24 Okt 2013

MIMPI SANG PEMIMPI : CATATAN TENTANG LOKALISASI DI BANYUWANGI

: Dan Sang Pemimpi punya hak mewujudkan mimpi-mimpinya



 "Pemkab Banyuwangi melarang pendirian hotel kelas melati di wilayah Banyuwangi. Karena hotel-hotel jenis ini sering digunakan untuk prostitusi terselubung. Termasuk juga menutup lokalisasi di seluruh Banyuwangi, karena mempunyai potensi yang cukup besar menularkan HIV AIDS."

Sambutan yang disampaikan oleh Bupati Banyuwangi di sebuah acara pelatihan fotografi di pertengahan September 2013 lalu membuat saya berpikir sederhana. Melarang pendirian hotel kelas melati? menutup lokalisasi? apa iya menjamin bahwa tidak ada lagi praktik pelacuran dan menekan jumlah angka penderita HIV AIDS di Banyuwangi yang tahun 2013 sudah menyentuh angka 1557 orang?

Praktik pelacuran adalah suatu permasalahan sosial yang tidak bisa dipandang hitam putih dengan pendekatan agama atau hukum saja. Persoalan ini harus dilihat secara sosiologis dan sangat kompleks. Ketika banyak pemeritah daerah yang beranggapan bahwa lokalisasi hanyalah wujud dari pemberian legalitas terhadap praktek pelacuran dan menjadi isu sensitif bagi kepala daerah.

Di Banyuwangi sendiri ada belasan lokalisasi yang tersebar di seluruh 24 kecamatan di Banyuwangi dengan jumlah WPS (wanita pekerja seksual) lebih dari 650 perempuan. Sebut saja Gempol Porong, Bomo Waluyo, Turian, Sumber Kembang, Ringin Telu, Padang Pasir, Klopoan, Pakem, Pulau Merah, LCM, Blibis, Wonosobo dan Padang Bulan.  Belum lagi WPS-TL (Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung) yang "beroperasi" di wilayah-wilayah hotspot seperti di kampung, cafe dan tempat-tempat strategis seperti Warung Panjang yang berada di sekitar pelabuhan.


Jika Bandung punya Saritem, Surabaya ada Gang Dolly dan di Yogyakarta terkenal Pasar Kembang, maka Banyuwangi mempunyai Padang Bulan yang berada di Kecamatan Singonjuruh. Menurut Miskawi (2010)  Sejarah lokalisasi Padang Bulan dirintis dari tahun 1970-an yang dikemas warung-warung kopi, sebagai usaha di sektor informal dengan harapan agar ekonomi keluarganya bisa lebih baik. Keberadaan WPS sampai pada tahun 1974 masih belum terlokalisir dan jumlahnya semakin bertambah. Oleh karena itu, Pemerintah yang dimotori oleh Pemerintah desa setempat melembagakan pelacuran pada tahun 1984, Secara resmi keberadaan Lokalisasi tidak disertai dengan SK Bupati, tetapi bukti adanya penyuluhan, sosialisasi HIV dan klinik sebagai bukti kongkrit bahwa pemerintah Banyuwangi ”melegalkan” prostitusi tersebut. Pembangunan wisma WTS mulai pada tahun 1992, tetapi baru beroperasi secara penuh pada tahun 1994 sampai dengan sekarang.

Industri seks yang terorganisasi berkembang pesat pada jaman kolonial. Sistem perseliran untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa yang yang berkembang di wilayah pelabuhan di Nusantara yang menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.  Tahun 1650, “panti perbaikan perempuan”  atau House Of Correction For Women didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat.

Tahun 1852, pemerintah mengeluakan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks dengan serangkaian aturan untuk menghindari kejahatan akibat prostitusi. 1852 juga mengenalkan istilah wanita publik. Wanita publik dikawal secara langsung dan secara ketat oleh polisi dan wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kehatan dan secara rutin menjalani pemeriksaan kesehatan. Jika ternyata perempuan publik terjangkit penyakit, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.

Tahun 1858 disusun kembali penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri.

Termasuk juga aktivitas Pelabuhan Boom Banyuwangi yang ramai pada abad 18 hingga abad 20 yang membuat bisnis pelacuran berkembang pesat di wilayah Pelabuhan yang menjadi pusat perekonomian dan mobilitas para pendatang yang berdagang.




Maret 2013. Ratusan WPS dan Mucikari yang ada di wilayah Banyuwangi menentang penutupan lokalisasi yang dilakukan Pemprov Jatim dan Pemkab Banyuwangi. Mereka menggunakan masker dan penutup wajah untuk menutupi identitas mereka. Salah satunya Linda. "Anak saya praktek kerja lapangan di salah satu kantor pemkab. Apa jadinya jika dia tahu jika ibunya salah satu WPS yang demo di kantor tempat dia PKL. Tidak ada perempuan yang bercita-cita menjadi pelacur jika bukan karena faktor ekonomi. Apalagi tinggal di lokalisasi dengan banyak konflik. Hutang, dikejar-kejar satpol pp, pelanggan yang mabuk, kekerasan fisik dan psikis yang kami alami. Belum lagi tidak jaminan atas kesehatan kami."

Dari belasan lokalisasi hampir semuanya berada jauh dari pemukiman warga. Jauhnya lokalisasi membuat saya mengistilahkannya dengan "mengejar syahwat ke ujung bumi." Pertimbangannya tentu agar tidak mudah diakses, termasuk kecenderungan di dasarkan pada kuatnya rasa malu dan dampak negatif terhadap perkembangan lingkungan lokalisasi. Beralasan jika lokalisasi dalam pandangan umum hanya sekedar di pahami sebagai tempat mangkal resmi wanita pekerja seksual.

Yang sering dilupakan adalah lokalisasi didirikan untuk mengontrol kesehatan WPS dan juga pelanggan.  Untuk meminimalisir penyebaran penyakit kelamin termasuk juga HIV AIDS. Lokalisasi juga bisa digunakan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi sosial dengan memberikan aneka pelatihan kewirausahaan dengan harapan mereka tergerak untuk melakukan alih profesi dan mencari nafkah yang lebih bermartabat, daripada hanya sekedar menjual diri.

Menutup lokalisasi adalah kebijakan yang sia-sia. Salah satunya dalam jangka panjang penutupan lokalisasi menjadi ancaman bagi penanggulang HIV dan AIDS. Pekerja seks maupun pelanggan tidak akan pernah hilang. Transaksi akan berpindah ke area hotspot seperi jalanan, cafe-cafe dan bahkan rumah
warga di wilayah kampung. Ketika lokalisasi mempunyai aturan melarang masuk anak di bawah umur, maka saat wanita pekerja seksual menjajakan secara sendiri peluang anak bawah umur untuk menjadi pembeli semakin terbuka lebar.

Persoalan dasar yang dihadapi wanita pekerja seksual sebagai waga negara tidak terselesaikan hanya dengan ditutupnya tempat pelacuran. Karena kembali ke awal motif mereka adalah ekonomi. Dosa dan hukuman penjara tidak selalu efektif mencegah seseoang untuk melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Tuntutan hidup terkadang membuat seseorang mengabaikan konsekwensi tersebut.

Penutupan lokalisasi akan membuat HIV AIDS masuk kedalam rumah rakyat. Menyebar kemasyarakat. Di Banyuwangi data Agustus 2013 jumlah penderita HIV AIDS terbanyak adalah ibu rumah tangga dengan angka 353 penderita HIV dan 167 penderita AIDS dengan kematian 54 orang. Sedangkan Wanita Pekerja Seskual penderita AIDS 34 orang dengan kematian 10 orang. Ini hanya angka di atas kertas. Selebihnya 1 penderita mewakili 100 orang diluar yang tidak terdata

Di Indonesia sendiri perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS yang betul-betul sebagai pekerja seks hanya sekitar 17 persen,  sedang ibu rumah tangga yang terinveksi HIV/AIDS dan tidak berperilaku beresiko HIV/AIDS sekitar 70 persen. Dan fenomena ini bergeser di hampir semua wilayah di Indonesia termasuk Banyuwangi.

Saya menyebut para wanita pekerja seksual yang tinggal di lokalisasi sebagai Sang Pemimpi yang mempunyai mimpi. Mereka adalah perempuan yang mempunyai hak sama dengan perempuan lain. Mempunyai mimpi yang sama dengan perempuan lain. Memiliki akses pendidikan, kesehatan, dan juga rasa aman yang sama dengan perempuan lain.

Tunggul Herwanto Manager Program Kelompok Kerja Bina Sehat mengatakan solusi yang terbaik adalah melakukan pendekatan holistik dalam upaya pemberdayaan ekonomi, sosial dan mental spiritual mereka tentunya  tanpa melanggar nilai-nilai kemanusian.

"Mereka akan sadar dari hati kecil dan memutuskan mundur tanpa ada paksaan dari siapapun. Kembali ke hati nurani. Apapun sebutannya, wanita pekerja seksual tidak lebih sekedar predikat. Tetapi yang perlu dipahami bahwa penyandang predikat itu adalah manusia, bukan penyakit, bukan sampah. Mereka juga mempunyai hak yang sama untuk diselamatkan secara psikologis, sosiologis dan ekonomis dengan predikat baru yang aman. Mereka mempunyai mimpi yang sama seperti kita".


Lebih baik menyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan.

Membantu mereka mewujudkan mimpi mereka. Mimpi seorang perempuan yang juga manusia.
*Jurnal Strungking 4

Catatan ini saya persembahkan kepada perempuan-perempuan pemimpi. Wanita Pekerja Seksual
Kepada Ayah Ibu dan Banyuwangi
Kepada Sahabat-sahabat saya di KKBS yang mengajarkan menjadi orang yang "berguna" bagi sesama
Kepada Agen Neptunus: Lelaki Hujan yang menjadi inspirasi saya untuk terus berbagi






Tidak ada komentar: