2 Sep 2012

TAKUT ? TIDAK PERLU RAA



Saya menulis catatan ini di sebuah café kecil, yang terletak di simpang empat lampu merah. Entah kenapa saya suka café ini. Sederhana dan tidak berwarna. Putih hitam dan abu-abu. Mendominasi. Retro. Dengan hiasan-hiasan kuno dan kursi-kursi  antik. Musiknya pun music easy listening bukan music gedubrak gedubruk. Tempatnya nyaman. 

Saya lebih suka memilih duduk di meja panjang menghadap ke kaca dan menatap langsung keluar. Rasanya menyenangkan melihat pengendara dengan mimik wajah yang bermacam-macam.  Saya menyeruput sedikit kopi.  Kepala saya sedikit pusing, karena  arak beras yang saya minum upacara penghormatan arwah di Kelenteng sore tadi.  Saya memejamkan mata sebentar. Smeoga saja kopi ni bisa mengurangi efek arak beras tadi.

Saya melepas pandangan kea rah timur. Degggh….. Jantung saya seakan berhenti berdetak.  Bulan Purnama bulat sempurna. Warnya kuning keemasan kontras dengan langit yang hitam dengan sedikit awan. 

“Kamu adalah Purnama……”


“Mana ada… “

“Serius… sempurna”

Dan slide-slide itu berlompatan tanpa ada jeda. Seperti kran air yang dibuka.  Saya meneguk kembali kopi pesanan saya. Gelas ke dua.

Saya pikir dengan jarak ribuan kilometer saya bisa amnesia. Saya pikir dengan menutup  akun facebook saya bisa memutus benang merah yang menghubungan antara masa lalu dan masa depan saya. Ternyata tidak semudah itu …..

Bulan purnama…. Berarti seusia bulan purna itu aku berada di kota ini. 15 hari. Apakah kamu bahagia Raa ? iya saya bahagia……. Sangat bahagia! Paling tidak saya tidak perlu menghindar dari jalan-jalan yang telah mengikat otak dan perasaan saya dengan sebuah masa lalu. Saya harus berberbenah. Iya betul… membenahi kehidupan saya yang sudah berantakan. Butuh sebuah keberanian memang. Keberanian yang tidak hanya setengah-setengah. Keberanian untuk melewati sebuah jalan-jalan yang gelap seorang diri. Mengikuti tangan Tuhan yang akan menuntun saya.

“Ojo grusa grusu Raa…… Nanti menyesal. Ini kota kecil lo”

“Aku sudah yakin Ka, aku bukan sosialita. Aku bukan hedon”

“Nanti juga kamu akan bosan”

“Sepertinya tidak, karena aku besar di kota ini. Aku akan segera kembali ke Batam dan kemudian menetap disini. Setahun dua tahun atau pun seterusnya. Aku sudah capek……  aku hanya ingin hidup tenang. Setiap aku singgah di sebuah tempat aku selalu berharap itu adalah persinggahan terakhir. Dan di kota ini aku berawal dan di kota ini pula aku berakhir”

Saya kembali menatap keluar. Udara malam ini dingin luar biasa. Saya lupa menggunakan jaket.  Saya hanya bisa menyesap kopi yang sudah hangat sedikit demi sedikit. Dimanapun berada saya selalu malas untuk pulang karena memang tidak ada yang menunggu saya pulang. Tidak di Batam dan tidak pula di kota ini. Tapi entah kenapa di kota ini saya tidak mempermasalahkannya, karena saya pasti pulang ke rumah ibu saya walaupun rumah itu tetap kosong.

Saya masih menikmati bulan purnama yang sedikit demi sedikit tertutup gumpalan awan hitam. Lalu tubuh saya bergetar hebat. Ada ketakutan yang luar biasa. Rembulan ini sudah menyakit saya dua kali. 10 tahun yang lalu saat saya masih menjadi mahasiswa baru dan saya mengalami patah hati untuk bertama kali kepada lelaki pemuja bulan. Lebih ekstrim lagi…. Saya tidak mau menginjak Banyuwangi dan tidak mau melihat bulan. Ibu saya mengalah untuk ke Jember menemani saya di akhir pekan. Dan jika belia datang maka saya akan menggelung di pangkuannya sambil menikmati elusan tangannta di rambut panjang ku.

“Semakin sering kamu terluka maka kamu akan semakin menjadi perempuan yang kuat Raa. Keris yang tajam itu perlu tempaan pandai besi dan juga ribuan kalori panas untuk membakarnya. Dan tentu saja doa-doa yang membuat keris itu menjadi bertuah”

Dan kali kedua adalah saat saya memuja laki-laki yang sangat saya cintai dengan menganalogikannya dengan purnama.

“Kenapa harus purnama Nda….”

“Sederhana… karena aku Raa. Matahari”

Saya melupakan bahwa Bulan itu adalah symbol feminisme.

 …… tapi untuk kali kedua ini saya tidak perlu menina bobokkan ketakutannya. Saya berani menantang ketakutan saya dengan menatap bulan walaupun harus membiarkan dua tetes air mata dan merasakan kesakitan luar biasa di hati saya. 

Saya menopang kepala saya dengan kedua telapak tangan saya. Sambil memejamkan mata. Gila…. Perjalanan saya sudah luar biasa panjang dan akhirnya mendamparkan saya di kota kecil ini. Sudah banyak ketakutan-ketakutan yang saya lawan seorang diri. 

Lalu…. Tulisan mu bercerita tentang apa Raa….?

Tidak ada. Saya hanya akan memulai kembali untuk menulis lagi setelah off beberapa hari. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya masih hidup. 
 
Dari 14 pedoman hidup manusia yang say abaca di Kelenteng sore tadi ada satu ajaran yang saya ingat

“Hadiah terutama manusia adalah lapang dada dan mau memafkan”


Lalu kenapa  kamu harus takut lagi Raa? Jika kamu menghadiahi dirimu dengan berlapang dada dan belajar untuk memaafkan masa lalu kamu?



1 komentar:

tour and travel mengatakan...

bersantai-santai di cafe memang enak yah..