5 Jun 2010

AKU NIKMATI WAJAHMU DINI HARI ITU

Catatan ini aku buat pada pertemuan dini hari itu.
Pada saat matahari tak ada. Dan tepat saat hujan jatuh dipelataran Bandara Juanda. Ah…kenapa kau yang harus ku pikirkan lelaki hujanku?
Dan aku kembali menemui mu tepat setelah hujan saat aku melintasi jalan-jalan dari perjalananku yang belum pernah ada ujungnya. Dini hari itu.
Kau tertawa saat melihat aku belajar menata malam dan menahan rasa rindu itu.


“Mau ku buatkan kopi? Atau kamu yang akan buatkan kopi untuk aku?”
Aku sibuk menata perasaanku. Menatap matamu. Menatap rambutmu. Menatap sosokmu yang menjulang dihadapanku. Atau caramu menggerakkan tangan-tangamu di atas keyboard komputermu. Dan aku juga menikmati setiap sentuhan sendok yang berdenting di antara cangkir-cangkir kopi itu. Seperti hatiku yang berdetak beriringan dengan ekor mataku yang selalu mengikuti arah wajahmu bercerita tentang perjalanan yang akan ku lewati. 

“Ini kopi untukku”
Aku mengangguk dan aku tahu perbincangan kita hanya sekedar basa-basi menutupi sebuah perasaan yang tak pernah bisa kita jabarkan. Bukankah Tuhan yang memberikan perasaan ini.
“Biar kita nikmati perasaan ini”
Entah karena kegugupanku atau memang sebuah kerinduan yang sangat pada secangkir kopi.
“Kopiku tinggal sedikit”
“Kamu buat lagi? Atau aku yang akan buatkan untukmu kali ini”
Aku menggeleng pelan. Dan kau tak kan mungkin bisa melihat gerakan kepalaku atau ekor mataku yang selalu menikmati tiap senti wajahmu. Lampu telah mati. Tinggal jatuhnya bayangan lampu dari ruangan depan tepat membentuk sebuah lukisan indah. Kinesik wajahmu!

Tuhan……aku menikmatinya. Benar-benar menikmatinya.
Saat kau memejamkan mata dan menelikungkan tanganmu di atas dada bidangmu. Aku menunduk.
“Aku ingat ayahku”. Kau seperti ayahku. Yang selalu tertidur saat menemaniku yang sibuk menulis dan membaca. Jarak kita hanya sekian depa. Walaupun dalam keadaan temaram aku masih bisa menikmati wajahmu dari posisiku disini.
Nafasmu mulai ringan. Sedikit anak rambutmu menutup bagian dahi dan keningmu. Dengan sedikit keringat yang muncul di sekitar lehermu. Dadamu yang tertekan tanganmu turun naik dan sempurna. Dan sesekali kau menggerakan jemarimu hanya untuk menepiskan anak rambut yang mengenai matamu.
Dan aku semakin menikmati wajahmu dari sini. Bebarengan dengan cahaya laptopku yang semakin meredup. Tanpa ego….ingin aku selimutkan jaket pada tubuhmu tapi sepertinya tak perlu aku lakukan. Karena aku tak ingin mengganggu tidurmu. Biar aku tetap menikmatinya disini.  Menikmati hembusan nafasmu tanpa perlu mengusiknya. Dan aku menyukai itu. Dengan menulis catatan-catatan kecilku ini dalam pemujaanku padamu.

Kau menggeliat perlahan.
Dan aku sudah siap berdiri di depan pintu. Kau memicingkan matamu.
“Kau akan pergi sekarang”
Aku mengangguk dan tersenyum tapi …..
Kau menundukkan kepala dan aku berharap kau berdiri di hadapanku sambil berkata, “Please …jangan pergi Raa”
Tapi kau hanya terdiam dan menerima uluran tangan dariku untuk bersalaman. Ada tekanan dalam jabatan itu.
Kau tau harapanku? Kau menarikku dalam pelukanmu dan sekedar berkata, “Aku akan kehilangan kamu Raa. Aku sedih atas kepergianmu”.

Aku pelajari kinesik wajahmu dan kau tetap saja diam dalam senyum dinginmu.
Aku melirih, “Kau memang seperti Ayahku, lelakiku. Hanya tersenyum saat aku pergi. Hanya berkata ‘hati-hati dijalan’. Kau seperti Ayahku, lelakiku. Seseorang yang tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya dalam sebuah perpisahan”

Tiba-tiba saja aku berada dalam sebuah dunia yang tak pernah aku masuki. Sebuah dunia khayal yang terus hidup dalam imajinasiku yang tak pernah mati. Dan aku melangkah melanjutkan sebuah perjalanan yang sangat dan sangat panjang. Berusaha melupakanmu. Aku kembali berimajinasi.

Kau masih berdiri di ujung jalan sana sambil menekan dadamu dan berkata, “Perpisahan, tiba-tiba aku merasakannya….”

Semuanya terlambat. Saat egoku dan egomu tak pernah berani mengatakan, “Aku membutuhkanmu”
Dan aku kembali tak bisa menjalankan otak kanan dan otak kiriku. Membedakan antara kenyataan dan sebuah imajinasi.
Saat ini aku tetap menikmati wajahmu dari sini. Sedikit demi sedikit kinesik wajah dan gerakan mata serta tubuhmu yang menjulang di hadapanku.
Aku akan kembali merindukan pertemuan itu. Untuk terus mempelajari wajahmu seperti dini hari itu.

Pada sebuah Imajinasi
Tentang perjalanan dan pada sebuah pertaruahan
Percaya, aku akan kembali ke kotamu

7 komentar:

Bunda Alfi mengatakan...

Hmmm...aku tak mampu berkomentar sepertinya, terlalu dalam ungkapan rasamu, sebuah imajinasi yang kuat tentang cinta dan kerinduan.

Anonim mengatakan...

kembali pada kesendirian dan rindu, Raa ...
Engkaukah itu?

Unknown mengatakan...

so sweet.

ani rostiani mengatakan...

eh, anonim yang di atas itu aku, Raa ...Biasa tadi inet lelet

catatan kecilku mengatakan...

Mbak... sukses banget memilih kata yg demikian sempurna menyampaikan rasa. Aku tak sanggup berkata-2

the others.. mengatakan...

Termenung kumembaca tulisan mbak di atas... Hebat banget.


BTW, maaf ya baru mampir setelah sekian lama...

Irma Senja mengatakan...

susah berkomentar ditulisan mba ira ini,...

hanya menikmati...menikmati keindahan kalimatnya ^^