23 Mei 2014

SAYA, PULAU MERAH DAN KAMPUNG BULE



Banyuwangi, 24 Mei 2014


Saya pernah di tegur oleh salah satu "satpam" ketika saya motret di ajang Kompetisi Bartender Internasional yang diadakan di Kampung Bule Nagoya Batam beberapa tahun yang lalu. Tahu alasannya? karena saya menggunakan kerudung. Saya sempat shock saat ditegur dengan alasan yang tidak masuk akal menurut otak saya.

"Mbak beda. Karena mbak pake kerudung"

Saya baru sadar ketika secara berpakaian saya benar-benar berbeda. Waktu sudah lewat tengah malam. Pengunjungnya hampir di dominasi oleh bule tentu dengan pakaian minim. Karena lomba bartender tentu saja full minuma beralkohol di meja-meja yang di tata di luar cafe-cafe di bule. Saya garuk-garuk kepala dan berpikir saya yang salah atau mereka yang salah?

Dan kejadian dengan atmosfer yang sama kembali saya alami hari ini di ajang Surfing International di Pulau Merah Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi hari ini. Ketika pemerintah "menjual" kekayaan alam dengan alasan pariwisata maka "tamu" yang diharapkan akan datang. Tentu dengan budaya mereka. Dan saya pikir masyarakat tidak siap atau belum siap tepatnya.

Coba bayangkan, ketika ada beberapa bule perempuan yang sibuk berjemur dengan hanya menggunakan celana dalam, hotpants dengan atasan tipis dan apa adanya dengan dalaman yang menerawang sepanjang pantai Pulau Merah. Akhirya, mereka menjadi "rasanan"masyarakat lokal. Yang katanya nggak sopan, aneh dan lain-lain. Sedangkan di sisi lain Pemkab Banyuwangi menjual nya dengan lomba surfing. Katanya harus sesuai dengan budaya lokal blaa....bla...blaaa.

Kata kawan saya dari luar kota, "Kalau nggak mau ada bule yang telanjang ya Pemkab nya jangan adakan lomba surfing." Saya ngakak saja.

Apalagi saat mendengarkan sambutan Bupati yang menjelaskan bahwa pariwisata tidak harus identik dengan hal-hal yang negatif. Saya senyum-senyum sendiri. Bagaimana dan apa yang terjadi di belakang anda Pak? La terus foto-foto yang saya rekam di kamera saya apaan dong?

Lalu ketika hotel-hotel melati tidak boleh didirikan. Kost-kostan dan losmen-losemen di razia dengan alasan untuk mengurangi penyakit masyarakat dan bla...blaaa...blaa. yang lain. Saya mempertanyakan apa iya kegiatan negatif, free sex atau apapun itu namanya tidak dilakukan di hotel-hotel besar yang tidak pernah di razia? Apa iya tidak ada prostitusi di htel sekian bintang? tidak ada yang mabuk? tidak ada yang teler? tidak ada yang transaksi narkoba? apa iya kejahatan hanya dilakukan di hotel-hotel kelas melati seharga 60 ribu? Apa ada jaminan? lalu apa bule-bule yang nginep berdua lain jenis juga akan di cek apakah mereka menikah dan membawa surat nikah?

Saya membayangkan jika saya yang suka backpakeran maka akan memilih kelas melati atau pun berbagi kamar dengan teman perjalanan untuk menekan pengeluaran. Dan mungkin saya akan marah luar biasa jika saat saya beristirahat saya akan di gedor oleh petugas yang mengatasnamakan razia. "Hei... gue wisatawan".

akhirnya saya menyimpulkan bahwa Banyuwangi masih belum siap. Atau lebih mementingkan kepentingan "bule" dan pendatang dari pada kepentingan saudara sendiri yang sama-sama berwarna cokelat. Jogya? Bali? Saya ndak mau membandingkan tapi hanya mempersilahkan anda sendiri yang membandingkan.

Saya di Kampung Bule Nagoya jadi makhluk aneh, seaneh bule yang berjemur di sepanjang Pantai Pulau Merah hari ini. Bukan aneh Raa. Tapi beda. Dan mungkin tidak semua orang bisa menerima perbedaan seperti kamu Raa. *saya garuk-garuk kepala sendiri.

Doa saya salah satunya adalah tentang Gunung Tumpang Pitu yang tepat menjadi pagar Pulau Merah. Bukan mencari perbedaan bule dan bukan bule. Berdoa saja agar penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu di batalkan. Sebelum masyarakat Banyuwangi terkontaminasi mercury dari ikan yang dikonsumsi, lalu mati.

Iraaaaa.......... upsss... semua ada benang merahnya kan. Ini ceritanya Banyuwangi yang kehilangan identitas diri. Semacam "ngambang".




*foto ini diambil Shandi Sumarsono. Ternyata jari saya masih cukup lentik buat mengoperasikan kamera ini

Tidak ada komentar: