10 Jul 2010

TABIK UNTUKMU CIK GU BINTI........

Namanya Binti Mar fu’ah. Adik tingkat satu kuliah di jaman kuliah dulu. Kami akrab karena sama-sama dalam satu bendera organisasi kemahasiswaan. Dan aku terlalu sering stay di tempat kost Binti yang sebagian besar ditinggali adalah sahabat-sahabatku.
Entah kapan terakhir aku ketemu dia Jember. Paling tidak 3 atau 4 tahun yang lalu. Orangnya menyenangkan walaupun sedikit lebih pendiam dibandingkan aku. 

Dan entah kenapa malam itu tiba-tiba terbersit untuk mengunjungi Binti. Ya.....karena aku pikir masih satu wilayah dan berada di wilayah Batam. Dan perjalanan pun dimulai hanya dengan petunjuk-petunjuk pesan singkat yang kami kirim satu malam sebelum keberangkatanku.
Terlalu pagi aku tiba di Pelabuhan Sengkuang. Masih jam 7 pagi. Sedangkan jadwal speedboot atau kapal cepat baru berangkat jam 9 pagi. Tiket 165 ribu dengan kapal cepat Rahmat Jaya. Dan perjalanan yang harus aku tempuh paling lama 3 jam!!!! Dan baru kali ini aku melakukan perjalanan via laut lumayan lama. Perasaanku. Dag...dig.....karena aku seorang diri dan sama sekali buta dengan lokasi yang akan kukunjungi. Dan berharap agar Binti tidak lupa menjemputku di Pelabuhan Sei Guntung.

Serasa menjadi penjaga pantai. Hmmm.......naik speedbooat yang berisi kurang lebih 60 orang menjadi sebuah sarana transportasi yang memacu adrenalin. Apalagi saat aku nekat untuk naik ke atas geladag kapal. Kereennn......wilayah Indonesia bener-benar kepulauan yang cukup indah. Hanya sayang...aku tak bisa mendapatkan gambar yang bagus speedboot terus bergoyang karena ombak yang lumayan besar. Untung tidak mabuk laut.

Pelabuhan Guntung jam 12 siang.
Wajah Binti sumriangah dengan sedikit air mata menggenang. Entah.....apa yang ada dipikirannya. Mungkin dia masih tidak percaya melihat aku, satu-satunya teman dari Jawa yang mengunjungi tempat tinggalnya yang sangat jauh berada disisi Indonesia paling pinggir.
“Rumahku masih jauh mbak...masih harus naik pom-pom. Terus naik ojek sama jalan kaki. Mbak Ira jangan kaget ya tau rumah Binti”

Pelabuhan Sei Guntung. Pelabuhan kecil khas masyarakat Maritim. Dengan limpahan hasil kelautan. Dan kami meninggalkan Pelabuhan Guntung dengan menaiki Pom-pom. Perahu kecil dengan mesin penggerak. Kurang lebih seperti perahu yang ada di iklan RCTI OK! Sekitar 5 sampai 10 menit. Sampai dipelabuhan. Dan perjalanan masih belum selesai karena harus melanjutkan naik ojek. Sekitar 6 kilometer. Dan Tuhan....aku benar-benar menemukan sisi lain dari Indonesia. Hutan Liar. Ladang. Huma. Rumah-rumah kayu. Tanah gambut yang akan menjadi bubur jika musim hujan seperti saat ini. Jauh dari namanya peradaban. Jujur hati kecilku sama sekali tidak percaya jika Binti, sahabatku berasal dari dunia yang benar-benar tidak pernah aku bayangkan. Bagian Indonesia yang terlupakan. 

Petak 14. Ojek yang aku tumpangi harus berhenti. Karena konsisi tanah gambut yang terkena hujan dan tidak memungkinkan untuk dilalui dengan motor. Tidak ada alternatif lain. Jalan kaki 2 kilometer ditemani ayah Binti. Lelaki separuh baya asal Jakarta yang cukup menyenangkan. Hahahha.....inilah petualangan yang sebenarnya. Melupakan semua masalah yang ada.

Petak 15 Kecamatan Kateman Indragiri Hilir Riau. Rumah panggung kayu yang sangat luas. Berada di satu halaman yang juga sangat luas. Tidak pernah aku bayangkan aku tiba di rumah Binti. Rencana menginap satu malam sepertinya harus pupus. 2 malam aku berada rumah Binti. Aku benar-benar menikmati. Jauh dari keramaian, dari rutinitas, dari kemunafikan. Ya....aku benar-benar merasa tenang disini. Bersama Bapak, Ibu dan Binti yang menganggap aku sebagai bagian dari keluarga besarnya. Walaupun listrik baru ada setelah magrib itupun hanya 2 jam berasal dari tenaga genset milik keluarga. Jauh dari tetangga. Tidak ada kamar mandi, tidak ada WC. Dan baru kali ini sadar kalau air yang keluar dari tanah gambut berwarna merah. Ya..benar-benar merah tapi bening dengan kadar asam yang lebih tinggi dibandingkan tanah normal. Mandi dikali......hahahaha...bukan pengalaman pertama...tapi mandi dikali yang berwarna merah...serasa mandi di genangan darah. 

Pengalaman yang tak mungkin aku lupakan. Dan aku juga menemukan setrika yang masih menggunakan panas dari api. Tuhan....negara Indonesia sudah merdeka, tapi keluarga Binti masih menggunakan Setrika tanpa listrik. Tapi aku merasa sangat nyaman disini. Menemukan sebuah keluarga yang utuh. 

“Kamu kok bisa sih Bint...dari sini bisa nyasar kuliah di Jember”
“Aku pake PMDK Mbak...sedikit nekat! Yang penting bisa kuliah di Jawa”

Binti Marfuah. Kini adalah seorang guru yang baru diangkat jadi PNS 2 bulan yang lalu. Sempat menjadi sukwan hampir 2 tahun dibeberapa sekolah. Sekarang dia mengajar di SMP 3 Kateman. Jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Naik ojek sekitar 20 ribu dengan kondisi jalan gambut yang cukup parah. Dan aku punya kesempatan mengunjungi sekolah Binti sebelum pulang kembali ke Batam. Sekolah hanya terdiri dari 3 ruang dan baru ada satu angkatan yang terdiri dari 23 orang. Dan tahun 2010 ini adalah angkatan kedua. SMP 3 Kateman sangat membantu, paling tidak murid lulusan SD bisa melanjutkan pendidikan tanpa harus ke Sei Guntung yang berarti menambah pengeluaran mereka. Dan yang membuat aku sedikit nelangsa adalah, sebagian besar dari mereka berangkat sekolah sekitar jam 4 Shubuh! Demi sebuah pendidikan. Potret kehidupan “Para Laskar Pelangi”

Aku semakin salut dengan Binti. Usia kami tidak terpaut jauh. Tapi dia terlihat lebih dewasa dengan pilihan hidupnya mengabdi pada tanah kelahirannya. Dengan segala kekurangan, tanpa fasilitas dan hanya dengan kemauan yang cukup kuat untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk masyarakatnya.
“Kalau bukan aku, siapa lagi mbak yang peduli”

Ya....bukannya aku mengesampingkan sahabat-sahabatku dan tidak mengurangi rasa hormat atas pilihan mereka. Setelah mereka menyelesaikan kuliah, hanya beberapa gelintir yang mau kembali dan membesarkan tanah kelahirannya. Mereka biasanya terbuai dengan kehidupan heodinisme. Kenyamanan. Fasilitas yang tidak akan mungkin mereka temukan di wilayah pedalaman. Dan melupakan yang namanya tanah kelahiran. Atau tidak ada keberanian memilih seperti Binti. Mengabdi salah satu wilayah terpelosok yang masih membutuhkan ilmu yang kita miliki.. Kurang dari 1 jam aku bersama murid-murid Binti dan hanya sedikit mengajarkan game team work untuk mereka. Tapi entah kenapa aku merasa ada ikatan batin. Aku merasa nyaman dengan kesederhanaan-kesederhaan mereka. Kepolosan mereka. Ah Tuhan....beri aku kesempatan lebih lama tinggal disini agar aku bisa berbagi dengan mereka

Seperti aku.......akhirnya aku hanya bisa mentertawakan diriku sendiri. Aku masih belum ada keberanian seperti Binti untuk memilih menjadi seorang Guru di wilayah pedalaman. Walaupun jujur dalam hatiku yang paling dalam aku ingin seperti Binti. Menjadi Guru. Menjadi pendidik. Berbagi ilmu pada murid. Tapi apa pantas aku menjadi seorang guru?

Perjalananku masih belum berakhir. Di Pelabuhan Guntung aku hanya bisa pasrah menunggu speedboot dari Tembilahan untuk kembali membawaku ke Batam. Dan aku hanya bisa tersenyum saat melihat Binti dengan pilihan hidupnya. Pilihan hidup yang membuat dia mampu bertahan. Survive di wilayah Indonesia yang sedikit terlupakan. Aku percaya kelak akan banyak penerus yang lahir dari tangan Binti. Para penerus yang tidak akan melupakan tanah kelahiran mereka. 

“Santai aja Bint....ini bukan pelukan terakhir. Aku pasti aku kembali lagi ke rumah kamu. Atau mungkin ikut menjadi guru seperti kamu di sini?”
Kami berpelukan di Pelabuhan Guntung dengan sebuah janji bahwa persahabatan, persaudaraan dan silaturahmi kita tidak akan pernah mati. 

Dalam speedboot Rahmat Jaya. Terbayang wajah ibuku, seorang guru yang juga mengajar di SD tertinggal. Sedangkan di sebelahku ada seprang laki-laki yang mengaku sebagai anggota Dewan berbicara tentang pemeratan pendidikan di wilayah Riau. Shitttt....aku langsung muak dan memilih duduk di kabin speedboot meninggalkan pembicaraan yang sama sekali tidak berdasar. Jangan bicara pemerataan pendidikan jika kamu belum bertemu Ibu Binti. Guru Cantik...yang hidup dalam sebuah pengabdian pendidikan di wilayah pedalaman Kateman.


 Tabik untuk mu Cik Gu















Catatan ini aku persembahkan Pada Sahabatku Binti Marfuah
Sahabat-sahabat Power Rangers (farah, Nitis, Heny, Miemiet)
Sahabat-sahabat PMII Sastra Unej
Pada sebuah pendidikan di pedalaman
Pada sebuah pemikiran yang bernama kemajuan dan pemeraatan
Pada sebuah ketidak adilan

5 komentar:

13ahar mengatakan...

salut buat Mbak Binti, memang ga' akan pernah mudah menjalani hidup yang bebas dari kemunafikan

teruskan perjuanganmu Mbak Binti
teruskan perjalananmu Mbak Ira
dan akupun akan teruskan hidupku

yansDalamJeda mengatakan...

Petualangan seru.....aku pun kalah nyali. hehehe.
ya sudahlah, yang penting Tangan terkepal maju ke muka.

Wibisono Arisan Blackberry mengatakan...

Artikel yang menarik sekali, semoga sukses selalu dan saya tunggu

kunjungan anda di website saya.thx

from Aceh to Riau..!!! mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
from Aceh to Riau..!!! mengatakan...

Titip salam untuk Ibunda Guruku Binti Marfuah, S.S..

from : Siswanya yang kini berada di Nanggroe Aceh Darussalam (Fikri Afrizal)