5 Jun 2017

Mbak Maya

Foto Iraa Rachmawati.
Dia bukan orang lain bagi saya. Rumah mbak Maya bagi saya semacam tempat yang nyaman untuk pulang. Ketika saya bisa menjadi diri saya sendiri. Bisa bercerita apa saja atau sekedar numpang tidur berjam jam, makan lalu pulang.
Pada mbak Maya saya belajar untuk tidak menghakimi keputusan orang yang berseberangan dengan pemikirian kita. Pada mbak Maya saya belajar untuk menerima siapapun mereka yang datang ke rumah kita. Melayaninya dengan hati dan menganggap siapapun yang datang sebagai bagian keluarga. Menghadapi masalah dengan tertawa. Berbaik hati dengan semua orang yang ada disekitarnya.
Pagi di rumah mbak Maya adalah pagi yang hangat dan sibuk. Siang di rumah mbak maya akan selalu ada dapur yang selalu menyala apinya walau sekedar membuat kopi dan menghangatkan kuah bakso. Malam di rumah mbak maya adalah ketenangan luar biasa yang jarang didapatkan di tempat lain. Selalu ada tawa dan banyak cinta disana.
Saat saya tanya apa harapan Mbak Maya di usianya yang ke 40. Dengan tertawa dia bilang hanya ingin semakin banyak orang yang mencintainya. Harapan yang tidak muluk muluk dan saya mengaminkan dengan khusuk.
Mbak Maya adalah salah satu orang terpenting dalan kehidupan saya. Dan selalu bangga mengenalkan dia kepada orang lain sebagai keponakannya yang tiba tiba saja datang dan hilang.
Iya. Jarang ada yang tahu jika seharusnya saya mengambil dia tante, bu lek, bibi ataupun panggilan sejenisnya. Ketika bapak mertua Mbak Maya dan kakek saya adalah kerabat. Saya yang sampai sekarang masih cium tangan ke Mas Djoko ketika pamitan pulang karena ibu saya mengajarkan demikian sejak saya masih kecil. Sangat kecil bahkan.
Buat saya seberapapun usia mbak Maya maka saya akan tetap memanggilnya mbak. Bukan teteh seperti panggilan akrab dari daerah asal Mbak Maya yaitu Cianjur. Sejak pertemuan pertama kami di Bali beberapa tahun yang lalu setelah kami hanya saling mendengar nama masing masing bertahun tahun.
Sejak saat itu saya meyakini kami akan berteman baik karena mbak Maya adalah orang baik. Kami yang kemudian sama sama memutuskan pulang ke Banyuwangi dan hidup di sini. Mbak Maya yang memutuskan tinggal di darat dan saya memutuskan untuk menetap.
Mbak Maya dulu adalah pelaut. Dan akhirnya saya meyakini pelaut yang handal tidak dibentuk oleh laut yang tenang. Mbak Maya telah membuktikannya.
Selamat bahagia Mbak Maya. Tidak usah risau jika posisi hidung tidak pas saat di foto. Tetap banggalah dengan lengan yang kekar. Tidak perlu diet untuk mengembalikan baju ke ukuran S. Mari kita gendut bersama sama ketika tetelan bakso masih terasa nikmat di mulut
Bahagia dengan mas Djoko dan saya meyakini akan semakin banyak yang akan mencintai kalian berdua. Tuhan akan melindungi kalian berdua.
Jadi kapan ditraktir pizza lagi?

Tidak ada komentar: