30 Okt 2010

JANGER BANYUWANGI : TEATER YANG TAK USAI DIMAINKAN

Malam mulai larut. Jarum jam tepat di angka 9. Alunan musik rancak menyambutku saat memasuki wilayah Desa Boyolangu Banyuwangi pertengahan bulan September 2010 lalu. Masyarakat memusat pada satu pangung. Tidak besar, tapi cukup megah dengan nuansa warna kuning, merah dan keemasan. DIPA CANDRA BUDAYA, kalimat itu cukup jelas terpampang di atas panggung. Aku mengambil posisi di depan. Sangat depan berjubel diantara orang-orang tua dan merangsek mendekati panggung. Pertunjukan Janger pun akan segera di mulai.

Ini bukan pertama kali aku melihat kesenian tradisional Janger. Sudah berkali-kali atau mungkin belasan kali. Bahkan dulu aku sering mencuri waktu tidur malam ku hanya untuk melihat Janger yang manggung di lapanan belakang rumah. Semalam suntuk aku bisa duduk manis walaupun ibu ku sering menjewer telingaku karena belum bangun saat harus berangkat sekolah. Makum aku baru pulang saat pentas Janger selesai dan itu adalah jam 4 pagi!


Sekilas melihat Janger, kita akan melihat sebuah mini teater. Panggung, lighting, tarian, dialog, dan semua yang ada di teori pementasan teater tersaji lengkap disini. Walaupun hanya dengan peralatan-peralatan yang sangat sederhana, namun sangat mendukung dari dramatisasi cerita yang dilakonkan. Namun sekilas, budaya Bali Nampak sangat dominant di pementasan Janger. Baik dari musik maupun pakaian yang digunakan.
Jika aku katakan Janger….pasti yang ada dalam pikiran kamu adalah Janger Bali. Aku tidak menyalahkan, karena sedikit banyak, Janger Banyuwangi dipengaruhi oleh Bali. Di Bali sendiri, Janger adalah salah satu tarian pergaulan yang ditarikan oleh beberapa perempuan muda, yang diringi dengan beberapa penari laki-laki muda yang disebut Kecak. Tarian tersebut dipengaruhi oleh Tarian Sanghyang, yaitu tarian sakral, tarian pemujaan pada para dewa. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita. Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat. 

Janger sendiri di Banyuwangi dikenal dengan nama Prabu Roro, Dawarwulan-an, atau Jinggoan yang diambil dari kata Minakjinggo, yang sering menjadi lakon. Bahkan kalau tidak salah, pemerintah kabupaten telah mempopulerkan istilah Jinggoan. Namun sampai sekarang, masyarakat tetap menyebutnya sebagai Seni Janger daripada Jinggoan
Konon, Janger yang muncul di Banyuwangi di awali dengan jenis teater rakyat yang dikenal dengan Ande-ande lumut. Dan tokoh yang paling berperan penting munculnya Janger disebu-sebut adalah Mbah Darji asal Klembon Singonegaran Bnayuwangi (sekarang ada di belakang toko Arjuna dekat perempatan Lateng). Ia adalah salah seorang pedagang sapi yang aktif melakukan perjalanan Banyuwangi - Bali. Dan ia tertarik dengan kesenian Janger. Kemudian ia memadukan kesenian Ande-ande lumut dengan unsure tari dan gamelan Bali dibantu dengan Singobali, pemain musik yang tinggal di Penganjuran. Sejak saat itu Janger Klembon muncul sekitar abad ke 19. Kesenian Janger terus berkembang bahkan menjadi ala perjuangan. Dalam lakon-lakon yang ditampilakan banyak disisipkan pesan-pesan perjuangan, bahkan banyak para pejuang yang menyamar sebagai pemain Janger, pasalnya pemain Janger mayoritas adalah laki-laki muda. Bahkan berkembangnya Janger hingga berada di wilayah Samaan da Klojen Malang.
Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian hibrida, dimana unsure Jawa dan Bali bertemu jadi satu didalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya mengambil budaya Bali, namun lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa Tengahan yang merupakan bahasa teater ketoprak. Namun pada saat lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya pun justru diambil dari Serat Damarwulan yang dianggap penghinaan terhadap masyarakat Banyuwangi, yang anehnya malah berkembang subur.
Sedangkan untuk busana sangat menarik perhatian mata. Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai dalam pertunjukan Janger Bali. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau penutup dada, dan biasanya memakai kain jarit berwarna mengkilap. Warna-warna menyala seperti emas, perak, merah mendominasi pakaian yang mereka gunakan. Yang unik, peran rakyat jelata justru memakai busana khas Jawa.


Suara pawang Janger sudah berkumandang. Dan suara petasan yang cukup menggelegar pun sudah dibunyikan. Pertanda pertunjukan Janger segera di mulai. Seorang wanita muda membuka pementasan malam itu dengan tarian Gandrung disusul dengan beberapa tarian dari Bali seperti Margopati, Tarian Pendet dan beberapa tarian lainnya. Setelah tarian selesai lakon pun di mulai. Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya. Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung dan kadang cerita-cerita bernuansa Islam.
Kali ini lakon yang diambil adalah Damar wulan Ngarit. Berbeda dengan dengan cerita lain yang selalu menggambarkan Minakjinggo sebagai tokoh yang jahat yang melakukan makar pada pemerintahan Majapahit. Namun tidak bagi kamu masyarakat Banyuwangi. Minakjinggo adalah pahlawan. Minakjinggo sebagai raja Blambangan tidak melakukan makar pada Majapahit, tapi ia menagih janji pada Ratu Kenconowungu yang memberikan sayembara siapapun yang berhasil membunuh Kebomarcuet, maka akan dijadikan suami. Minakjingo berhasil membunuh Kebomarcuet yang membuat wajahnya rusak. Namun Ratu Kenconowungu menolak menikahi Minakjinggo.

Lakon demi lakon mulai berjalan dan hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa halus dan sesekali menggunakan bahasa Using, sebagai bahasa asli Banyuwangi. Sumpah! Aku sedikit sekali memahami bahasa Jawa tingkat tinggi, walaupun masih bisa memahaminya walaupun sama sekali tidak sempurna. Antara lakon-lakon yang disajikan disisipi dengan lagu-lagu Banyuwangi yang dinyanyikan oleh pemain-pemain perempuan. Lagu-lagu itu bisa di request oleh penonton, yang biasanya juga memberikan sejumlah uang sebagai pengganti lagu yang dinyanyikan. Istilahnya nyawer. Tapi tidak ada komunikasi langsung antara pemain dengan penonton. Biasanya request dan saweran dititikan pada kru janger. Mendekat tengah malam. Saat mata mulai mengantuk lakon baru pun di mainkan. Segment lawak, atau dagelan. Segment yang paling aku suka. Hampir semuanya dialog menggunakan bahsa Using, dan aku sangat memahaminya. Biasanya lakon lawak ini di mainkan oleh pemain yang berperan sebagai abdi dalem atau pembantu.

Mataku mulai berat. Kantuk sudah melanda di tambah lagi dengan gerimis yang mulai datang. Dan sepertinya aku harus meninggalkan pementasan yang belum usai ini. Selain lokasi yang cukup jauh dari rumahku, badan juga tidak bisa di ajak bersahabat untuk tetap tinggal menyelesaikan lakon hingga melihat pertarungan antara Minak jingo dan Damarwulan.
Lamat-lamat suara gamelan masih tedengar di gelap malam. Sambil berlalu aku sempat menatap pementasan itu dari jauh. Indah……sangat indah. Seperti keindahan sebuah tradisi yang terjaga. Sebuah akulturasi dari dua dua budaya yang berbeda. Lalu…..jika perbedaan itu indah, kenapa kita harus mencari celah untuk memisahkannya.
Entahlah……..hidup itu seperti lakon dalam Janger. Banyak perbedaan yang ter-akulturasi, banyak lakon yang harus dimainkan. Serius seperti Minakjinggo. Licin seperti Damarwulan. Atau……telihat cantik seperti ratu Kenconowungu. Yang lebih parah speerti para Dayun yang selalu menghadapi hidup dengan senyuman. Namun apapun itu, hidup adalah sebuah kesenian Janger, sebuah teater hidup yang tak akan pernah usai sebelum waktu berhenti dan “SANG SUTRADARA” mematikan lampu pertunjukan.

Dan aku meneruskan perjalanan menembus hujan dan malam. Dan aku harap kau disini menemaniku ntuk memainkan lakon yang telah ditakdirkan Tuhan untuk kita.

Catatan ini kupersembahkan pada Banyuwangi
Dan segala inspirasi yang ada di dalamnya
Pada lelaki hujanku
Temani aku tuk lanjutkan perjalanan panjangku
Walau......





6 komentar:

non inge mengatakan...

pernah ke Banyuwangi tapi belum pernah melihat pertunjukkan itu...

kapan2 kalo ke Banyuwangi lagi harus nonton nich, sepertinya menarik sekali ^^

dan ulasan mba' Ira lengkap banget ^^

faiza mengatakan...

wah,,iya,,teman2 saya yang dari banyuwangi suka sekali cerita,,,

lengkap sekali ceritanya disini..

seneng sekali juga bisa belajar bahasa osing ke mereka..hehe

salam kenal mb ira..

annie mengatakan...

benar, saya pikir Janger Bali, ternyata di Banyuwangi ada janger yang lain. Hmmh , menarik juga ya, apalagi pas tahu Raa mengikuti 'perkembangan' Janger ini sedari kecil.
Pantesan, tulisan2mu tentang tarian dan budaya sangat hidup.
Salam budaya ...

Alil mengatakan...

Ira, makasih atas info budayanya..
Jadi lebih mengenal dan bangga akan budaya sendiri...

Bintang mengatakan...

wahhh bagus neh postingannya...

TS Frima mengatakan...

kunjungan akhir pekan ^^

saya juga suka pertunjukan teater :)