18 Feb 2014

TENTANG RAA TENTANG TATOO




"Tatoo kamu keren mbak"

Saya meringis sambil memperlihatkan lukisan tangan hasil dari Mbak Tarhami beberapa waktu yang lalu.

"Lambang apa mbak?"
"Matahari. Amour Raa. Kan aku matahari"
"Ahh matahari nggak asyik mbak. Sendirian terus"

"Biarin, tapi kan bermanfaat bagi umat," kataku membela diri.

Panggil saya Raa.

Walaupun saya punya nama kecil Ira. Saya pernah membaca sebuah buku kuno yang menjelaskan jika Ira dalam bahasa Ibrani berarti "menunggu". Saya menekuk wajah dan protes kepada ibu. "Adek nggak mau jadi penunggu".

"Itu kan cuma satu arti dek. Dalam bahasa Sansekerta Ira artinya bergerak. Tapi ibu kan ngambil dari kosakata namamu Rachma"

"Raa aja ya bu. Nggak pake huruf 'I' di depannya. Artinya bagus Matahari. Dewa Raa. Dewa Matahari"

"Suka-suka kamu dek"


"Tapi ibu tetap panggil adek ya? Adek lebih suka," kataku saat itu sambil ndusel di bawah ketiak ibu. Aroma tubuhnya yang selalu saya rindu bahkan sampai malam ini.

Panggil saya Raa. Saya Matahari tidak peduli banyak yang bilang matahari itu sendiri, matahari itu panas, matahari itu egois. "Kalau lihat matahari itu buta Raa"

"Itu kalau kamu melihatnya dengan mata telanjang, dodol!," kataku suatu waktu dalam obrolan ringan di warung kopi.

Panggil saya Raa. Sebagai matahari bukan sebagai penunggu. Tapi kata "menunggu" semacam sebuah kutukan bagi saya.

Berjam-jam bagi saya sudah menjadi terbiasa. Memperhatikan detik-detik jarum yang bergerak. Seperti malam ini menunggu agar segera pagi. Yang artinya saya sudah melewati hari ini.

Maka panggil saya Raa. Ketika saya memutuskan melukis simbol matahari di tangan kiri saya.

Panggil saya perempuan matahari dan dia laki-laki hujan. Benar kan? Mana mungkin kami bisa menyatu apalagi berpeluk?

Maka panggil saya Raa. Perempuan matahari.

“If you are cold, tea will warm you. If you are too heated, it will cool you. If you are depressed, it will cheer you. If you are excited, it will calm you.”

Teh panas saya mendingin secara mendadak, Cinta.

Tidak ada komentar: