Sebut saja namanya Alan. Umurnya sebaya denganku. Pertemuan pertama dengaku adalah saat dia mendaftar sebagai seorang sopir dan dia mengatakan kalau masih belum menikah Dan dia sering mengantarku mengunjungi beberapa tempat di Batam.
Suatu hari aku menghubungi dia via handphone dan yang menjawab seorang perempuan yang mengaku sebagai istri Alan. Hhmmmm…..sedikit mengernyitkan dahi. Mengaku menikah tapi seorang perempuan mengangkat handphone pada pagi hari dan mengaku istrinya.
Saat aku mempertanyakan itu pada Alan. Dia hanya memberikan sebuah foto perempuan cantik berambut panjang,
“Dia siapa Lan”
“Perempuan yang tinggal denganku Bu. Sudah 3 bulan ini”
Aku sedikit memahami apa yang ia bicarakan
“Kenapa tidak menikah”
Alan diam sangat lama
“Menikah? Susah Bu”
“Susah apa? Ada dua kemungkinan. Yang pertama perempuan itu adalah seorang janda. Dan keluarga kamu tidak menyetujuinya. Dan kemungkinan kedua adalah dia adalah istri orang.”
Sebuah hipotesa yang menurut aku sedikit sempurna. Sebuah pemikiran yang sedikit ngawur.
Alan diam cukup lama. “Dia istri orang Bu”
Ups….mulutku sedikit terbuka. Pemikiranku ternyata sangat sempurna.
“Kapan-kapan aku bisa ketemu sama dia Lan?”. Alan mengangguk dan menjanjikan akan menemukanku dengan “perempuannya”
***
Sedikit melupakan. Saat waktuku agak luang, Alan mengajakku ke tempat kost-nya. Hhhhmmm…..disebuah tempat kost bertingkat yang sedikit kumuh. Dan Tuhan……sempat tersentak juga aku melihat “perempuan” Alan. Sebut saja namanya Tina. Jauh dari bayanganku. Tingginya sekitar 160-an, berat badannya ideal, rambutnya lurus panjang dan aku yakin hasil dari smooting. Kulitnya juga putih dan sempurna Usianya sedikit di atas aku, tapi masih terlihat sangat muda. Sempurna!. Sedikit minder dengan keadaanku. Pake kaos lusuh, jaket, celana jeans belel plus kulit hitam bekas terbakar di Temenggung. Tertawa sendiri. Seharusnya Tina berada dalam posisi ku.
Aku dan Tina berbicara berdua dari hati ke hati. Sebagai seorang perempuan.
Tina berasal dari wilyah di Jawa Barat setelah menikah dia tinggal di luar Jawa. Suaminya selingkuh saat Tina hamil anak pertama. Merasa sakit hati, Tina keluar dari rumah suaminya seorang diri karena anaknya di tahan oleh suaminya. Status Tina mengambang, mengajukan perceraian dan meminta hak asuh anak tapi masih belum ia dapatkan. Hingga suatu saat Tina diminta kembali oleh suaminya. Ia menyetujui karena ingin bertemu anaknya. Tapi perilaku suaminya tidak berubah. Hingga ia mengenal Alan. Seorang pengangguran. Dan Tina memutuskan meninggalkan suaminya untuk hidup bersama Alan.
“Nggak nyesel milih Alan”
“Nggak Bu. Walaupun Alan bukan orang kaya tapi saya bahagia dengan dia”
“Baru kenal 3 bulan lo”
“Iya sih Bu. Tapi saya percaya dia sayang sama saya. Walaupun Alan tau, kalau saya nggk bisa ngasih anak karena setahun yang alu rahim saya diangkat karena kangker. Hidup itu pilihan Bu. Dan saya telah memilih Alan”
Kami bersalaman. Bahkan dia sempat akan mencium tanganku dan aku menolaknya. Dan menggantikan dengan mencium kedua pipinya. Dia sangat menghargai aku, karena Alan adalah sopir yang sering mengantar aku. Dan aku sangat menghargai Tina sebagai seorang perempuan yang berani untuk memilih.
“Semoga kamu tidak menyesal dengan pilihan kamu ya”
Kalimat itu aku ucapkan sebelum kami berpisah. Dan aku melihat dia mengangguk dengan tegas. Dan sangat tegas.
Dalam perjalan aku tidak habis berpikir dengan keputusan Tina. Meninggalkan semua kemewahan dia. Semua fasilitas dan memilih hidup bersama Alan di sebuah rumah kontrakan tanpa menikah. Sebuah keputusan yang membuat aku salut. Memang, terkadang perasaan cinta tak mengenla logika. Sebuah kebahagian yang pernah diukur dengan harta.
***
Dan aku mulai melupakan Tina, apalagi sejak Alan tanpa alasan yang jelas keluar tanpa pamit. Dan kehilangan kontak. Hingga tiba-tiba ada pesan masuk di hpku dari nomer yang tidak dikenal
“Bu, ini Tina. Alan telah berubah dia sering mukul saya tanpa alasan”
Saya segera balas, “kamu tinggalkan dia sekarang. Bukan lelaki kalau dia mukul perempuan. Dia banci”
Setengah jam kemudian Tina baru balas, “Nggak bisa bu, karena saya sangat mencintai Alan”
Aku berusaha menghubungi nomer telpon itu, tapi sellu di reject hingga akhirnya tidak aktif sama sekali. Aku menghela nafas. Berat. Benar kata Agnes Monica. Cinta itu tak kenal Logika.
Masih aku ingat pertemuan pertama dan terakhir dengan Tina. Saat ia mengangguk tegas dan mengatakan, “Saya tidak menyesal dengan keputusan hidup bersama dengan Alan tanpa nikah”
Ah….benar kata seorang teman. Kalau perempuan lebih mengedepankan perasaan dari pada kenyataan. Hal ini yang membuat perempuan selalu menjadi korban. Menjadi kaum marjinal.Seandainya semua perempuan bisa menentukan nasibnya sendiri. Bukan ditentukan oleh laki-laki yang mengaku akan setia mendampinginya. Tina…tina…..
Tiba-tiba aku tersenyum. Tertawa dalam hati. Mentertawakan diri sendiri. Bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah Tina, sedangkan menyelesaikan masalah ku sendiri tak pernah bisa. Ya….masalah kompleks seorang perempuan.
Sebuah ketidak adilan.
catatan aku persembahkan kepada perempuan
kapan kita lawan ketidak adilan?
karena kita punya kekuatan?
4 komentar:
wahhh templatenya ganti nih... sip sip kopi
Salam..itulah cinta Mb, kita bisa menjadi gila karnanya..meskipun sudah berusaha untuk menghindar tapi semakin dihantui...
Semoga saja ada jalan terbaik untuk Tina...
Itulah CINTA. Kadang membelenggu, kadang membebaskan. Cinta di dunia tak pernah abadi. Terlalu cinta menjadi benci, terlalu benci menjadi cinta. So, cintailah seadanya, mungkin akan bahagia selamanya...
cinta memang tidak bisa ditebak,,heheheh,,,,,L:)
Posting Komentar