21 Jan 2012

SAYA MENUNGGU DAN MENDOAKAN KAMU

Tahukah kamu…..saya menunggu kamu. Sesekali saya membuka pintu, mengalihkan pandangan dari meja, pintu, dan jendela saya yang berteralis.Tidak tahukah, bahwa saya sangat mengkhawatirkan kamu. Seperti setrika saya berjalan dari ujung ruangan ke ujung lain sambil menyapu pandangan pada sebuah photo yang saya pajang di meja saya. Photo kamu. Bagaimana kabarmu?

Sebentar saya menuju dapur sambil membawa segelas teh yang sudah dingin. Saya menyalakan kembali kompor untuk merebus air panas dan membuatkan lagi seduhan teh panas untuk kamu. Saya ingat ini adalah gelas ke tiga. Sambil menunggu air mendidih, saya menyandarkan bahu saya di tembok yang memisahkan antara dapur dan kamar .

Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah makan? Apakah kamu bermasalah dengan tenggorokan dan hidung kamu?. Tiba-tiba saya  rindu kamu. Pandanganku beralih ke dalam kamar. Kamar tidur yang masih sama. Dengan kain warna hijau yang menutupnya. Bau tubuhmu pernah melekat disana. Dan saya selalu rindukan saat-saat itu. Saat kita benar-benar menyatu. Bukan lagi sebagai dua iiwa, tapi menjadi satu cerita yang mengalir seperti air yang mengalir dari atas ke bawah, Apakah kamu tidak merindukan saat-saat seperti itu? Entah kapan terakhir aku memilikimu utuh? Apakah kamu masih mengingatnya sayang? Saat kita mencuri-curi waktu agar kamu bisa memeluk pinggulku dan mengecup sebagian keningku yang membiru. Kemudian kita tertawa smabil berbisik, “Jangan berisik”, katamu.


Tiba-tiba rasa khawatir menyergap. Suara petir menggelar tanpa hujan. Langit yang bisa saya lihat dengan mata lepas tanpa batas tiba-tiba menghitam. Kamu belum pulang?. Perasaan semakin galau. Saya segera mematikan air yang sudah mendidih dan mengambil sejumput teh dan kemudian menyaringnya serta menambahkan 3 sendok gula. Saya sudah hapal kesenanganmu. Petir dan kilat semakin keras. Saya menyibakkan rambut dan segera menuju ke dalam kamar sambil membawa segelas teh panas yang saya persiapkan untuk kamu. Hujan turun. Bukan hujan yang biasa. Butirannya besar-besar . Atap rumah seperti di hujami ribuan kerikil. Suaranya memekakkan telinga. Saya meringkuk dan menggelungkan badan seperti anjing peliharaan tetangga.  Saya butuh kamu. Sedang kamu masih belum juga datang hingga sekarang.

“Nih masih di dermaga jam 6 berangkat”

Hujan semakin menggila. Dan saya semakin meringkuk tubuh dan merasakan lutut menyatu dengan dada. Dalam hati saya berdoa pelan-pelan kepada Tuhan. Untuk menjaga lelaki saya. Saya bangkit dan melongok sebentar melalui jendela. Air di belakang rumah sudah meninggi. Pohon bergoyang kuat dan cipratan air hujan menerpa wajah saya.

“Bagaimana keadaanmu Yah?”

Tiba-tiba saya ingin berlari ke atas bukit itu. Agar bisa melihat laut lepas dan melihat kapalmu merapat ke dermaga. Agar mataku bisa melihat langsung kamu turun dari kapal dan membawakan baju kurung berwarna kuning keemasan seperti yang pernah kau berikan kepada saya.  Mencium tanganmu dan melingkarkan tanganku di lenganmu dan kamu akan mencium kening saya dan membetulkan letak jilbab sambil menanyakan apakah saya sudah makan atau belum.
Saya melemparkan tubuh saya di atas tempat tidur dan membenci karena tidak bisa melakukan apa-apa.

“Berdoa saja Nda…..”

Saya ingat dan akhirnya saya memejamkan mata dan berdoa pada Tuhan kami.


“Tuhan jaga laki-laki ku agar segera kembali padaku”

Saat saya membuka mata hujan semakin menggila. Suaranya seperti suara monster yang saya lihat di televise hitam putih jaman masih sekolah SD

“Nda saya di lautan”. Saya menekan dada saya yang tiba-tiba sangat nyeri. Saya tidak mau kehilangan kamu. Kekhawatiran yang berlebih mungkin…….karena saya sudah merasakan lelah sakitnya kehilangan orang-orang yang saya cintai. Dan saya tidak ingin kehilangan kamu.

“Tuhan jaga kamu Yah….”

1 komentar:

Kampung Karya mengatakan...

menunggu ya? memang pekerjaan melelahkan jika tak berkepastian..

blogwalking malem