" Kapan kita akan bertemu seperti ini lagi", katamu sambil memandang langit yang sangat gelap. Dini hari adalah saat paling romantis dan aku menikmatinya. Aku berusaha menguasai perasaan.
"Sudah mendekati Shubuh lo", aku mengalihkan pembicaraan yang dari tadi tak ada ujungnya, hanya tentang malam, lagu, bintang, langit, bulan, matahari, samudra dan sepi. Dia kembali menyeruput kopi kentalnya tanpa gula yang terlihat masih panas. Aku rasa ini adalah cangkirnya yang ke lima sejak pementasan terakhir beberapa jam yang lalu.
Aku diam dan dia kembal melanjutkan pembicaraanya, " Aku tak menyangka waktu berjalan begitu cepat, tiga hari tiga malam kita berkumpul disini. Dan malam ini adalah malam terakhir kita bertemu....maaf dini hari ini", katanya membetulkan ucapannya sendiri. " Kau sudah ngantuk Raa", dia menoleh padaku
Aku menggeleng sambil membetulkan letak jaketku yang sedikit terbuka di bagian leher. Angin malam sangat dingin, aku merapatkan kedua tanganku di depan dadaku.
"Semua sudah tidur Die", ujarku sambil melihat ke ruangan sebelah yang mulai sepi. "Mungkin mereka capek sedari tadi nyanyi dan main gitar terus-terusan. Kau tau Die, aku nggak nyangka mereka adalah seniman sejati", aku mengacungkan ibu jari, "top banget, bukan seperti aku, anak kemarin sore di dunia seni".
"Kau bercanda Raa. Puisimu bagus banget. Bener-bener hidup, Jika aku boleh berkata ada nyawa di tulisanmu", Die mneyahut.
Aku tertawa sambil menutup mulutku dengan kedua tangan," Bagus apanya Die, la wong cuma tulisan jelek gitu kok. Aku bersyukur sekali rekan-rekan mau meggarapnya dalam bentuk musikalisasi puisi. Aku bangga coretanku di hargai mereka", tambahku samil memperhatikan wajah tirusnya.
Aku mengenal Die tigamalam lalu, saat pembukaan Diklat Cipta Karya Sastra, saat aku merasa bangga berkumpul dengan para seniman terutama dengan sosok Die, seseorang yang menarik perhatianku sejak petama. Dan aku tak tahu apa mungkin karena kesedehanaannya? atau karena jarangnya ia bicara?
" Kau mau kopi Raa?", katanya menawariku. Aku menggelengkan kepala. Kopi selalu embuatku eneg. Dia melanjutkan perkataannya, " Jika kau mau aku akan menyeduhkannya, kalau tidak ya nggak apa-apa". Dia berhenti sejenak.
" Kau percaya Raa jika aku katakan Kopi adalah teman yang paling setia yang menmanimu setiap waktu, tengah malam, pagi hari, siang hari, dan pada seiap waktu yang diciptakan Tuhan untukmu. Cobalah belajar untuk menikmati setiap riaknya yang muncul. Riak hitam dengan aroma yang mmapu membuatmu kamu terbang. Kopi adalah jembatanku untuk menuju dunia maya yang disana ada sepotong keindahan yang tak ada di dunia maya"
Dia menyorongkan cangkirnya dengan isi separuh, "Cobalah...ini bukan narkoba dan bukan racun. Namun kau perlu tau aku pasti ada dalam setiap cankir kopi yang kau temui". Aku menggeleng dan dia tetap memaksaku. Dengan barat hati aku menyentuh sedikit bibir cangkir itu. Mungkin hanya satu tegukan cairan hitam itu meleati kerongkonganku.
"Aku tahu bahwa kau butuh secangkir kopi untuk menyelesaikan petualanganmu, seperti kau butuh aku bukan", lanjutnya tanpa ekspresi sambil menghabiskan sisa kopi di cangkirnya dengan sekali teguk.
Mukaku memerah. Petualangan...petulangan macam apa? Petualangan mencari cinta? Mencari laki-laki? Jatuh pada satu persatu pelukan laki-laki namun menolak disebut Lonet? Bukankah aku hanya mencari kebahagian dan hanya membiarkan mereka melumat bibiku tanpa harus merusak keperawananku?. Sebuah analisis yang cukup indah. Petualangan....analog yang tepa untuk kehidupanku. Tapi semuanya hanya berhenti pada stimulus respon.
Aku tetap diam dan Die kembali melanjutkan ucapannya, "Aku sebetulnya butuh kau Raa. Tapi waktu terlalu cepat menemukan dan memisahkan kita. Dan aku benci itu"
Dia berdiri kemudian membelakangiku tanpa memberikan kesempatanku untuk berbicara, " Aku harus pergi Raa. Tidurlah besok kamu harus pulang ke kotamu kan?. Aku juga ingin istirahat dan berbincang sendiri dengan kopiku. Maaf ya", Die mengerlingkan mata sambil tersenyum dingin. Dan aku tergagap tanpa berkata apa-apa. Akhirnya Die melangkah keluar menuju bangku yang terletak di halaman depan setelah mampir sebentar di meja dekat pintu untuk mengisi kembali cangkir kopinya.Aku tahu dia tak mau di ganggu. Aku melangkah gontai enuju kamar tanpa ada ucapan selamat malam atau ciuman ringan di kening seperti yang aku harapkan. Die...sebetulnya aku ingin terus bersamamu sambil menikmati lahirnya kembali matahari. Sebelum aku melankah ke dalam kamar, aku sempatkan melihat Die duduk di bangku sendirian membelakangiku sambil memegang secangkir kopi yang kepulan asapnya bisa kulihat dari tempatku berdiri. Pagi mungkin akan singgah sebentar lagi, dan aku tak menemukan dia lagi.
Perekbunan Kali Bendo, 31 Agustus 2003
" Jam berapa sekarang?", aku beranya pada Yudi yang sedang berdiang di depan api unggun. Dia mengangkat pergelangan tangannya. " Jam 1 kurang 15 menit. Kenapa Kak?".
Aku mengangkat sedikit bahuku, Perjalanan malam sudah siap?. Jangan upa siapkan rute dan penerangan. Aku tak mau pelantikan anggota Pecinta Alam malam ini gagal. Medan ini sangat sulit. Apalgi mereka masih pemula", ucapku sambil melihat data peserta pelanikan malam ini. Rata-rata mereka masih SMA. Dan anganku kembali pada 7 tahun lalu. Aku seperti mereka tapi lebih sedikit overdosis sehingga aku terbentuk seperti sekarang Liar, bebas dan sedikit keras kepala. Aku menghela nafas. Tapi aku tetap merasa kesepian.
"Mau kopi Kak"
Aku mengangguk tanpa sadar dan tiba-tiba,"Kopi?", gumamku sendiri. Bukankah disana ada kamu Die. Kenapa nama itu selalu lekat di benakku.
Yudi datang membawakan kopi panas di cangkir plastik, "maaf kak. Gelas kacanya abis". Yudi kemudian meninggalkank sendiri dengan secangkir kpi dihadapanku dan bergabung dengan panitia untuk breafing. Aku tak berminat bergabung dengan mereka. Ini acara mereka dan aku hanya mantan senior mereka yang dibantu untuk memberikan materi survival. Sempat aku bertanya kenapa harus aku yang memberi materi ini. Dan mereka menjawab, karena aku adalah wanita yang mandiri. Lalu apa hubungannya antara survival dan mandiri.
Kopi di depanku masih mengepulkan asap dan aromanya menusuk hidungkun. Hangat terasa. Aku tersenyum sendiri. Kopi ini kembali mengngatkanku pada Die. Sambil memejamkan mata aku mencoba menikmati sensasi cairan hitam yang tak pernah melewati tenggorokanku. Dan aku menikmatinya. " aku disana raa, ada dalam setiap cangkir kopi", dalam bayangku terasa Die menemaniku malam ini dan kembali bercerita tentang malam, bintang, bulan, dan juga segelas kopi ini. Sensasi baru kurasakan malam ini sama seperti saat aku menemuimu meminum segelas kopi/ Die....lirihku. Semoga ini bukan cinta. Aku ing mempelajari kinesik wajahmu.
Tangerang, 3 Desember 2003
"Inilah rumahku yang sederhana", Bintang merentangkan tangannya lebar-lebar, "Semoga kau betah disini Raa". Cukup nyentrik untuk pandangan orang awam tapi bukan untuk seorang seniman yang melukis wanita setengah telanjang di didinding kamar tamunya. Aku tertawa sambil meninju bahunya perlahan, " Hanya sementara, bukan untuk tinggal. Petualanganku akan terus berlanjut. Petualangan mencari cinta", atau melupakan cinta, lanjutku dalam hati.
"dan semoga kau tak lagi bertualang dengan laki-laki. Kapan kau mau bercinta denganku?. Bukankah aku juga laki-laki?"
"Gila..aku nggak mungkin pacaran dengan sahabatku sendiri. Dan catatan buatmu!!!! Bukan bercinta, karena aku masih cukup suci untuk menikah dengan lelaki impianu"
"Lelaki impain seperti apa Raa. Dan aku masih heran jaman gini masih ada gadis suci. Apakah kau masih perawan Raa....?", Bintang terbahak-bahak sambil memepersilahkanku duduk di sofa buntut diujung ruangan. Bintang, sahabatku ini memang seniman gila, berkata apa adanya dan selalu berpikir prastis. aku hanya menggeleng dan mengangkat bahu sedikit, " kau tak menyuruhku istirahat. Aku lebih memilih di rumahmu dari pada harus tidur dihotel. Disini lebih bebas karena aku punya teman diskusi gila seperti kamu"
Bintang menyilangkan tangan di depan dada, "Maakan hamba puteri. Silahkan ini kamar anda," jawabnya sambil menirukan gaya-gaya pembatu di negara eropa. "Kau mau kopi Raa? biar sedikit menghilangkan capekmu"
Aku mengangguk dan membiarkan bintang ke belakang dan aku yakin sebentar lagi dia pati datang dengan secangkir kopi untukku.
" Die kenapa aku tak bisa melupakanmu. Jarak ini terlalu jauh tapi aku tak bisa menjauhkan rasa cinta yang datang sangat singkat saat itu", keluhku. Setelah meletakkan tas dalam kamar aku kembali ke ruang tamu sambil memperhatikan lukisan-lukisan karya Bintang.
"Raa...ini kopinya", Bintang mengulurkan cankir yang berbentuk payudara wanita smabil tertawa. Senyumku merekah melihat kegilaannya. "Ini pelecehan....", ucapku datar. Tak bisa ku sembunyikan rasa masgul saat melihat asap mengepul dari cangkir antik itu. Die....dimana aku harus mencari kamu.
Monas, 4 Desember 2003
Langkahku terasa ringan melangkah mengelilingi taman monas. Sore di pelataran monas memang menyenangkan. Aku mendongak ke atas. Warna emas kontras dengan langit yang sedikit gelap dengan merahnya mega. Sebentar lagi malam akan datang.
Aku duduk di rumput di bawah pohon yang aku rasa cukup sepi untuk menikmati senja di bawah monas. Tiba-tiba seorang bocah perempuan berlari-lari menujuku sambil membawa tas besar. Dia terlihat semakin kecil.
"Kak, mau beli apa? Ini ada kacang, roti, kue, atau kakak mau kopi? Campur susu juga ada llo kak", katanya lincah sambil mengeluarkan termos kecil dalam tasnya.
Kenapa kau terus mengikutiku Die. Tanpa berkata apa-apa lagi gadis itu langsung membuatkanku kopi dalam gelas plastik, "Pake susu kak?". Aku menggelengkan kepala dan memberikan selembar lima ribuan, Aku tolak uang kembalian dan senyum gadis kecil itu semakin mengembang sambil mengucapkan ribuan terimakasih. Segelas kopi kembali ada di depanku. " Die...kenapa kau selalu ada dalam segelas kopi?"
Kaki ku tekuk dan kutopangkan daguku di atas lutut sambil memandang riak kecil hitam yang tepat menyentuh pinggir gelas. Asapnya membumbung semakin lama semaki menepis. Aromanya sedkit berbeda dengan kopi yang di tawarkan Die malam itu. Yang jelas warnanya tetap hitam, mungkin juga sama seperti semua laki-laki yang ada. Entah berapa lama aku terduduk disini memainkan anganku tentang Die, laki-laki yang aku temui hanya pada 3 malam beberapa bulan lalu. Tersadar gerimis mulai turun dan aku meninggalkan segelas kopi itu tanpa ku sentuh sedikit pun. Biarlah Die tertinggal disana.
"Semoga ini awal dari mimpi dalam dunia ada dan tiada. Jangan pernah kau bangunkan aku hanya dengan segelas kopi di pagi hari", Kata-kata itu terus terngiang di benakku. Kata yang di uacpakan Die beberapa bulan yang lalu. Die....aku sadar telah jatuh cinta pada kamu.
Depan Plaza Indonesia, 4 Desember 2003
Setelah semua berkas data laporanku ke direksi telah lengkap
Setelah semua berkas data laporanku ke direksi telah lengkap
22.55 pm "Aku jatuh cinta, Bintang", percakapanku mulai dengan Bintang setelah beberapa hari dia menghilang tanpa alasan yang tak masuk akal. Mencari inspirasi katanya dan membiarkanku menempati rumahnya seorang diri sambil menyelesaikan data peliputan dari kantorku.
"Jatuh cinta? Pada siapa Raa. Hebat banget, hari gini masih ada orang kaya lu yang cuek, sok jaim, terasing, yang aku kira cuma bisa jatuh cinta ama buku ama gunung. Gue tau lu banget Raa. Walaupun gue tau lu sering gonta ganti cowok tapi gue ngerti kalo lu tuh cuma iseng. Mereka kan cuma jadi eksperimen lu untuk di jadikan objek tulisan bukan?", Bintang menepuk pelan pipiku sambil mengambil posisi duduk di sebelahku
"Siapa cowok yang bisa bikin lu jatuh cinta?"
"Sama itu", aku menunjuk segelas kopi yang di pesan Bintang pada pedagang asongan. Bintang melongo dengan bibir sedikit terbuka, " Gue kira gue udah yang paling gila. Ternyata lu lebih gila dari gue"
" Namanya Die...dia yang mengenalkanku dengan segelas kopi. Hingga aku jadi seperi ini. Menjadi yang berbeda. Aku sudah tak lagi berganti-ganti pasangan, dan lebih memilih peliputan luar kota untuk menghilangkan rasa kesepian. Dan aku sampai di sini dan duduk bersama kamu hanya untuk melupakan dia, selain tugasku dari kantor. Dan ternyata aku tak bisa", aku menunduk, "Dimana aku berada di situ selalu ada segelas kopi. Dan aku selalu ingat pada Die".
"Kau menangis Raa", selidik Bintang sambil menyingkap rambut yang kubiarkan menutup separuh wajahku. Bahuku terguncang dan aku langsung memeluk bahu Bintang. Beban itu langsung keluar lewat tangisan. "Bin.....aku tak bisa melupakan dia. Perkenalan kami begitu singkat. Dan sekarang aku tak tau harus menemui dia dimana".
Bintang diam sejenal dan langsung menggenggam tanganku, "Raa, walaupun gue kagak ngerti agama tapi guwe paham kalau Tuhan itu kasih jalan yang terbaik buat kita. Dan mungkn Die itu bukan yang terbaik buat lu. Cinta akan datang pada saat yang tepat. Lu kudu percaya dengan kata-kata gue".
Aku melepaskan pelukanku, "Tapi ini pertama kalinya aku jatu cinta Bin. Jatuh cinta selama 25 tahun. Benar-benar jatuh cinta. Ini bukan cinta main-mainan seperti yang lain"
Bintang tersenyum, "Gue sahabat lu yang paling tau kalo lu itu Dewi Fortuna yang selalu beruntung. Siapa tahu dia tiba-tiba datang dan menghubungi lu"
"Nggak mungkin Bin...dia tak meninggalkan alamat atau nomer telpon di panitia. Dan dia juga nggak pernah tau nomer hpku"
"Tapi setidaknya dia tahu kau bekerja dimana kan? Percaya Raa...kalau Tuhan itu ada. Cuma dia yang bisa bola-balik isi dunia"
Tiba-tiba nada pesan dari ponselku bunyi. Dan dengan malas aku membukanya. Nomer baru? tanyaku. " Kamu kenal nomer ini". Bintang menggelengkan kepala. Aku adalah sebagian orang yang malas dengan nomer baru yang masuk di ponselku.
Aku membukanya perlaan dan tiba-tiba malam ini terasa terang dan beban di dadaku langsung hilang. Bulan seakan-akan tertawa tergelak-gelak melihat semu merah di pipiku. Bahkan air mancur di bundaran HI yang mencil sekan mengeluarkan kembang api yang menandakan sebuah pesta.. "Dari Die....." lirihku sambi mengulum senyum
" Apa katanya?" Bintang langsung merebut ponsel dari tanganku. Aku tersenyum-senyum sendiri seperti gadis muda yang jatuh cinta. Dan ini cinta pertamaku. " Raa...semua kopi di dunia sama berwarna hitam. hanya pengalam jiwa yang mampu membedakannya dan aku butuh kamu untuk menemaniku minum kopi setiap pagi" +628124918008
"Bintang.....", kataku perlahan, "Aku telah menemukan cintaku dan aku yakin aku tak perlu lagi paranoid terhadap segelas kopi"
"Bukankah cinta datang pada saat yang tepat" Bintang mengerlingkan mata kepadaku.
Secara refleks aku langsung memesan dua cangkir kopi pada ibu pejual asongan yang duduk di sebelahku. Malam merangkak semakin tinggi menuju bulan yang sedang bersinar terang. Bundaran HI bagaikan taman indah yang hanya berisi aku dan secangkir kopi..
"Kopi ini akan terus bercerita tentangmu Die.....walau mungkin aku tak bisa menemukan jiwamu disana"
Die
Cinta ini terlalu dalam Raa. Sekian waktu aku masih menanyakan apakah aku jatuh cinta padamu. Setelah gadis yang sangat aku cintai pergi bersama Tuhannya. Dan gadis itu muncul padamu. Dan aku mempertanyakan apakah aku mencintaimu karena kau seperti gadisku? Ternyata tidak Raa. Aku benar-benar mencintaimu. Mencintai Raa dan akan melupakan Gadisku. Tunggu aku Raa....aku akan segera menemuimu.
Catatan kecil untukmu inspirasiku: Apakah mungkin kita bisa menikmati kopi bersama?
8 komentar:
Hanya catatan kecil yang paling bawah yang mampu kuselami.
Tak mampu lagi menyelam lebih dalam, apalagi belum juga nyampe ke Plaza Indonesia. takut kelelep. hehehe......
wew..... jatuh cintanya sama kopi bukan ya? ternyata jatuh cinta sama kopi to?
baca cerpen ini sambil nyeruput kopi...
hhmmmm.....
pas kopinya!...
:)
Ini catatan kisan cinta masa lalu ya?
Jika dia membaca ini, mungkin bisa menikmati minum kopi bersama
wah, diary pribadi nih kayaknya.
Sama kayak Sang cerpenis. Kisah pribadi ya Ra ?
gambar dan coretannya indah maksudnya tulisannya
Secangkir minumuman yang sempat terlarang...
Posting Komentar