28 Okt 2010

AKU TULIS SURAT INI DENGAN TINTA AIR MATA

Sayang, aku tulis surat ini dengan tinta air mata. Sedang senja telah dari tadi menghilang. Dan lebih dari 3 cangkir kopi berjejer manis di depan laptopku di sel-sela otakku yang terus bekerja walaupun thampir mningalkan tengah malam. Kopi pahit...ya, benar-benar pahit tanpa gula walaupun seujung sendok teh. Ah...pasti kau anggap bahwa kecintaanku pada kopi, adalah sebuah teori yang memuakkan.

Ya sayang, entah sudah ratusan cangkir kopi telah menyatu dalam darahku. Menikmatinya saat bangun pagi, jam 10 siang untuk mengusir ngantuk, atau pengganti makan siang bahkan teman setiaku insomnia.ku seperti saat ini. “Bukan hanya aku kan yang menemanimu menikmati secangkir kopi?”, tanyamu saat badai malam itu datang. Aku mengangguk dan mengatakan ya. Bukan hanya dengan kamu sayang, aku menikmati cangkir kopi. Kau ingat kan apa yang aku katakan pada mu senja itu? Semua rasa kopi itu sama, namun yang membedakannya adalah dengan siapa kita menikmati kopi. Karena saat itu secangkir kopi mempunyai jiwa.  Dia bernyawa. Kau tau? Pernah aku menikmati secangkir kopi tepat tengah malam dengan tukang becak di depan rumah. Atau menikmati secangkir kopi dengan ibuku di pagi hari sambil tergesa-gesa untuk berangkat kerja dan secangkir kopi habis seketika dengan 2 atau tiga kali teguk. Bukankah kita masing-masing mempunyai masa lalu yang cukup menjadi kenangan kita sendiri. Sedangkan kau dan aku sama-sama menjadikannya cerita ini sebagai cerita masa depan


Entah, apakah surat ini sebuah pembelaan. Dan aku yakin kau akan menggerutu sambil berkata, “teori apa lagi ini”. Dan aku melihat kau berjalan memunggungiku pergi menjauh meninggalkanku. Teriakanku ternyata tak mengeluarkan suara. Kalah dengan suara hujan yang semakin lebat. Dan aku tergugu , termangu seorang diri sedikit merintih menyebut namamu, saat bayangmu sedikit demi sedikit tertutup awan dan kau akhirnya benar-benar menghilang.

Dan aku kembali menulis surat ini dengan tinta air mata. Dengan sesapan kopi pahit yang pahitnya benar-benar menusuk di ribuan pori-poriku. Apakah kau sedang memikirkan aku? Sedang merindukan aku? Seperti aku yang benar-benar merindukanmu. Entahlah.....apakah kau tak merasa jika tiap-tiap malam aku selalu menyanyikan senandung-senandung rindu sambil menyebutkan namamu.

Aku tau aku egois sayang. Aku hanya berpikir tentang diriku. Tentang mimpi-mimpiku. Tentang perjalanan-perjalananku. Dan seperti katamu, aku tak pernah berpikir tentang perasaanmu. Bahkan sering meninggalkanmu tenggelam dengan catatan-catatanku. Tapi pernahkah kau berpikir kalau kau yang membuat aku berani bermimpi setelah sekian lama aku hanya bisa terdiam. Apakah kau tau, kau lah yang membuat aku berani untuk melanjutakan perjalanan-perjalanan panjangku saat kakiku mulai terlelah. Karena setiap aku melangkah, aku mempunyai kekuatan dan keyakinan jika kau akan menungguku kembali. Apakau kau tak pernah menyadari jika kau adalah inspirasi yang tak pernah habis aku tuangkan dalam catatan-catatanku saat ini dan juga catatan-catatan masa depanku nanti? Dan karena kekuatan dari mu, aku juga berani melangkah untuk meninggalkanmu. Ya...meninggalkanmu dengan sebuah mimpi karena keyakinanku kau akan menungguku kembali.

Sayang, aku ingin kau tau malam-malam aku selalu menulis surat dengan tinta air mata. Tentang kesepianku. Tentang mimpi-mimpiku bersamamu dan dengan semua kenangan-kenangan yang berlarian didepanku. Ya sayang, aku sendiri karena keegoisanku. Karena mimpi-mimpiku. Dan saat ini aku baru menyadari bahwa aku benar-benar membutuhkanmu dan sangat mencintaimu.

Tapi biarlah, aku melangkah dan kau juga melangkah, karena kau tak lagi menungguku kembali. Menyadari, jika aku sangat ingin menikmati secangkir kopi terakhirku denganmu sambil menggenggam jemarimu dan meletakkan di dadaku. Agar kau merasakan detak jantung terakhirku. The Notebook!

Ini bukan surat terakhirku sayang. Karena ratusan surat terus aku tulis untukmu ditiap-tiap malam sendiriku. Dan kelak ia akan membacanya dan mengetahui betapa besar cintaku pada dirimu.

Catatan ini kupersembahkan
Pada laki-laki yang kelak kan menemaniku minum secangkir kopi terakhirku
Saat senja
Saat hujan datang
dan kuharap itu kamu
Laki-laki hujanku 
Tapi apakah mungkin? sedang ia menghilang
ditelan malam

2 komentar:

non inge mengatakan...

entah mengapa aku sangat meresapi setiap untaian kata di posting ini, dan seperti terlarut dalam rasanya...

hmmm... nice post!

Fayza Hiqmah mengatakan...

laki laki hujan....

saya pun menyebut lelaki saya demikian....

btw, makasih ya sudah mampir di rumah saya.. :)

salam,
Fay