30 Nov 2009

BEDA? BUKANKAH ITU INDAH?

Masih catatan tentang perjalanan dari Bali yang masih belum sempat ku tulis karena kondisi badan yang tidak bisa di ajak kerjasama alias saki!

Aku tak pernah menyadari bahwa aku berbeda saat datang ke Pulau Dewata hingga salah satu sahabatku mengirimkan sms, "bagaimana jadi orang minoritas". Awalnya aku tak paham apa maksud dari minoritas, karena menurutku tidak ada yang aneh di diriku apalagi aku juga di lahirkan di Pulau Dewata. Namun hal itu terjawab saat aku datan ke Soundernalin 2009, dan sepupuku bilang, "Ih....mbak ira satu-satunya yang pake Jilbab di sini". Aku terdiam. Apakah ada yang salah dengan jilbabku? apakah ini yang membuatku beda? aku rasa tidak! bagiku tidak ada minoritas dan mayoritas secara kualitas. Yang ada hanyalah minoitas dan mayoritas secara kuantitatif!



Sejak lahir aku Muslim dan sampai sekarang pun Muslim hingga aku memutuskan memakai penutup kepala yang kebanyakan orang menyebutkan kerudung. Tapi aku hidup di lingkungan yang majemuk yang mengajariku untuk bisa menerima segala perbedaan termasuk keyakinan.

Salah satu saudaraku adalah seorang Pendeta. Dan saat dia meninggal, keluargaku yang seluruhnya adalah muslim memakamkanya sesuai dengan agamanya tentu saja dengan bantuan Gereja setempat. Dan saat itulah awal aku mempelajari toleransi. Saat diadakan upacara Kebaktian oleh pihak Gereja di rumah saudaraku, keluarga besarku juga mengadakan pengajian secara bersamaan tepat di sebelahnya yaitu di rumahku. Tak aku lihat pertentangan. Mereka masing-masing khusuk dengan ibadanya. Tak ada yang mencela. Dan aku benar-benar melihat sebuah kerukunan disana.

Perbedaan semakin terasa saat mengenal pasangaku yang teryata adalah seorang Mualaf (orang yang baru saja memeluk agama Islam). Dan aku tetap bisa menerima kedua orang tua dan keluarga besarnya walaupun kami berbeda secara keyakinan. Bahkan saat mereka merayakan Waisak, aku juga ikut bergabung tapi bukan di peribadatan tapi bergabung di kunjungan silaturahmi. Bahkan setahun terakhir ini, kedua orang tuanya juga menyediakan kue dan panganan saat Lebarn Idul Fitri. Lalu apa yang dinamakan minoritas? tidak ada bukan?

Terkadang aku juga heran kenapa ada beberapa orang yang selalu mencari-cari perbedaan antara Agama ini dan agama itu. Tidak mau berkawan karena berbeda keyakinan dan menganggap bahwa dirinya adalah yang terbaik. Silahkan jika hal tersebut didiskusikan tapi hanya sebatas golongan kita sendiri tanpa harus menggembar-gemborkan di hadapan umum sehingga ada yang merasa sakit hati.

Aku jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu.

Saat itu mengikuti Sholat Id di salah satu masjid. Seperti biasanya aku khusuk mendengarkan khutbah. Namun semakin lama kupingku semakin panas. Karena isi Khutbah tersebut menghujat salah satu agama dan membeberkan pebedaan antar agama. Mungkin aku bisa mentolelir jika itu dikatakan dalam kalangan terbatas, tapi ini jelas-jelas di muka umum dan melewati pengeras suara. Aku melihat seseorang di sebelahku yang aku ketahui adalah seorang Mualaf (kita sempat ngobrol sebelum masuk ke Masjid) langsung salah tingkah. Aku langsung ingat pasanganku yang juga Mualaf yang saat itu juga sedang mendengarkan khutbah di jamaah laki-laki. Dan yang aku lalukan adalah WO alias Walk Out dari tempat dudukku karena tidak betah mendengar isi khutbah tersebut. Bahkan aku menolak saat Almarhum Ibuku menyuruhku untuk kembali duduk di tempatku. Aku memilih duduk di tangga masjid sambil menunggu sang Pengkhutbah keluar dari Masjid. Dan tentu saja di dampingi oleh Almahum Ibuku yang tau karakterku. Sang Pemberontak!

Bukan maksud melabraknya. Setelah Sang Pengkhutbah keluar aku langsung menemuinya.

"Saya Raa Pak. Saya Muslim sejak lahir dan ini Ibu saya yang juga seorang Muslim. Saya sangat menghargai anda sebagai seorang Pengkhutbah. Tapi saya rasa anda harus banyak belajar tentang toleransi"

Sang Pengkhutbah waktu itu hanya diam dan aku liat mukanya memerah dan menunjukkan ketidaksukaannya padaku.

"Terserah Bapak mau menilai saya seperti apa. Tapi Khutbah Bapak yang menyebutkan nama agama lain, menghujatnya dengan membanding-bandingkanya menurut saya sudah di luar batas toleransi. Apa bapak tidak tau, kalau beberapa jemaah bapak adalah Mualaf yang masih banyak belajar tentang agama kita?. Islam terkenal sebagai agama damai. Dan satu lagi!! Suara bapak di dengarkan lewat pengeras suara dan saya yakin kalau beberapa yang tinggal di sekitar masjid bukan hanya orang Islam bukan?. Bayangkan jika bapak berada di poisisi mereka. Kalau saya pak!!! Saya tidak akan terima jika agama saya, yaitu Islam di banding-bandingkan apalagi lewat corong suara. Tolong ngerti dong Pak" (kurang lebih seperti itu yang aku katakan)

Sang Pengkhutbah sempat membela diri, " Bukankah saya ngomong gitu di masjid. Nggak ada yang salah kan"

Suaraku langsung meninggi dan belum sempat kami berdebat panjang, Ibuku langsung menarik tanganku untuk menjauh sambi menucapkan minta maaf berkali-kali. Dan terakhir kali yang aku ucapkan adalah, "Belajar Pancasila sila 1 pak!! kalo Bapak punya KTP dan mengaku orang Indonesia".

Fuich...jika ingat kejadian itu aku sering berpikir kenapa orang selalu mencari perbedan. Bukankah perbedaan itu Indah?. Coba saja jika dunia ini hanya mempunyai satu warna saja!! Mungkin Hitam....Putih...atau Merah.....Aku yakin hidup akan kurang berwarna.

Toleransi adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktel sosial, dapat dimulai dari sikap-sikap bertetangga. Karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antar penganut keagamaan dalam praktek-praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Aku pernah mendengar kisah dalam agamaku tetang kemuliaan Rosulku Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan toleransi pada umatnya dan ini harus aku tiru

Sikap-sikap yang diajarkan dari Tuhan SWT kepada Nabi SAW tersebut wajib untuk dilakukan oleh umat Islam dalam bersikap kepada non muslim, termasuk kepada, misalnya, orang tua kita yang, mungkin, tidak seiman dengan kita. Asma RA, putri Abu Bakar RA, pernah menolak ketika ibunya, yang non muslim, mau menemuinya . Akan tetapi, ketika berita itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan Asma supaya menemui dan menghormatinya. Ketika Nabi SAW dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW langsung berdiri, memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata,
"Bukankah mereka orang Yahudi, Wahai Rasul?". Nabi SAW menjawab, "¦tapi mereka manusia juga".

Jadi, sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT. Sedangkan kita bermuamalah dari sisi kemanusiaan kita.


Bukankah Beda Itu Indah?

(Catatan ku persembahkan atas nama toleransi perbedaan. Maaf Sobat!! Jika tulisanku kali ini sedikit berbau SARA karena ku hanya ingin menuliskan isi hatiku agar hidup ini lebih rukun dan dan damai. Semoga!!)

13 komentar:

Sohra Rusdi mengatakan...

perbedaan untuk disamakan

fanny mengatakan...

salut..kamu berani melabrak dia, ra. wah, saya juga sering sebal kalo dianggap minoritas. apalagi mata saya sipit dan agama saya nasrani. padahal, teman saya dari berbagai kalangan.

Reni mengatakan...

Hebat... sang pemberontak ternyata punya idealisme yg tinggi....
Bisa aku bayangkan bagaimana muka si pengkutbah yg 'diceramahi' seorang anak muda ... *geleng-2 kepala*

BTW, sudah sehat mbak ? Maaf ya baru bisa mampir setelah sekian lama sibuk terus dg urusan kantor...

bintang mengatakan...

hhhmmm..aku salut deh sama kamu Ra..

-Gek- mengatakan...

Betul, setuju sama Mba Fanny.
Memang harus berani begitu Mbak!
(Kayaknya aliran kita sama - rebellion sejati, hihihi!)

Saya senang banget baca tulisan Mbak, sedikit orang yang sadar akan keberagaman ini. :)
Thumbs up!

Zahra Lathifa mengatakan...

siiip ra! kamu pandai memilah berbagai istilah secara proposional..kerreennn, salutt! toleransi harus tetap berjalan..jika kita ingin hidup damai..peace..:)

NOOR'S mengatakan...

Disaat kita menghadapi jurang perbedaan memang bukan seharusnya kita memperlebar jurang perbedaan itu tapi bangunlah jembatan sebagai upaya mempersempit jurang itu atau menganggapnya tak ada sama sekali..semoga cepet sehat n' keep spirit !

Seti@wan Dirgant@Ra mengatakan...

Semoga keberagaman akan senantiasa membuat kita satu

Ivan Kavalera mengatakan...

Berbeda itu indah. Dalam agama berbeda adalah Rahmat.

Maaf baru mampir. Krisis listrik kian menjadi di Sulsel. 6-9 jam perhari pemadaman bergilir.

Ninda Rahadi mengatakan...

iya mbak bener banget!!! SALUT SAMA KEBERANIAN MBAK DI MASJID!! aku juga muslim, dan ada keluargaku yang Kristiani.. baik-baik aja kok..

Yusnita Febri mengatakan...

Yup.. setuju mbak.. kita juga mesti menghormati agama lain..
kadang memang ada orang2 yg selalu saja menghujat agama lain dalam setiap tausiahnya.
Yang pasti ini Indonesia, buakan Arab atau Timteng karena di sini terdapat banyak perbedaan.

Btw salam kenal mbak..

irwan bajang mengatakan...

setujuuuuuuuuuu
setujuuuuuuuuu
hehehe

ranii mengatakan...

wah.. saia baru baca, hehehe.

tapi saia suka sekali tulisan ini! dan jelasnya, saia setuju banget

salam kenal :)