15 Jan 2018

Ijen itu Gunung. Titik tanpa perlu ada koma apagi tapi






Ijen 

Akhir pekan ini saya memilih bergabung dengan mereka membuka tenda di Paltuding Ijen. Setelah melakukan perjalanan penuh drama mulai kegiatan pagi sampai jelang malam. Dan saat berangkat jam 9 malam kehujanan dan harus berhenti di Tawonan hingga tepat tengah malam dan baru sampai Paltuding sekitar jam 1 dini hari.

Tolong biarkan saya membandingkan Paltuding sekarang dan sebelum tahun 2000 an. Malam itu saya cukup kaget dengan keadaan Paltuding yang cukup riuh. Parkir motor mobil berantakan, kemah pun didirikan asal, semacam tanpa aturan. Sangat ramai semacam pasar malam. Tapi saya merasakan tidak ada kontrol sama sekali. Semua semacam sesuka suka hati

Kami pun mendirikan tenda tepat didepan toilet baru yang didirikan. Semakin malam toilet itu semakin penuh. Rombongan yang baru datang dan akan mendaki juga semakin bertambah banyak. Keriuhan semakin terasa. Jauh dari rasa sunyi yang saya rasakan satu jam sebelumnya saat berteduh di Tawonan.

Saya sempat berkeliling di wilayah Paltuding. Ada beberapa orang yang sudah lanjut usia merencanakan mendaki dengan berkelompok. Saya sempat melirik, sepatu, masker yang digunakan jauh dari standart aman. Belum lagi segerombolan anak muda yang dari bahasanya saya hanya ngelus dada. Bahasa bahasa meremehkan, merendahkan alam. Ketika seseorang pemandu menawarkan masker khusus dan mengingat kan diatas bahaya, si bocah itu dengan songongnya bilang, "ah sebahaya apa sih. Emang bisa mati cuma karena naik ke gunung. Kalo iya pingin lah mati diatas sana" celetuknya. 

Saat itu saya ingin komentar woi baca berita minimal searching di google. Betapa ancaman itu selalu ada. Tapi entah malam itu saya agak sedikit melow dan malas berdebat. Saya melirik. Kaos Oblong, sandal jepit dan hanya menyiapkan masker yang harga 2 ribuan. Dalam hati saya berdoa semoga selamat saja nih bocah.

Ternyata malam itu tidak semua rombongan kami memutuskan untuk naik keatas, termasuk saya yang sejak awal memang tidak ada niat untuk mendaki. Hanya bagian kecil yang naik. Alasan sederhana karena cuaca sangat-sangat tidak bagus. Langit gelap. Sama sekali tidak bintang. Hawa dinginnya juga terasa beda. Kami yang memilih tidak mendaki kemudian melanjutkan tidur di tenda.

Benar. Pagi hari. Kabut gelap dan tebal. Kami memilih ngobrol saja sambil ngopi didepan tenda kami. Menunggu rombongan yang mendaki turun. Saya menyempatkan diri berkeliling di sekitar Paltuding dan banyak sekali hal hal yang mengernyitkan dahi. Jika memang ada rencana untuk membangun pendopo di Puncak Gunung Ijen, mengapa tidak memperbaiki saja bagian Paltuding. Mengatur pengelolaan sampah. Menambah petugas untuk pelayanan dan pengamanan. Menata kembali titik titik kumpul, memperbaiki toilet dan menjaganya. Menyediakan camping ground yang memadai. Menata warung warung agar lebih rapi dan juga menata parkiran agar tidak kesana kemari. Mungkin itu lebih bijak, walaupun sampai detik ini saya tetap meyakini bahwa Ijen bukan tempat wisata massa.

Saya ingat ketika saya malah geleng geleng kepala ketika datang ke Tangkuban Perahu. Saya bisa menyaksikan kawah dengan naik mobil ke atasnya. Karena selama ini bagi saya mendaki gunung itu ya butuh perjuangan Tapi, bukankah setiap gunung memiliki karakter nya masing masing. Ijen tentu berbeda dengan atau Tangkuban Perahu, beda ddengan Sinabung atau Gunung Agung.

Dan buat saya konyol saja jika semua diseragamkan .

Lalu? Akhirnya Kita melipat tenda dan pulang sebelum siang.

Memang tidak ada hal khusus yang dilakukan. Hanya kumpul ngobrol dan ketawa ketawa. Tapi tidak bagi saya yang lebih mencari "feeling", tentang bagaimana Ijen yang sekarang, ketika gencar pembangunan pendopo di puncak Gunung Ijen yang mendapat penolakan dimana mana. Tentang bangunan bangunan yang mulai di dirikan di Paltuding

Ijen memang harus segera diselamatkan. Bukan karena pendopo nya, bukan karena cable carnya tapi tentang skenario besar setelahnya. Ini tentang keseimbangan alam Bung, bukan melulu tentang pariwisata dan nilai ekonomi untuk masyarakat.

Saat kami ngopi di Tawonan. Berita duka berkabar dan pesan di WhatsApp.

Raa. Ada korban lagi di Ijen. Meninggal pagi tadi.

"Korban dr. Budi Raharjo, SpRM (mantan dir RSUD Soebandi Jember). Korban diketahui berhasil naik sampai puncak dan turun ke Kawah. Lalu pingsan dan dievakuasi. Sampai di Paltuding menurut keluarga, korban sudah meninggal namun sempat dibawa ke Puskesmas Licin. Pada pukul 06.55 setelah diperiksa petugas, korban sudah meninggal. Info dari keluarga, korban mengidap penyakit Asma"

Dan saya menghela nafas berat. Semalam, saya sempat baca di loket masuk, untuk penderita asma dilarang melakukan pendakian. Dan jika benar korban memiliki catatan riwayat Asma, maka pengawasan ketat memang perlu segera dilakukan terutama di pintu masuk jalur pendakian. Bukan hanya sekedar beli tiket lalu boleh mendaki. Dan ini adalah kesekian kalinya saya mendengar kematian di atas Gunung Ijen.

Lalu Toni berkata bahwa dia sempat mengabadikan saat korban diturunkan ke Paltuding pagi tadi. "Sekaken yo mbok," katanya sambil menunjukkan foto seorang lelaki sepuh dievakuasi turun menggunakan troli.

Dan akhirnya sampai menunggu berapa korban lagi? Stakeholder harus segera ambil sikap. Segera.

Gunung Bukan Pasar Malam. Ijen itu artinya sendiri, bukan beramai ramai.

Sendiri, tempat orang menyepi dan berbicara dengan dirinya sendiri. Tentang pembuktian Sidopekso yang setia pada kerajaan nya dengan mengambil emas di puncak gunung, sedangkan istrinya, Sritanjung diganggu oleh rajanya. 

Ijen adalah tempat Sidopekso berdialog dengan dirinya sendiri, atas tugas negara, setia pada raja dan kecemburuan membabi-buta pada Sritanjung, istrinya.

Ijen itu Gunung. Titik tanpa perlu ada koma apagi tapi

Banyuwangi, 12 November 2017

Tidak ada komentar: