Jakarta, 3 april 2009
Sejak pertama membaca judul film itu rasa penasaranku langsung keluar hingga akhirnya aku bias menlihat film tersebut. Seperti The Note Book, Novel Tanpa Huruf R, Laskar Pelangi dan Perempuan Berkalung Surban, Jamilah dan Sang President berhasil membuatku larut dalam sebuah kenyataan yang tidak pernah kita sadari jika keberadaannya ada di sekitar kita,
Perempuan….selama ini selalu menjadi bagian masyarakat yang termarjinalkan. Dan itu juga di alami tokoh Jamilah. Jamilah yang mengaku sudah menjadi seorang pelacur sejak dia berada dalam kandungan. Jamilah, gadis kecil yang mempunyai kemauan keras untuk bersekolah tapi harus rela diperkosa oleh bapak dan anak dari keluarga terhormat yang mengangkatnya menjai anak asuh. Jamilah, gadis kecil yang membunuh bapak angkat dan anak laki-lakinya saat belum mengetahui arti kebenaran dan kesalahan hingga ia harus hidup dilembah prostitusi. Jamilah, tumbuh menjadi gadis dewasa yang aktif di lembaga swadaya masyarakat yang intens terhadap penjualan dan pelacuran anak di bawah umur dan rela ke Borneo untuk mencari adiknya, Fatimah yang mati karena dipaksa memakai narkoba saat melayani pelanggannya. Jamilah, gadis prostitusi yang membunuh seorang germo yang telah mengambil paksa nyawa Fatimah. Jamilah, tumbuh dewasa dengan segala masa lalunya termasuk menjadi wanita simpanan seorang menteri yang menolak menikahinnya. Dan akhirnya, menteri tersebut bernasib sama dengan bapak angkat dan anak laki-lakinya. Bernasib sama dengan fetus dalam rahim yang mati di tangan Jamilah.
Jamilah……perempuan dewasa yang berani mempertanggungjawabkan semua yang telah ia lakukan dengan menyerahkan diri ke penjara tanpa mau di dampingi seorang pun pengacara. Dalam penjara, Jamilah hanyalah seorang manusia biasa yang terdiri dari kulit, daging, tulang dan perasaan. Sedangkan di luar tembok yang mengukung Jamilah, bagian masyarakat dengan menggunakan symbol agama mengecam tindakan Jamilah, seorang pekerja seks komersial yang membunuh seorang menteri dan mendesak agar Jamilah segera dihukum mati. Sebuah kecaman yang dpolitisir……Sedangkan masyarakat kelas bawah hanya bisa berharap agar ada sebuah keadilan untuk seorang Jamilah yang maju di pengadilan tanpa mau didampingi oleh seorang pengacara ataupun keluarga. Hanya sebuah cinta yang terpendam dari seorang Ibrahim, perhatian dari Surya, sipir yang diusir karena membelanya, penyesalan dari Ria,, kepala Rutan yang mendampingi di saat terakhir, doa dari Susi pekerja seks komersial sahabat Jamilah, dan harapan dari perempuan-perempuan di seluruh dunia. Hanya itu yang tersisa. Hanya satu yang bisa menyelamatkan Jamilah, hak preogratif sang Presiden tentunya selain campur tangan Tuhan.
Ditengah-tengah cerita aku berharap agar hak yang dimiliki oleh sang president dapat menyelamatkan Jamilah untuk mendaptakan sebuah keadilan saat di sidangkan tanpa Jamilah harus duduk di kursi pesakitan. Tapi ternyata-hal yang aku benci untuk diceritakan-. Sang President sama sekali tidak berbuat apapun untuk menyelamatkan seorang PELACUR……Huh…..aku benci. Seharusnya sang pemimpin mengayomi rakyatnya walaupun dia adalah seorang pelacur. Bukankah Jamilah adalah manusia yang mempunyai hak untuk menentukan hidupnya?. Kenapa hidup dan matinya ditentukan oleh seorang Hakim?
Sepanjang akhir film, pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul. Hingga akhirnya aku sadar bahwa ini hanyalah sebuah film. Tapi bukankah di luar sana masih banyak Jamilah-Jamilah yang teraniaya dan butuh pertolongan?. Kenapa masyarakat selalu menyalahkan “Jamilah seorang Pelacur”?. Bukankah para pejabat, alim ulama, tokoh masyarakat bahkan seluruh umat bertanggung jawab atas pilihan yang diambil Jamilah saat menjadi pelacur dan seorang pembunuh? Seandainya Jamilah tidak dijual oleh bapaknya, seandainya Jamilah tidak ikut di keluarga terpandang untuk bersekolah, seandainya Jamilah tetap menjaga Fatimah, seandainya sang menteri mau menikahi Jamilah, seandainya sang presiden mau memberikan sedikit waku pada Jamilah. Mungkin kisah ini tidak akan pernah ada.
Seandainya semua orang mampu memnghargai perempuan dan menempatkan diri pada porsinya masing-masing. Pasti tidak akan ada budaya patriarki yang meraja lela. Huh….aku benci pada ketidak adilan. Tapi apakah posisiku sekarang aku bukan bagian dari kemarjinalan?......Aku tak tahu…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar