Sambil kunikmati setiap detik waktu bersamamu
(waktu-waktu terakhir-kah? Semoga tidak sayang.....)
Mengalun lewat nada kopi susu yang makin mengental
Lelakiku, aku mencintaimu
Menunggu sebuah negeri jauh, yang peta-nya terpampang di depan kamar
Aku menanti
Kota yang dibangun dari tangan-tangan penjaja hujan
Meniup sebuah mimpi, pasti kau juga rasa Lelakiku
Malam terus turun
Diam-diam mengucap salam
Dari dadaku mengalir sejuta kata dari biru namamu
Sudah penuh sesal seluruh cintaku ku ronce malah penghabisan kali kembang sepasang ku taburkan
Biar ingin kau mengerti
Ini cinta bukan permainan
Kalau gemawan bisa jatuh antara langit dan Lazuardi
Mengawa awan di hatimu tidak
Kalau matahari senja memerah menghanyutkan batas pandang kasih di mataku
Mengapa matahari di hatimu tidak?
Aku bertanya padamu, “kalau?”
Kalau ...semuanya harus, Bagaimana dengan aku?
Kamarku hilang hanya tinggal sepetak mimpi dan aku terperangkap di atas tilam
Kau lupa, bahwa aku musafir yang selalu merindu pelukanmu lelakiku
Melawan kodrat
Tidak berani aku bertanya mengapa ke tempat ini kau bimbing aku melangkah
Dan jangan pula kau tanya mengapa kita senang berada di sini
Menyusuri jalan-jalan padahal di sini senyap tak ada siapa-siap
Padahal disini penuh dengan keraguan
Antara hasrat dan mimpi-mimpi kita
Antara kepastianmu dan keraguanmu
(ku baca sesal di raut wajahmu seperti bergemuruh tanya ini menyiksa ; kenapa kita diam membungkam perasaan sendiri? Atau kenapa dulu harus ada cinta)
Bukankah ini sebuah pengkhianatan?
Sekali saja lelaki ku
Jika kau tanya tentang cinta, jangan padaku
Carilah jawabannya di hembusan angin malam
Jika kau tanya tentang kesepian jangan padaku
Tanyalah pada hatimu yang sendiri
Dan bila kau bertanya tentang kesetian carilah lewat buih gelombang laut yang selalu mengkawinkan angin dan malam
Karena aku terlalu lelah belajar melukiskan wajahmu di mimpiku
Aku sampaikan lewat lukisan semalam
Saat ku melangkah sendiri antara alun-alun dan mimpi
Antara khayalan dan kenyataan
Lelakiku, aku rindukan kau dengan bias perak yang sedikit demi sedikit membunuhku
Aku lukiskan apimu pada lampu-lampu padam – padahal mereka aku ajak berbincang –
Sekali lagi, selamat malam lelakiku
Dan aku sampaikan lewat angin yang melukis tembok dengan kuas waktu dan warna cinta
Hanya itu saja
Aku akan kembali belajar untuk mengeja kata tentangnya
Mungkin
Aku awali lewat 3 lembar kertas penuh cinta dan harapan
Aku kangen
Dua buah surat telah lahir lewat hati dan rasa
Satu ke barat dan satu ke timur
Dan entah siapa yang akan duduk dipelaminanku kelak (ku harap engkau lelakiku)
Meng-kawinkan malam dan bulan pada keagungan waktu yang telah bercumbu
Dua buah pucuk harapan telah terkirim entah siapa yang kan terima
Satu menangis yang lain tertawa
Satu memuja yang lain tertawa
Satu terluka yang lain terkapar dalam pelukanku
Entah pada siapa yang kan menikmati bukit-bukit suram tanpa suara
Dan melewati sunyi danau perak yang kehilangan riak
-Itu adalah aku –
Perempuan mati dengan pisau rindu menusuk di dadanya
Ia telah dibunuh waktu
Padamu lelakiku
Kau tak pernah tau
perasaan yang ku miliki jauh dari apa yang ada dalam pikiranmu
Bukankah kehidupan itu tak memiliki takaran?
seperti takaran perasaan ini padamu
'tak terbatas
15 komentar:
bagus banget,
merinding saya ngebacanya..
SALUT !!!
semakin kagum pada kemahiran mba ira meramu kata menjadi bait-bait sajak yg indah ^^
Menangis ku karena ini ....
Hmmmmmmmmmmmm.............
puisi yg baguss...
jadi malu iri saya...
eh itu bener3 hari dilembur?
kereen tuh puisi nya...dari judul ja udah menarik..pa lg isi ny...keren dh...
luar biasa mbak syairnya...
sangat jujur... :)
wah bagus banget, tiga malam buatnya ngga samapai tiga malam kan mba?
mbak ira... smg cuma tulisannya aja yang sedih bukan orangnya
keren banget..
suka deh
keren banget..
suka deh
aku menikmati...sangat indah
salam kenal mba...
rangkaian kata yang mempesona,
takaran perasaan yang tak terbatas, pilihan kata yang unik,^^
oa ijin follow ya...
panjang juga puisinya..perasaanya pasti mendalam
Posting Komentar