24 Mar 2010

TAK SEKEDAR KISAH SEBATANG ROKOK

Bukan hanya satu kisah yang lahir dari sebatang rokok, tapi lebih karena banyak kisah yang terlahir dari catatan sebatang rokok.

Aku, sang perempuan tak pernah malu mengakui bahwa aku adalah mantan perokok. Jika ada yang mencelaku silahkan? Karena setiap manusia mengalami sebuah proses layaknya roda termasuk aku. Dan aku memutuskan berhenti saat Ibuku mengetahui kebiasaan burukku merokok dan memberikan sebuah catatan kesehatan ayahku yang menyatakan beliau meninggal karena kanker paru-paru. Aku tak pernah ingat istilahnya, hanya saja ibuku mengatakan padaku jika hampir separuh paru-paru ayahku tertutup nikotin. Sumpah! Sejak itu aku memutuskan untuk berhenti merokok.


Aku mengenal rokok sebelum aku mengenal diriku sendiri. Maklumlah! Ayahku perokok berat hingga beliau meninggal saat aku masih usia SD. Perjalanan hidup membawaku pada sebuah dunia seni, dunia aktivis yang semakin membuatku akrab dengan aroma asap rokok hingga aku menjadi perokok pasif. Dan masuk tahun 2000-an aku menjadi perokok aktif sebagi pelarian sebuah masalah. Hingga ibuku memberikan catatan kesehatan ayahku. Kelak aku mengetahui, kanker paru-paru merenggut beliau dari masa kecilku.
Berbicara tentang rokok, tidak harus dikaitkan dengan kesehatan. Karena rokok adalah sesuatu yang kompleks. Apalagi beberapa minggu ini fatwa haram merokok mencuat kepermukaan – yang aku pikir kekuatan media pengaruh besar pada pengalihan issue tentang teroris yang lebih booming sebelumnya-. 

Dulu aku sangat mengagumi Chairul Anwar, bukan hanya puisi-puisinya yang dicap plagiat, tapi potretnya dengan bibir yang mengisap rokok. Potret itu membekas di ingatanku sampai aku nekat mencetaknya dengan cetakan paling besar dan memasangnya di dinding kamar kostanku hampir lebih dari 5 tahun menghadap ke tempat tidurku. Merasa nyaman saja bangun tidur hingga tidur lagi menatap sang Maesto. Dan sumpah! Aku semakin terobsesi dengan rokok, termasuk laki-laki perokok. Terlihat jantan, walaupun kejantanan tak harus dilihat dari apakah ia merokok atau tidak. Mungkin karena obsesi ayah perokok, Chairul Anwar perokok, lingkungan juga perokok yang membuat aku semakin akrab dengan bau tembakau. Di tambah lagi aku sempat tinggal di Kabupaten yang mayoritas adalah petani tembakau. Semakin akrablah dengan tembakau, bukan hanya dengan batang rokok tapi dengan cara kehidupan mereka, para petani tembakau yang benar-benar bersahaja. 

Dan di bulan Maret, rokok kembali muncul dengan segala kisahnya. Terutama kisah saat Muhammadiyah mengeluarkan rokok haram hukumnya. Catatan dengan tinta tebal HARAM!.Padahal yang aku tahu, bukankah hukum rokok itu makruh? Dilema……..kata itu langsung muncul di otaku. Dulu, aku pernah diajari dengan guru ngaji orang Nahdiyin menjual barang haram hukumnya haram juga. Nah seandainya pendapat dari Nahdiyin di gabung dengan fatwa Muhamadiyah, maka seluruh toko yang menjual rokok berarti isinya juga haram dong?. Apakah ini adil? Dan aku juga melihat masih banyak orang-orang disekitarku entah itu Nahdiyin ataupun Muhamadiyah masih juga mengisap rokok bahkan hingga detik ini aku menulis catatan kecil ini. Lalu ada yang salah dengan sebatang rokok?

Daya rusak rokok terhadap kesehatan manusia sudah tidak ada yang menyangkalnya lagi. Gelontoran dana dari para pengusaha untuk 'memerangi' rokok diberikan kepada organisasi atau institusi di negara-negara yang banyak perokoknya. Salah satunya adalah Indonesia yang sebagian golongan masyarakatnya sudah menjadikan rokok sebagai bagian dari hidupnya. Seperti tercantum di laman www.tobaccocontrolgrants.org, ada aliran dana mencapai US$ 4.195.442 dari dari filantropis Michael Bloomberg asal New York, Amerika Serikat. Dana tersebut dikucurkan dalam rentang waktu 2007-2010. Di bawah bendera Bloomberg Initiative (BI), dana yang jika dikonversi ke dalam rupiah menjadi sekitar Rp 39 miliar tersebut, dikucurkan untuk 14 proyek antirokok. Penerimanya terbagi mulai dari institusi pendidikan, organisasi masyarakat, serta LSM. Proyek terbesar BI di Indonesia adalah pembentukan Tobacco Control Support Centre (TCSC) yang menghabiskan dana US$ 542,600. TCSC bertujuan berfungsi sebagai pusat koordinasi segala kegiatan kampanye dan memperjuangkan regulasi yang prokesehatan. Lewat jargon "To reduce tobacco use", selain Indonesia, BI juga menyokong kampanye antirokok di 14 negara lainnya. Mereka menggalakan kampanye mulai dari gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya rokok sampai mendorong terciptanya regulasi antirokok. Apakah ini ada kaitannya dengan munculnya fatwa rokok haram di Indonesia? Entahlah…..

Melawan rokok dengan fatwa itu ibarat perang dengan dua takhayul. Perlu cara-cara yang lebih rasional untuk mengatasi persoalan yang irrasional. Seperti Amerika Serikat yang mampu mengatasi rokok tanpa melalui fatwa. Problem rokok memang problem yng kompleks. Ada aspek kesehatan, ketenagakerjaan, budaya, sosial, dan ekonomi. Kompleksitas persoalan ini memerlukan pendekatan-pendekatan yang holistis dan sistematis. Misalnya melalui regulasi, pendidikan, kampanye, membuka alternatif lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Dan fatwa lebih terkesan ke pembelajaran ummat. Fatwa Muhammadiyah kali ini bahkan lebih baik dari fatwa rokok MUI. Sebelumnya, MUI mengharamkan rokok hanya bagi perempuan, anak-anak, dan tempat-tempat umum. Fatwa seperti ini relatif bias, tidak tegas, dan terkesan pilih-pilih. Padahal dampak rokok tidak akan pilih-pilih. Entahlah….semakin dilemma aku membuat catatan ini. 

Apa yang membuat masyarakat cenderung “kebal” fatwa? Ini bukan pertanyaan yang mudah. Baru-baru ini situs majalah Times memuat artikel tentang fatwa anti-teror. Judulnya, “Can a fatwa against terrorism stop extremists?”. Carla Power, penulis artikel ini, meragukan kontribusi fatwa dalam upaya menghentikan aksi teror. Pasalnya, banyak ulama telah mengeluarkan fatwa anti-teror sejak peristiwa 11 September. Mulai dari Ayatullah Ali Khamenei sampai Syekh Yusuf Al-Qardhawi. Yang tekahir, Syekh Tahir al-Qadri, ulama berpengaruh di Pakistan, awal bulan ini juga mengeluarkan fatwa serupa. Hasilnya, aksi-aksi teror tetap terjadi. Power berasumsi, kegagalan fatwa dalam mengatasi aksi terror disebabkan karena fatwa tersebut dikeluarkan oleh para ulama yang “dekat” dengan kekuasaan. 

Apakah masyarakat sudah kebal dengan fatwa? Entah lah….hanya saja masyarakat semakin cerdas untuk menyikapi sebuah masalah. Selain itu fatwa ulama seringkali tidak mengakar dan berwawasan “kerakyatan”. Kesan yang muncul, para ulama mengeluarkan fatwa tanpa kepekaan terhadap kondisi masyarakat. Berapa banyak produk “fatwa” telah dikeluarkan ulama belakangan ini, namun tak satupun yang efektif “mempengaruhi” masyarakat. Lihat misalnya fatwa tentang golput, facebook, mengemis, rebonding, foto pra-wedding, ojek wanita, dan sekarang rokok. Sebagian besar masyarakat agaknya cenderung cuek dan tidak lagi ambil pusing soal fatwa. Alih-alih menggubris fatwa ulama, mereka tampaknya sudah mulai “kekenyangan” fatwa.

Ketika ada instansi pemerintah dan ormas yang berupaya mengingatkan orang bahwa rokok itu berbahaya, kalangan masyarakat lain yang amat tergantung pada industri rokok dan aneka perangkat yang mendukungnya “melawan” peringatan itu dengan iklan. Hebatnya, sebuah surat kabar besar yang selama ini menabukkan diri memuat iklan rokok, tiba-tiba memasang iklan “pledoi” tersebut tak kurang dari setengah halaman penuh. Sebuah kepentingan? Atau kembali ke satu kata DILEMA!

Tapi bagiku, pendapat ulama NU dan fatwa Muhamadiyah kan bukan hukum? Sehingga siapapun bebas untu mematuhinya atau tidak. Seperti temanku yang menjadi perokok berat. Namanya Muhamad Fatwa. Saat Muhamadiyah mengeluakan fatwa haram untuk merokok, Kang Fatwa tetap menghalalkan rokok. Saat kutanya kenapa alasannya. “Karena tak pernah ada hukum yang jelas tentang rokok. Dan hanya orang dungu yang tak punya keyakinan apapun”. (dan aku yakin kang fatwa akan senyum-senyum sendiri baca tulisanku ini)

Apapun pandangmu tentang rokok kawan.....bagiku rokok membawa sebuah kisah terpenting. Tentang kehidupan, tentang sebuah perjalanan dan sebuah percintaan. Entah lah.....walaupun aku sudah berhenti merokok sejak di atas angka 7 tahun yang lalu, bau manis tembakau tetap membuat adrenalinku meningkat. Ya....adrenalin yang membuatku mengingat dia. Lelaki samudra yang membuaku terus berpuisi.
Dilema!


Catatan kecil kupersembahkan
pada Daeng Moesa, Almarhum ayahku yang mengenalkan rokok padaku
Semoga kau damai di sana
Pada Kang Muhamad Fatwa, dan sahabat-sahabat perokokku
ambillah sebuah keputusan tepat sebelum semuanya terlambat
Pada kota tembakau tempat ku ditempa kehidupan
Perjalanan hidup tak akan berhenti hanya karena sesuatu yang nisbih
Bukankah hidup itu pilihan kawan?





15 komentar:

Ivan Kavalera mengatakan...

Aku juga pengen berhenti merokok tapi memang sulit ya?

sibaho way mengatakan...

berhentilah merokok sebelum rokok 'menghentikan' anda :D

Thariq mengatakan...

ayahku jg perokok.....dilema memang...

Latifah hizboel mengatakan...

Semua adalah pilihan, perokok ataupun tidak itu adalah hak seseorang, hanya kesadaran masing2 untuk menghentikannya.

catatan kecilku mengatakan...

Rokok..., sampai sekarang masih jadi perdebatan. Semua punya sudut pandang sendiri-sendiri.

the others... mengatakan...

Kalau aku memang tak kuat dg asap rokok, tapi aku tak bisa menghentikan orang utk tidak merokok. ^_^

fai_cong mengatakan...

aku kepingin berhenti tapi sulit banget.

Ninneta - MissPlum mengatakan...

Guys,

Support The Earth Hour, by turning off all the electricity for an hour on Saturday, March 27'th 2010, 8.30 pm.

Dukung The Earth Hour, dengan mematikan semua lampu dan listrik selama 1 jam, pada hari Sabtu, 27 Maret 2010 mulai dari jam 20.30 malam.

This is the least we can do....


Love the Earth...

Ninneta

Aulawi Ahmad mengatakan...

fatwa itu sama dgn ajakan bukan keharusan. Fatwa juga sifatnya lebih ke "ketentuan buatan manusia" lain dengan ketentuan haram yg telah tercantum di Al qur'an.Jadi khusus fatwa yg mau ngikuti silakan yg gak ya silakan :)

Fanda Classiclit mengatakan...

Buatku mbak, rokok sama saja seperti makanan yang jahat buat kesehatan, misalnya nih masakan padang yg banyak mengandung lemak. Keduanya bahaya buat kesehatan, kan? Lalu apakah lantas warung-warung yg jual masakan padang harus disuruh tutup?

Kesehatan adalah pilihan, tak bisa dipaksakan. Rasanya semua org yg berpendidikan pasti tahu kalo makanan yg berlemak tinggi itu bahaya buat kesehatan, sama halnya dengan merokok. Tergantung mereka saja, mau nikmat sesaat lalu menderita di kemudian hari? Atau meninggalkan kenikmatan itu demi masa depan yg lebih sehat? itu semua pilihan, dan untuk memilih, rasanya kok gak bisa dipaksa yah...

a-chen mengatakan...

aku perokok, dan belum bisa berhenti untuk tak merokok, dan bukankah kata yang 'memfatwakan rokok itu haram' tak ada sesuatu yang bisa tuk menambah umur ataupun mengurangi umur kalo sudah ditentukan umur kita olehNya...*ngeless* :-)

buwel mengatakan...

memang dilematis neh roko... duh gimana ya penyelesaian bijaknya... ;-)

Kika mengatakan...

Rokok masih menjadi teman baik bagiku, meski ingin sekali aku ceraikan..

Anonim mengatakan...

Ira kan eks-wartawan. Jadi aku nggak kaget bahwa Ira adalah (mantan) perokok.

Menurutku, fatwa merokok itu haram tak akan berpengaruh apa-apa.

Tapi benar kata Mbak Fanda, sehat itu pilihan. Dan meskipun sakit itu datang dari Tuhan, sedikit banyak manusia berkontribusi terhadap penyakit yang dideritanya sendiri. Jadi, mau sehat itu juga pilihan.

Termasuk berhenti atau melanjutkan merokok juga adalah pilihan. Yang penting, apapun pilihan yang kita ambil hari ini, jangan pernah menyesalinya di kemudian hari. Termasuk kalau nanti kita kena kanker paru dan nggak bisa bayar obat, jangan pernah menyesal bahwa dulu kita merokok dan kita pernah menyisihkan penghasilan kita untuk membeli rokok itu.

Fairy mengatakan...

iya! suamiku itu mulai SD merokok... arghhh, tak terbayang sehitam pekat apa paru-parunya.. kalo disuruh rontgen ga mau. Takut juga kali yeee... padahal batuknya ga pernah brenti, mengidap bronchitis pula...huh! ada apanya sih rokok ini, kok bisa memperbudak orang sampai begitu..