi bagian dari keluarga utuh
Aku akan merindukan kalian dalam catatan-catatan kecilku.
Dan pada cintaku yang tertinggal pada sebuah kota
Tunggu aku di kotamu, aku pasti kembali

12 komentar:

aura pelupa mengatakan...

Sukse mengiring di tempat barunya! Semangat!

nietha mengatakan...

perpisahan pasti menyedihkan mbak. semoga ditempat barunya ketemu orang2 baru yang juga menyenangkan

annie mengatakan...

Anak-anak dimanapun selalu memiliki pesonanya sendiri, mbak Ira. Mbak sudah memberikan kisah indah untuk mereka, demikian pula sebaliknya. Hati dan kebahagiaan tak pernah salah memilih tempat. Semoga di tempat baru, cerita barumu tak kalah indah. Senyum Ciiiiiissss hehe ...

REYGHA's mum mengatakan...

Wah jadi terharu Mba Ira, semoga sukses ditempat yang baru ya....

Bunda Alfi mengatakan...

Selamat jalan mba...

semoga disetiap perjalananmu kau temukan ribuan makna, bukan kau saja yang kehilangan tapi akupun begitu juga, sangat kehilangan. Walau dengan hitungan jari waktu kita berjumpa, tapi sejuta makna kita rengkuh.

Salam manis dari Liqo, Kanzan dan Alfi.

Ingat dimanapun kau berada tetap ada dibumi Tuhan dan Tuhanpun tak tidur untuk melihat segala langkahya umatnya, itu kan yang selalu kita bahas...!!!

Akh...sudahlah akan kurelakan kepergianmu...sampai berjumpa kembali..

Annur Shah mengatakan...

wagh aku jadi ikut sedh mbak.... subhanlah rame yah tante IIA... MASIH LUGU DAN POLOS...


ALLAH SELALU MELINDUNGI UMATYA....
SABAR DAN TAWAKAL AKU JUGA IKHLAS HEHEH ESEDH NIEH JADINYA MBAK....

Freya mengatakan...

memang susah kalau harus berpisah. Apalagi jika berjalan ke depan dengan membawa rindu yang dalam. Ufgh..saya pun sedang merasakan hal yang sama...hiks.

Freya mengatakan...

memang susah kalau harus berpisah. Apalagi jika berjalan ke depan dengan membawa rindu yang dalam. Ufgh..saya pun sedang merasakan hal yang sama...hiks.

Setitik Embun mengatakan...

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap perpisahan pasti ada pertemuan. Nikmati saja setiap lika-likunya. Bukankah itu makna kehidupan seorang manusia? ^__^

yansDalamJeda mengatakan...

Perpisahan, tiba-tiba aku merasakannya........

-Gek- mengatakan...

wah sudah berhasil mengganti template. :)

Apa kabar Mbak?

Slamet Riyadi mengatakan...

wah perpisahan memang sedih
tapi semoga bisa kembali lagi...
lihat wajah wajah lugu dan lucu