Saya menulis catatan ini di sebuah café kecil, yang terletak
di simpang empat lampu merah. Entah kenapa saya suka café ini. Sederhana dan
tidak berwarna. Putih hitam dan abu-abu. Mendominasi. Retro. Dengan
hiasan-hiasan kuno dan kursi-kursi antik.
Musiknya pun music easy listening bukan music gedubrak gedubruk. Tempatnya
nyaman.
Saya lebih suka memilih duduk di meja panjang menghadap ke
kaca dan menatap langsung keluar. Rasanya menyenangkan melihat pengendara
dengan mimik wajah yang bermacam-macam.
Saya menyeruput sedikit kopi.
Kepala saya sedikit pusing, karena
arak beras yang saya minum upacara penghormatan arwah di Kelenteng sore
tadi. Saya memejamkan mata sebentar. Smeoga
saja kopi ni bisa mengurangi efek arak beras tadi.
Saya melepas pandangan kea rah timur. Degggh….. Jantung saya
seakan berhenti berdetak. Bulan Purnama
bulat sempurna. Warnya kuning keemasan kontras dengan langit yang hitam dengan
sedikit awan.
“Kamu adalah Purnama……”
“Mana ada… “
“Serius… sempurna”
Dan slide-slide itu berlompatan tanpa ada jeda. Seperti kran
air yang dibuka. Saya meneguk kembali
kopi pesanan saya. Gelas ke dua.
Saya pikir dengan jarak ribuan kilometer saya bisa amnesia.
Saya pikir dengan menutup akun facebook
saya bisa memutus benang merah yang menghubungan antara masa lalu dan masa
depan saya. Ternyata tidak semudah itu …..
Bulan purnama…. Berarti seusia bulan purna itu aku berada di
kota ini. 15 hari. Apakah kamu bahagia Raa ? iya saya bahagia……. Sangat bahagia!
Paling tidak saya tidak perlu menghindar dari jalan-jalan yang telah mengikat
otak dan perasaan saya dengan sebuah masa lalu. Saya harus berberbenah. Iya
betul… membenahi kehidupan saya yang sudah berantakan. Butuh sebuah keberanian
memang. Keberanian yang tidak hanya setengah-setengah. Keberanian untuk
melewati sebuah jalan-jalan yang gelap seorang diri. Mengikuti tangan Tuhan
yang akan menuntun saya.
“Ojo grusa grusu Raa…… Nanti menyesal. Ini kota kecil lo”
“Aku sudah yakin Ka, aku bukan sosialita. Aku bukan hedon”
“Nanti juga kamu akan bosan”
“Sepertinya tidak, karena aku besar di kota ini. Aku akan
segera kembali ke Batam dan kemudian menetap disini. Setahun dua tahun atau pun
seterusnya. Aku sudah capek…… aku hanya
ingin hidup tenang. Setiap aku singgah di sebuah tempat aku selalu berharap itu
adalah persinggahan terakhir. Dan di kota ini aku berawal dan di kota ini pula
aku berakhir”
Saya kembali menatap keluar. Udara malam ini dingin luar
biasa. Saya lupa menggunakan jaket. Saya
hanya bisa menyesap kopi yang sudah hangat sedikit demi sedikit. Dimanapun
berada saya selalu malas untuk pulang karena memang tidak ada yang menunggu
saya pulang. Tidak di Batam dan tidak pula di kota ini. Tapi entah kenapa di
kota ini saya tidak mempermasalahkannya, karena saya pasti pulang ke rumah ibu
saya walaupun rumah itu tetap kosong.
Saya masih menikmati bulan purnama yang sedikit demi sedikit
tertutup gumpalan awan hitam. Lalu tubuh saya bergetar hebat. Ada ketakutan
yang luar biasa. Rembulan ini sudah menyakit saya dua kali. 10 tahun yang lalu
saat saya masih menjadi mahasiswa baru dan saya mengalami patah hati untuk
bertama kali kepada lelaki pemuja bulan. Lebih ekstrim lagi…. Saya tidak mau
menginjak Banyuwangi dan tidak mau melihat bulan. Ibu saya mengalah untuk ke
Jember menemani saya di akhir pekan. Dan jika belia datang maka saya akan
menggelung di pangkuannya sambil menikmati elusan tangannta di rambut panjang
ku.
“Semakin sering kamu terluka maka kamu akan semakin menjadi
perempuan yang kuat Raa. Keris yang tajam itu perlu tempaan pandai besi dan
juga ribuan kalori panas untuk membakarnya. Dan tentu saja doa-doa yang membuat
keris itu menjadi bertuah”
Dan kali kedua adalah saat saya memuja laki-laki yang sangat
saya cintai dengan menganalogikannya dengan purnama.
“Kenapa harus purnama Nda….”
“Sederhana… karena aku Raa. Matahari”
Saya melupakan bahwa Bulan itu adalah symbol feminisme.
…… tapi untuk kali
kedua ini saya tidak perlu menina bobokkan ketakutannya. Saya berani menantang
ketakutan saya dengan menatap bulan walaupun harus membiarkan dua tetes air
mata dan merasakan kesakitan luar biasa di hati saya.
Saya menopang kepala saya dengan kedua telapak tangan saya.
Sambil memejamkan mata. Gila…. Perjalanan saya sudah luar biasa panjang dan
akhirnya mendamparkan saya di kota kecil ini. Sudah banyak ketakutan-ketakutan
yang saya lawan seorang diri.
Lalu…. Tulisan mu bercerita tentang apa Raa….?
Tidak ada. Saya hanya akan memulai kembali untuk menulis
lagi setelah off beberapa hari. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya masih
hidup.
Dari 14 pedoman hidup manusia yang say abaca di Kelenteng
sore tadi ada satu ajaran yang saya ingat
“Hadiah terutama manusia adalah lapang dada dan mau memafkan”
Lalu kenapa kamu
harus takut lagi Raa? Jika kamu menghadiahi dirimu dengan berlapang dada dan
belajar untuk memaafkan masa lalu kamu?
1 komentar:
bersantai-santai di cafe memang enak yah..
Posting Komentar