25 Mei 2010

DAN INI ADALAH KISAH SEORANG PUTERI DAN KURCACI

"Kamu jangan lupa Raa….dalam kehidupan Sang Puteri bukan hanya ada Sang Pangeran. 
Tapi ada kurcaci yang lebih mengerti Sang Puteri”

Sebuah epos tentang masa lalu seakan tertanam pada benakku. Sebuah epos tentang Sang Puteri dan Sang Pangeran. Sebuah epos yang bahagia adalah pertemuan antar puteri dan pangeran. Sebuah epos yang ku puja. Hingga akhirnya aku sendiri terjebak dalam epos percintaan  antara sang Puteri dan Pangeran. Yah…..perjalanan hidup mencari pangeran yang ku kira menjadi sumber dari sebuah kebahagian.

“Sang Puteri mengenal Sang Kurcaci jauh sebelum ia bertemu dengan sang Pangeran. Sebetulnya, Sang Puteri lebih bahagia tinggal bersama Kurcaci dengan segala kesederhanannya”

Pikiranku melayang pada Sang Kurcaci. Ya….aku tetap akan memanggilnya “Sang”. Sang Kurcaci mempunyai hak dan tempat yang sama dengan sang Pangeran. 

Mengawali kisah versiku tentang Puteri, Kurcaci dan Pangeran.

Puteri mengenal Sang Kurcaci dalam sebuah perjalanan panjang pencarian sang Pangeran. Lalu, Sang Puteri dan Sang Kurcaci tinggal dalam satu rumah kayu. Mereka saling menyapa. Saling bercerita. Menghabiskan banyak waktu hingga saat tiba waktu makan malam. Terkadang Sang Puteri pun mendongengkan kisah perjalanannya mencari sang Pangeran. Dan tiap pagi pun Sang Kurcaci selalu menyiapkan kayu bakar sebagai bahan pemanas tempat mandi Sang Puteri.
Mereka selalu berjalan bersama. Beriringan menelusuri tepian hutan hanya untuk sekedar memetik buah berry ataupun bermain dengan kelinci hutan yang lucu. Saat kembali ke rumah kayu mereka, Sang Kurcaci membawakan sekeranjang buah Berry yang siap di olah oleh Sang Puteri sebagai makan malam mereka.


“Aku sang Kurcaci tapi aku memiliki perasaan yang sama dengan sang Pangeran, Sayang”

Hingga suatu hari sang Puteri bertemu dengan Sang Pangeran yang tersesat di tengah hutan. Atas nama sebuah perintah, Sang Pangeran tinggal dirumah katu bersama dengan Sang Puteri dan Sang Pangeran.
Kurcaci tidak ada kuasa untuk menolak..

“Mencintaimu adalah sebuah keikhlasan”

Sang Puteri telah terjebak dalam sebuah epos yang selama ini tertanam di luar kesadarannya. Ataukan ini sebuah pemaksaan dari sang penulis sekenario. Katanya, “Aku jatuh cinta padamu Sang Pangeran”

Dan dalam catatan ini, aku adalah penulis skenarionya! Dan aku berhak menentukan perjalanan kehidipan Sang Puteri. Sebuah keegoisan yang benar-benar egois.

Sang Puteri dan Sang Pangeran hidup bersama. Sebuah ikatan komitmen. Dan mereka melupakan Sang Kurcaci. Tak ada lagi tawa dalam rumah kayu. Tak ada lagi makan malam dengan nyanyian-nyanyian lucu. Tak ada lagi ritual menyusuri tepi hutan sambil memetik buah Berry. Tak ada lagi loncatan-loncatan kelinci yang lucu. Dan yang paling kehilangan adalah tak ada lagi senyuman dari Sang Puteri.

Sang Kurcaci terpekur sendiri dalam ujung kamar rumah kayu. Dengan menekuk kedua kakinya yang mungil dan berharap sang puteri menghampirinya unuk mengajaknya kembali bernyanyi. Dan Sang Puteri hanya duduk terdiam juga di depan jendela dengan Sang Pangeran yang berdiri di sebelahnya. 

Kurcaci tak pernah tau apa yang mereka bicarakan. Apa yang mereka katakan. Apa yang mereka rasakan. Hingga tiba-tiba sang pengeran meraih jubahnya di belakang pintu dan melangkah keluar tanpa ada ucapan apapun. Atau mungkin sang Kurcaci tak mendengar apa yang dikatakan oleh sang Pangeran karena pikirannya sibuk berpikir bagaimana caranya agar Sang Puteri kembali tersenyum. 

Ujung mata Kurcaci menatap kepergian sang Pangeran dengan segala pesonanya. Sedang di depan jendela, Sang Puteri tetap duduk terdiam di depan jendela menatap kepergian Sang Pangeran yang tertelan oleh debu yang di hasilkan oleh derap kaki kuda putihnya. Kurcaci turun dari pojokan rumah kayu. Tempatnya ia berdiam dengan segala perasaannya melihat Sang Pangeran yang mengggantikan posisinya.

Ia melangkah perlahan. Langahnya semakin lama semakin melebar seperti langkah sang Pangeran. Sang Kurcaci berubah sosok menjadi lelaki dewasa yang sempurna.
“Puteri….jangan menangis”
Jemari Sang Puteri dan Sang Kurcaci saling menggenggam. Sebuah aliran mistis mengalir antara mereka. Rasa kehilangan dan rasa saling menemukan. Rasa cinta dan rasa rindu.
“Puteri….masih ada aku. Walau kurcaci aku masih bisa membuat kamu tertawa”
Wajah Kurcaci berbinar. Raut sang Puteri kembali berseri.
“Puteri….masih ada aku. Aku yang akan menjagamu. Aku setia disini. Aku yang akan bernyanyi untukmu. Aku yang akan tersenyum untuk kamu. Dan aku yang selama ini jatuh cinta padamu dengan segala keikhlasanku”
Dan tak ada lagi kabar dari Sang Pangeran.

TAMAT!

Sebuah epos perjalanan yang benar-benar ingin aku tuliskan. Sebuah epos yang keluar dari norma kebiasaan. Sebuah epos yang menceritakan tentang Sang Puteri yang jatuh cinta pada Kurcaci. Sebuah epos yang mengkisahkan tentang cinta sang Kurcaci pada sang Puteri. Apakah sebuah kesalahan?
Aku akan menjawabnya tidak. Seperti yang kau katakan, “Bukankah rasa ini adalah milik Tuhan?. Seperti cinta yang dimiliki oleh Sang Kurcaci pada sang Puteri?”

Akankah kita selalu menunggu pusaran waktu?
Atau jalaninya tanpa arah melangkah?

Catatan pada sebuah diskusi tentang Sang Kurcaci
Terimaksih
Pada sebuah kisah yang sedang kita jalani
Epos puteri dan Epos Sang Kurcaci

7 komentar:

Unknown mengatakan...

wah, ngga apa2 deh diegoisin tuan putrinya, toh dia jg egois dgn pilihannya...

ceritatugu mengatakan...

sang putri melupakan sahabat setianya ya, maap

Annur Shah mengatakan...

hMM BAGUS BGD sedih nieh certanya hehhehhehehehe terharu...

ini cerpenny mbak sndiri>?

matakakiku mengatakan...

memang sudah waktunya untuk merubah suatu hal yang tabu menjadi layak untuk diperbincangkan,. hehe silet donk,.^^

di luar dari itu, catatan karya Ira memang bagus2.

yansDalamJeda mengatakan...

Apa kabarnya sang kurcaci......

Anonim mengatakan...

akhirnya sang kurcaci hidup bahagia dengan sang putri..

mbak ira dapat dmn sih gambar-gambarnya?? bagus-bsgus..

TRIMATRA mengatakan...

ceritanya mengaduk-aduk perasankuh,,,