10 Jul 2009
KETIKA KU PANGGIL NAMAMU SAMUDRAKU
Samudra… aku mengeja satu demi satu huruf yang menyusunnya. Entah sudah berapa lama kunikmati waktu kesendirianku. Bertanya tentang bumi yang menopang egoku, tentang tanah yang menumbuhkan, tentang laut (kini di depanku) yang penerima segalanya, atau aku yang mempelajari kinesik matahari. Aku sekarang ada dalam kehampaan cahaya.
“Namaku Raa…..aku matahari”, bisikku. Wuich…aku menyeka keningku sendiri dengan telapak tangan kiriku, terlalu panas. Aku yang buta karena kosmos cahaya yang dlahirkan dari bentuk maya yang saat ini berada tepat di atasku. Apakah aku adalah kau, kosmos cahaya yang tak pernah mempu kunikmati hatimu?.Tiba-tiba debur ombak berlari-lari dengan angin menghasilkan sebuah nada yang diitakan dari audio alam. Atau batu karang di tengah sana merupakan drum yang diciptakan Maha Cahaya.
“Kau sinarku!!Matahari? kusuka nama itu”, aku menggelengkan kepala tak percaya. Tiba-tiba wajah yang selama ini hanya dalam kinesikku tiba-tiba muncul dan menemaniku duduk disebelahku sambil menekuk lututnya. Lelaki yang mempunyai kelembutan dan ketegasan membentuk sebuah puisi yang terindah tertulis di rahangnya yang cukup kokoh mmapu menyangga keluhku. Mungkin bisa menopang kelemahanku?. Wahai …..bajingan yang aku cintai, kutukku sambil memalingkan muka menatap langit. Kembali cahaya kosmos menghantam pandanganku, cukup menyisakan perih dimataku.
“Bukankah kau tahu aku lebih suka dipanggil Raa. Amor Raa, Dewi Matahari. Bukan Ira sang penunggu”, aku tersenyum pada kenesikku sambil tersenyum menggoda. Senymmu selalu membuatku jatuh hati pada sebuah kesedehanaan. Aku kembali terjebak pada epos cahaya. Amoor Raa….amoor raa….aku mendengungkan berulangkali, bahkan angin laut pun ikut mengeja, gemerik pohon ketapang mulai meliriknya. Hei…..ombak menghempaskan raganya pada pantai dengan satu nada raa…..ra…..ra…..raaa.
Aku tertawa sendiri dan menyatu menjadi sebuah simponi alam tentang lirik raa dan nada sumbang yang ku hasilkan dari tenggorokanku. Tiba-tiba saja aku menjadi seorang putri dengan gaun merah yang melilit setiap senti kulitku yang hitam.Rambutku tiba-tiba menyatu pada warna kuning matahari. Wah…terlaluterang untuk seorang aku yang aku. Kau berkaca pada samudra. Aku seorang putri matahari . Amoor Raa
Kau tersenyum penuh rahasia. Laki-laki yang menarik ujung bibirnya menjadi lukisan yang maha indah, menyisakan sebuah noktah ungu yang kecil dan sederhana. Satu bias membunuh sinarku yang abadi. Aku kembali terjebak pada epos sang pangeran dan putri.
“Kuingin matahari selalu ada di sampingku”, bisiskmu pada telingaku. Aku tertawa menjadi-jadi bahkan mengalahkan erangan kerinduan pantai atas pelukan ombak, tapi lebih lembut dari kerumunan pasir yang menjejal di jari-jari kaki dan sela-sela tangnku. “Janji mana lagi”, desahku. Aku akan selalu disampingmu , ucapku sambil mendekatkan bibirku di telingamu. Tiba-tiba kau menepiskan tanganku san sedikit mengenai pelipisku. “Kenapa kau”, aku bertanya sambil menggerakkan seluruh tubuhku mengelilingimu. Alam mulai bersenandung dengan menyebut namaku. Raa…..raaa….raaa….tiba-tiba tarianku menjadi tarian mistis. Kau menjadi batu dalam pandanganku. Aku menjadi medusa”. Photon-photonku seakan semakin menguat, atom-atomku berlompatan menyatu dalam atommu dan menguat. Adrenalinku memuncak. Wahai…..bajingan yang aku cintai. Mendekatlah padaku, peluk aku dalam sebuah lukisan bisu ataupun pahatan androgini. Aku adalah sembadra, Bajinganku.
Aku kembali menjadi medusa, dank au menjadi batu dalam mataku. Wahai, kenapa ku pecintaku. Akulah amoor raa….”Biarkan aku menjadi menjadi matahari abadimu!!!!”, teriakku lantang saat kau lantunkan nada yang tiba-tiba hilang menjadi hempasan angina. Tiba-tiba semua menjadi kosong seperti sebuah labirin kosong dengan dinding hitam dan merah. Apakah aku kembali dalam singgasanku?. “Kau terlalu merah untukku, Raa…!”, bisikmu sambil menghamparkan rindu pada lautan. “Pengkhianat, bajingan, bangsat, desisku. Tiba-tiba lagi ke – Medusa-anku kembali. Rambutku berubah menjdi api. Kau kembali menjadi batu yang mennagis, angina menjadi sebuah kebekuan yang kosong. Dan dunia menjdi sebuah kosmos yang kosong.
Wahai pencipta. Maha segala Maha Cahaya. Pencipta dunia kosmos. Mengapa terlalu mudah mengobrak-abrikkan perasaan manusia?. Adu adalah seorang aku yang aku. Menjadi Roro Jonggrang dalam pennatiannya yang utuh di Prambanan. Hanya berharap atas nama cinta pada Prabu Roro. Wahai sang pecinta. Gusti…..aku loro bronto.
Aku kembali menjadi aku yang aku. Merah menyala yang membungkus setiap senti tubuhku yang luruh berubah menjadi kayu yang rapuh. Aku menunduk. Aku hanyalah aku, bukan kunti yang melahirkan pandawa yang mencintainya. Aku hanya bisa melahirkan sebuah puisi yang tidak bertinta. Dalam mimpiku kau muncul sambil kupelajari kembali kinesik wajahmu. Bajingan yang aku cintai, kenapa kau panggil aku matahari?.
“Untukku, kusuka nama itu”. Tidak untukku, bajinganku. Aku kembali terbang dan kembali juga luruh ke bumi,padahal aku rindukan damudra yang kupandang dari langit sana. Aku matahari, tapi tak pernah ada yang memandangku dengan mata telanjang. Apa artinya adaku?. Ketika aku bahagiakan dunia lewat sebuah alur dan prosese panjang. Aku tak sadar akan keakuanku. Bajingan laki-laki yang hanya butuh tubuhku, yang hanya butuh ragaku. Tak pernah peduli tentan ke mokhsa an aku pada aliran cinta.
Aku adalah pengkhianat!!!!!Teriakku pada langit, pada tanah, pada angina, pada dunia. Tiba-tiba aku menjadi serpihan-serpihan cahaya mati yang tenggelam di kisaran cahaya Maha Cahaya. Aku menjadi sesuatu yang maya tak berwarna. Wahai aku dalam kedukaan kematian. Kematian seorang Raa yang aku. Kematian sebuah perasaan wanita yang mencinta. Bajingan yang aku cintai. Manusia dengan gurat keras di rahangnya, yang pernah menopang kewanitaanku serta satu garis tarikan ujung bibirnya yang sempat membuatku terpesona. Aku tak berani memilih cinta. Aku matahari……Amoor Raa…..apakah aku harus memilih memberikan hidup pada satu manusia. Aku Amoor Raapusat kecahayaan, mungkin bagimu dan baginya.
Aku mengecil, menjadi sangat kecil bahkan lebih kecil dari atom yang dihasilkan olehmu, Pangeranku. Ah….aku kembali terjebak pada epos pangeran dan putri. “Apa kau akan terus berkata bahwa kau terlalu merah untukku”, bisikmu sekali lagi padaku. Aku diam. Aku kembali terjebak pada keMedusaanku. Aku telah menjadi batu yang batu. Duniaku menjadi dunia maya yang tak pernah ada. Bahkan mungkin manuskrip-manuskripku telah terbakar hilang menjadi abu dan arang yang kalah. Pangeranku, maafkan aku.
***
“Boleh kupanggil kau, samudra”, aku menoleh padamu dan kulihat lelaki disampingku yang sibuk dengan kameranya. Aku memalingkan muka Dia lelaki yang mengkhianatiku. Aku berbisik sendiri, dan semoga ia mendengarkan,”Ijinkan aku kembali mecintaimu. Ijinkan aku mendapatkan kesempatan menjadi seorang wanita yang manita, seperti wanita yang selalu disampingmu. Ijinkan aku mengisi dinding kamar tidurku dengan puisi tentangmu”. Dan aku mengatupkan mata, tak tahu apakah dia mengangguk atau menggeleng. Kunikmati cintamu, maaf pangeranku, masih kusimpan cinta dan padamu hingga saat ini. Apakah ini yang kurasakan saat aku mati?.
Banyuwangi Beach, 307 Akhir Februari 2008,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar