10 Mei 2013

"SELAMAT KEMBALI KE BANYUWANGI MASA LALU"

Kota Banyuwangi di Jaman Regentschap

oleh: Hasnan Singodimayan

Kota Banyuwangi di jaman Regentschap, merupakan kota kecil yang batas-batasnya serta keramaiannya terletak pada tiga titik kegiatan, yaitu yang berpusat di bioskop Srikandi yang dekat pada pasar dan terminal oplet. Perliman di Dandangwiring dan Pecinan sebagai pusat perekonomian sinse. Sedang pelabuhan Banyuwangi yang masih bernama “boom”, merupakan tempat pergudangan untuk kegiatan menyimpan pisang yang akan dikirim ke Australia dan penyimpanan kopra.

Batas kota sebelah utara hanya sampai di Keramat, sebelah selatan sampai di pekuburan Belanda yang sekarang menjadi Kantor Kecamatan Kota. Sebelah barat sampai di rumah sakit dan rumah penjara. Di luar bat as batas itu, merupakan wilayah yang dikabarkan penuh dengan hal-hal yang menakutkan, terutama jika menjelang matahari terbenam.

Konon katanya di desa Maanggisan sampai Kanalan Sukowidi, masih terdapat begal dan rampok, yang dilakukan para manol pabrik gula yang sudah bangkrut. Antara rumah penjara sampai desa Penataban, terdapat banyak gandruwo yang bertengger di pohon-pohon asam yang berjajaran sangat rapat dan sangat lebat. Sekitar kuburan Belanda sampai desa Talun, banyak bergentayangan kontilanak yang berbusana seperti nyonya Belanda.

Diantara sekian banyak tempat-tempat yang menakutkan, adalah Bengkalingan dan Buyukan. Dua pedukuhan di Kelurahan Kertosari sekarang, sebagai penghuni orang-orang Cina yang pandai bermain kungfu. Sehingga para pendekar pencak di Banyuwangi belum dianggap jagoan,jika belum berguru di Buyukan dan Bengkalingan.

Keramaian malam hanya berpusat di sekiar bioskop Srikandi yang berdekatan dengan Masjid Jami’ dan pasar. Sedang pasarnya hanya terbatas di seputar Kelituran Kepatihan dan bukan di Biskalan. Sebab Biskalan merupakan areal kuburan Belanda di jaman VOC, berhadapan dengan sositet atau kamarbola yang sekarang dipakai untuk Gedung Juang 45.

Ketika itu kota Banyuwangi hanya punya dua lapangan. Lapangan sebelah timur dinamakan Tegal-Loji, karen a berhadapan dengan Loji Inggrisan. Sedang lapangan sebelah barat yang berada di depan pendapa Regentschap dan Masjid, dinamakan Tegal Masjid.

Di tengah kedua lapangan itu, terdapat dua tiga pohon beringin yang cukup besar dan tua serta rindang. Sedang di pinggir lapangan ditanami pohon kenari dan pohon sawo yang cukup banyak dan rapat, sehingga membuat kedua lapangan itu sangat sejuk dan nyaman.

Di sebelah selatan Tegal-Loji berdiri sebuah Hotel mewah milik Belanda dan rumah sebelahnya dinamakan kampung Kulandan, karena dihuni oleh para Ambtenar Belanda. Berhadapan dengan Loji Inggrisan terdapat lapangan tenis, yang dipagar kawat kasa yang ditumbuhi pohon menjalar, sehingga para Ambtenar yang bermain didalamnya tidak dapat dilihat dari luar.

Sesekali dalam setiap bulan di lapangan Tegal-Loji di selenggarakan pertandingan Sepak Bola yang didatangkan dari Surabaya dan kota-kota besar lain di Jawa Timur atau club sepak bola dari Betawi. Lapangan itu dikurung dengan kain blacu seluas lapangan sepakbola setinggi tiga meter.

Harga tiket masuk terbagi tiga, yaitu untuk Pribumi, anak-anak dan orang Asing. Untuk pribumi seharga Satu Sen, untuk Anak-anak seharga setengah sen yang disebut Seketeng dan buat orang asing seharga dua sen setengah atau sebenggol. Yang dimaksud Orang Asing, adalah orang-orang Belanda, Orang Cina, India, Arab dan orang pribumi yang sudah berhaji. Portir yang menjaga pintu masuk dibantu oleh Kontroler Belanda yang dibantu oleh Kapten Cina dan kapten Arab.

Umumnya para pemain dari luar itu bermalam di Hotel. Di Banyuwangi ada tiga hotel, yaitu Banyuwangi Hotel, Srikandi Hotel dan Hotel Slamet yang terletak berhadapan dengan Stasiun Kereta Api. Ketiga Hotel itu sudah punya pelanggan sendiri. Banyuwangi Hotel khusus untuk para Ambtenar Belanda, Hotel Srikandi untuk para pelancong dan para pemain sandiwara yang akan bermain di Banyuwangi. Adapun Hotel Slamet untuk para pedagang yang naik kereta api.

Di sebelah barat pendapa Regentschap, terdapat timbangan motor, yang sekarang digunakan untuk Monumen Garuda Pancasila. Di antara jalan raya di sampingnya terdapat “Tugu Pentol” sebagai tanda batas kekuasaan VOC dengan Regent. Parkir kendaraan oplet bertempat di sebelah selatan Tegal Masjid, diapit dua buah Pompa bensin yang besarnya seperti gardu. Milik Kapten Cina dan Kapten Arab.

Di perempatan menuju ke pasar terdapat satusatunya toko Apotik, milik seorang Belanda yang pintar menggunakan bahasa Banyuwangi Using dan di sebelahnya menuju jalan raya berdiri tokoh Jepang bernama tokoh Nanyo, sering dimusuhi orang Cina karena dianggap sebagai pesaing berat.
Di depan gedung bioskop Srikandi, jika diputar film “Jawa” maka pada siang harinya digelar “Angklung Caruk” untuk meramaikan suasana. Setiap sorenya pasti ada arak-arakan yang membawa gambar film yang akan diputar keliling kota dengan kendaraan dokar. Jika yang diputar film tarzan, maka arak-arakan di atas dokar itu ditampilan “Tarzan-tarzan-an” yang diperankan seseorang yang bertubuh atlet.

Menjelang malam sekira pukul 9 malam sesudah film kedua usai dan toko-toko sudah tutup, jangan harapkan ada orang yang berkeliaran, terutama anak-anak. Mereka umumnya berada di dalam rumah atau di depan rumah, itupun dalam bentuk ke lompok orang, untuk bercerita atau gesah.

Tapi menjelang subuh, suasana akan berbeda. Sebab di subuh itu akan terdengar suara pikulan yang sabut menyabut dalam jumlah yang cukup banyak, dari barat, dari utara dan dari selatan, kesemuanya menuju ke pasar membawa dagangan, sebab ketika itu becak belum ada, yang banyak hanya dokar. Tapi umumnya dokar-dokar itu tidak keluar subuh, adanya menjelang matahari terbit.

Tapi suasana malam itu akan berubah dan berbeda, jika memasuki bulan puasa. Malam tidak lagi sepi seperti biasanya. Toko-toko buka sampai pukul 10 malam, sebab orang yang shalat tarawih di masjid dan yang darusan, baru selesai pukul 11 malam. Sesudah itu para remaja kampong menyaingi petugas patrol yang keliling kampong dengan kentongan bambu. Para remaja itu memukul kentongan bambunya dengan nada yang lengkap, sehingga suaranya jauh lebih berirama dari pada pukulan petugas patrol.

Di setiap persimpangan jalan di kota Banyuwangi, terdapat sebuah gardu dengan sebuah kentongan kayu. yang terkenal adalah kentongan Parliman, berbentuk raksasa dengan mata yang melotot. Siang hari saja banyak orang yang takut, apalagi malam. Diperempatan Kauman berdekatan dengan pendapa, terdapat kentongan yang suaranya sangat nyaring dan di perempatan Lateng, terdapat kentongan tidur yang cukup besar.

Diperempatan Singonegaran te rdapat kentongan kayu yang berkepala sapi dan di Sawahan, suara kentongannya terdengar sampai di desa Giri. Kentongan kentongan itu harus dipukul mengikuti bunyi genta yang ada di dalam pendapa, yang dipukul mengikuti bunyi genta yang ada di dalam pendapa, yang dipikuli oleh opas yang menjaga pendapa. Kemudian genta itu dipindahkan ke Kantor Hoofbiro, yaitu Kantor Polisi.

Di sebelah utara Masjid Jami’ terletak Kantor Penghulu yang terdapat dua buah meriam kecil menghadap ke barat. Sedang Kantor Asisten Wedana berjajaran dengan Sekolah PHIS, yaitu Partikelir Holands Yolander School dan HIS-nya berada di sebelah kamar bola di Tegal-Loji. Di sebelah Timur Tegal-Loji terletak sebuah benteng peninggalan VOC yang kemudian dijadikan klinik.

Ketika itu sekolahart hanya terbatas beberapa buah, selain HIS dan PHIS, terdapat beberapa sekolah Angka Lima yang terletak, di Dandangwiring dan di Lateng. Selebihnya adalah sekolah-sekolah partikelir yang didirikan organisasi pergerakan , antara lain Sekolah Tamansiswa yang berada di Karangbaru, sekolah Sari kat Islam yang berada di Singonegaran. Madrasah Al-Khairiyah, Madrasah Qarunnajah di Tukangkayu dan Madrasah Al-Irsyad di Kampung Arab.

Kota Banyuwangi di jaman Regentcshap akan tampak sangat ramai, siang dan malam, jika di bulan lebaran. Sebab lebaran di Banyuwangi berlaku sepanjang 7 hari 7 malam. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke “Boom” dengan mengendarai dokar. Sebelumnya dil akukan “Puter Kayun” mengelilingi kota. Start dimulai dari terminal dokar di depan bioskop Srikandi, ke utara sampai di perempatan Lateng, belok ke kanan sampai Kampung mandar kemudian berbelok ke kiri menuju “boom” atau berbelok menuju stasiun dan ke barat samapai parlimam dan terus kern bali di bioskop Srikandi.

Pada mulanya Puter Kayun di hari lebaran itu dilakukan oleh para Ambtenar Belanda dan istrinya, kemudian diikuti oleh orang-orang kaya dan seterusnya oleh masyarakat sebagai tradisi. Mengamati route yang dilalui hampir sama dengan route pawai kernaval sekarang ini, hanya berbeda pada start, jika Puter kayun dimulai start dari depan masjid dan finish di depan bioskop Srikandi. Maka start pawai dimulai dari bekas kuburan Belanda yang menyeramkan dan berakhir di bekas benteng VOC yang sekarang jadi gedung Wanita, “Paramitha Kencana” apalagi jika di “boom” banyak pisang yang akan diangkut ke kapal besar yang menunggu ke tengah kami, Pisang-pisang itu dan kopra-kopra itu, diangkut dengan kapal-kapal atau yang diseret oleh sebuah kapal boot.

Materi di atas dinukil dari Majalah Gema Blambangan, edisi khusus (076-077), 1997. Koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.




1 komentar:

Unknown mengatakan...

ulasan ceritanya sangat menarik ya pak