1 Mar 2012

SAAT MASYARAKAT MENG-"HUKUM" HUKUM

Gambar diambil dari sini
Beberapa hari yang lalu, Rabu, 29 Februari saya sempat terkaget-kaget saat membaca sebuah berita dari media online terkait pembacokan kepada Jaksa Sistoyo yang sedang di wawancarai beberapa wartawan selepas menjalani sidang di PN Tipikor Bandung. Jaksa Sistoyo diduga menerima uang suap sebanyak 100 juta rupiah, dari Edward, terdakwa kasus pemalsuan surat terkait pembangunan Pasar Festival di Cisarua, Bogor.

Sekelas Jaksa di bacok di pengadilan? Kenapa bukan di sawah, di kebun atau di pinggir jalan, Kenapa kok di pengadilan yang notabene adalah "rumah" mereka. Sebuah berita yang buat saya bisa masuk dalam kategori berita unik dan menarik. Sang pembacok, Dedy Sugarda beralasan jika ia membacok “Sang Jaksa”, karena sudah sangat kesal dengan menjamurnya kasus korupsi yang benar-benar membuat masyarakat sangat resah. Saya sempat membaca, Dedy Sugarda adalah seorang pengagguran yang akif di LSM (Saya bingung sendiri dengan kalimat penggangguran yang aktif di LSM. Apa artinya ya? Apakah sama dengan aktivis jalanan?).



Beda lagi dengan kejadian di sumenep beberap minggu yang lalu tepatnya Selasa, 7 Februari 2012. Moh Amin, asal warga Pulau Kangean Madura melepas puluhan ular berbisa  di Kantor Pengadilan Negeri Sumenep. Demo tersebut merupakan bentuk protes karena ia merasa di lecehkan, karena kasus gugatan sengketa tanah di pulau Kangean, di tolak pengadilan negeri Sumenep dengan tanpa alasan yang masuk akal, karena merasa dilecehkan. Dengan modal uang Rp 1.600.000, Mas Amin membeli 3 karung ular kobra beraneka ragam bentuk, panjang, dan warna.

Dari salah satu artikel yang saya baca Kasus hukum yang dihadapi M. Amin adalah persoalan sengketa tanah melawan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep. M. Amin mengklaim lahan yang ditempati sebuah sekolah dasar negeri di Pulau Kangean, Sumenep, adalah haknya sebagai anak ahli waris. M. Amin bersama sejumlah orang warga masyarakat setempat yang juga bermasalah telah mencoba berbagai upaya mediasi, tetapi tidak pernah ada titik temu. M. Amin kemudian disarankan untuk menempuh jalur hukum. Sebagai anak ahli waris, M. Amin merasa diperlakukan tidak adil dengan hasil putusan maupun dengan cara majelis hukum memberikan putusan. Selain karena tidak dihadiri oleh dirinya selalu penggugat maupun kuasa hukumnya, M. Amin merasa dipermainkan dalam sidang putusan tersebut.

Saat saya menulis catatan ini, tersenyum miris saat masyarakat sudah mulai “pintar”, dan menggunakana cara irasional saat cara rasional sudah tidak bisa menyelesaikan masalah mereka. Siapa orangnya tidak saki hati, jika melihat kasus-kasus korupsi sudah berkembang seperti jamur di musim hujan. Saat masyarakat di suguhi dagelan pesidangan yang membuat saya ingin muntah. Saat proyek bernilai miliaran sedangkan disisi lain orang miskin mati kelaparan. Saat presiden beli pesawat harga miliaran sedangkan anak-anak berangkat sekolah harus bertaruh nyawa melewati jembatan “kematian”.  Saat perempuan-perempuan harus melacur agar anak mereka bisa makan, di sisi lain para sosialita menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk sebotok kecil minyak wangi. Saya muak. Benar-benar muak. Sangat muak.

Saat saya muak mungkin saya akan marah-marah lewat tulisan saya. Lalu bagaimana orang lain melampiaskan kemarahan mereka ? apakah mereka akan menulis seperti saya? Apakah mereka akan demo teriak-teriak di pinggir jalan? Apakah corat coret tembok rumah?atau hanya diam sambil menggerutu di dalam hati?  Setiap orang berbeda mengekspresikan kemarahannya. Termasuk juga yang di  lakukan Dedy Sugarda dengan membacok “jaksa nakal”. Atau Mas Amien yang melepas ular di pengadilan. Saya bisa memastikan mereka sudah jengah saat nasib dan hukum tidak pernah berpihak baik kepada meraka. Saya sangat bisa mengerti posisi mereka.

Apakah mereka pahlwan? Bagi saya iya. Mereka adalah pahlawan. Pahlawan karena mereka memperjuangkan hak mereka walaupun dengan cara yang melanggar hukum.  Deddi Sugarda adalah seorang pahlawan karena ide dan keberaniannya yang dilandaskan oleh rasa sakit hati atas nama rakyat terhadap koruptor dan memberikan shock terapi kepada para pelaku korupsi. Dedi merupakan seorang inspirator karena belum ada yang berani melakukan hal tersebut. Tidak mustahil dia akan menginspirasi Deddi-Deddi yang lain karena keberaniannya tersebut dan saya pikir yang dilakukannya patut diacungi jempol. Tapi yang saya  dukung hanya ide dan niatnya saja tapi tidak dengan cara yang melanggar hukum.

Saya yakin, koruptor-koruptor mulai ciut nyalinya. Yakin seyakin yakinnya.

Tiba-tiba saya ingat saat saya melakukan penulisan tentang Santet Jaran Goyang. Iseng saya menanyakan ke salah satu nara sumber saya, “Kenapa orang melakukan Santet Kang?”.  “Sederhana Raa. Saat orang sudah tidak bisa menyelesaikan secara rasional maka orang akan melakukan hal-hal yang irasional”. Dan saya semakin memahami kalimat-kalimat itu.

Ya….saya merasa sebuah era baru akan muncul. Era saat masyarakat tidak lagi percaya hukum dan mulai meng”hukum” hukum dengan hukum mereka sendiri.

#tiba-tiba kepikiran untuk men-santet para koruptor# hahahahahahahahhahah



(saya ingat photo ini diambil saat saya masih aktif menjadi jurnalis di Banyuwangi. Seorang bapak tua yang antri untuk mendapatkan BLT. Beliau harus jalan kaki dan ikut mengantri berjam-jam. Saat saya tanya untuk apa uangnya, dia menjawab untuk menebus obat karena ia sedang sakit dan sisanya akan dibelikan kaca mata bekas. 2 hari kemudian saya mendengar kabar dia meninggal)

Tidak ada komentar: